Hari itu, sepulang sekolah Fabian
menyempatkan diri untuk bertemu dengan teman-temannya di komunitas Freestyle
membahas apa yang hendak mereka rencanakan untuk melegalkan kegiatan mereka di
sekolah. Bertemu dengan Helena saat jam istrirahat tadi, walau hanya beberapa
menit, rupanya membuat kondisi Fabian membaik. Ia pun memutuskan untuk tidak
dijemput ayahnya saat pulang sekolah.
“Bang,
kiri, Bang!” Fabian turun dari angkutan umum.
Sore
menjelang malam, Fabian harus berjalan seratus meter lagi dari tempat ia turun
dari angkutan umum tadi untuk sampai ke rumah.
Langkahnya
tak begitu cepat, menerabas seratus meter yang sunyi senyap dan juga gelap.
Tiba-tiba terdengar seperti suara langkah lainnya yang terasa berat diikuti bau
bunga melati yang menyengat. Fabian berusaha untuk tidak panik.
“Tenang,
Bian! Makhluk itu nggak mungkin bisa nembus dunia nyata.” Fabian coba
mensugesti diri.
Entah
mengapa, seratus meter yang hanya melewati gang sempit dan kebun luas dengan
pepohonan besar itu terasa sangat jauh bagi Fabian untuk mencapai rumahnya.
Suara langkah berat itu makin terdengar jelas, terasa semakin mendekat.
Seketika detak jantungnya berdegup kencang, pori-porinya berkeringat membasahi
sekujur tubuh, dan napasnya terasa agak sesak.
Tapi
Fabian tetap bergeming, dan hanya meneruskan langkahnya, hingga akhirnya ia
berhasil menginjakan kaki di rumah. Dan, sesuatu yang seperti menerornya itu
pun seketika hilang seperti tersapu angin.
***
Fabian
duduk di teras depan rumah, sembari membuka tali sepatu yang disimpulnya. Matanya
masih mengeksplorasi keadaan sekitar. Tatapannya menyebar jauh ke depan, sambil
memperhatikan tiap-tiap gerakan. Helai daun-daun di pepohonan, kucing liar, dan
suara jangkrik, tak lepas dari perhatiannya.
Aku yakin tadi ada seseorang di belakangku.
Suara langkahnya saja terdengar begitu jelas, dan hembus napasnya yang hangat
itu juga sangat terasa di kudukku.
Fabian
yakin betul ada seseorang yang mengikutinya.
Ah, sudahlah...
Fabian
memutuskan untuk tidak memikirkan hal tersebut, dan lekas masuk ke dalam rumah.
“Bian?”
panggil Pak Abraham, dari singgasananya. Sofa butut tapi empuk.
“Iya,
Yah?” sahutnya, berjalan menghampiri.
“Kamu
kan belum sehat betul, kenapa nggak telepon Ayah dulu? Kan bisa Ayah jemput.”
“Aku
udah sehat kok, Yah,” kekeh Fabian, “Lagipula, tadi aku ada briefing sama
teman-teman komunitas.”
“Oh,
gitu. Yaudah, istirahat gih!” titah ayahnya. “Oh iya, tadi Ayah beli makanan.
Kalau mau makan, tuh lauknya ada di meja.”
“Okesip!”
sahutnya. Ia bergegas menuju kamar.
***
Setelah
makan, membersihkan diri dan memejamkan mata untuk beberapa saat, seperti biasa
Fabian duduk di hadapan komputer lagi untuk mengerjakan pekerjaannya yang
beberapa hari kemarin terbengkalai.
“Badan
mulai nggak enak lagi, nih. Ck, gara-gara terlalu mikir yang aneh dan negatif
nih pasti.” keluhnya. “Ngobrol sama Helena dulu, ah. Biar semangat!” Fabian
meraih handphonenya.
*Handphone
Helena berdering*
Helena
yang sedang bersantai di tempat tidur sambil asik membaca sebuah novel itu
nampak tangannya meraba-raba, mencari handphone tanpa memalingkan wajahnya dari
novel berbahasa inggris yang dibacanya.
“Hallo.”
sapa Helena, masih terus membaca.
“Hallo,
Hel. Lagi apa?” tanya Fabian, sembari menunggu komputernya menyala.
“Lagi
tiduran, sambil baca novel. Tumben nelepon tapi nggak bilang dulu,”
“Yeaa,
lagi pengin aja. Kamu kok nggak nanya balik, aku lagi ngapain, gitu?”
“Nggak
mau!” cengir Helena.
“Kok
nggak mau?”
“Terserah
aku dong! Aku nggak mau, yaa jangan maksa!”
“Oh,
gitu. Hemh, yaudah deh...”
“Yaudah
apa?”
“Yaudah,
map kalau aku ganggu waktu bersantai kamu...” Fabian mencelus.
tergelak
Helena, “Hahahaha...”
“Kok
ketawa, sih?” Fabian terheran, menjurus kesal.
“Abisnya,
kamu aneh banget, Bian.” jawab Helena, masih dengan sisa-sisa tawa.
“Aneh
gimana maksudnya, Hel?” Fabian menahan kesal.
“Ya,
aneh aja. Tiba-tiba telepon, cuman pengin aku tanya gitu, “kamu lagi ngapain?”
ih, kan aneh banget. Hahahaha,”
“Iya
juga, sih. Hehehe,”
“Aku
nggak perlu tanya itu juga udah tau kok, kamu lagi ngapain.”
“Masa
sih? Emang sekarang aku lagi ngapain?”
“Jam
segini, paling kamu lagi di depan komputer, kan?”
“Ah,
iya. Ketebak. Aku emang bukan cowok unpredictable
seperti yang wanita idamkan. Huft!” Fabian mencelus lagi.
“Hahahahaha,”
Helena makin tergelak.
“Tuh,
kan. Bener...”
“Hahahaha,
terserah deh, terserah. Hahahaha,”
Fabian
terdiam beberapa saat. “Udah ketawanya?”
“Iya,
iya. Hihihi...” tawa Helena berangsur hilang.
“Nah,
bagus.” Fabian tersenyum, “Hel, besok, pulang bareng aku, ya!?”
“Boleh,
boleh. Eh tapi, tumben ngajak pulang bareng,” terheran Helena.
“Iya.
Soalnya, kemungkinan besok aku masih belum boleh pakai sepeda ke sekolah, dan
kayaknya berangkat juga masih harus dianter Ayah.” Kata Fabian, “Ya, maklum,
masih dianggap kurang sehat soalnya.”
“Oh,
gitu,” Helena mengangguk paham, “Yaudah, bareng aja kalau gitu pulangnya.”
“Oke,
oke. Heheh,” cengir Fabian. “Eh, komputer aku udah nyalah nih. Yaudah, kalau
gitu, aku kerja dulu ya!”
“Oke.
Selamat bekerja!”
“Oke.
Kamu juga, selamat membaca ya!” kata Fabian, mengakhiri obrolan.
Helena
adalah pemulihan terbaik bagi Fabian. Menghabiskan waktu bersamanya, meski
hanya lewat pembicaraan telepon, cukup bagi membuat Fabian senang dan energi
serta pikiran negatif yang mengganggunya perlahan hilang. Ia pun kembali
bekerja di malam itu bersama komputer usang dan segelas kopi susu hangat,
dengan begitu bersemangat.
***
Waktu
hampir menyentuh tengah malam, Fabian menyudahi pekerjaannya. Meski tadinya ia
begitu bersemangat, tapi rasa lelahnya sebagai manusia biasa muncul juga.
“Cukup
untuk malam ini. Aku ingin tidur cukup, supaya besok nggak ngantuk di sekolah.”
ucapnya.
Ia
beranjak dan melemaskan syaraf-syaraf otot yang tegang akibat terlalu lama
duduk. Fabian berjalan ke arah jendela untuk menutup gorden yang belum
tertutup.
"Astaga!"
Fabian terkaget melihat sekelibat wanita berpakaian gaun hitam, seperti
tersenyum kepadanya. Tapi ketika ia berkedip, penampakan itu menghilang.
"Oh, ayolah! Jangan aneh-aneh lagi!"
Remaja
lelaki itu lantas mematikan komputer. Sambil menunggu komputer mati, ia
menghabiskan tegukan terakhir kopi susu. Seusai mematikan komputer, ia lantas
merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan sprei bermotif Spiderman, tokoh
superhero kesukaannya. Seraya menghela napas panjang, mulutnya komat-kamit,
berdoa supaya tidurnya malam ini nyenyak. Ia coba tidak memikirkan penampakan
yang baru saja silihatnya tadi. Ia pun segera memejamkan mata, dan menjauhkan
pikirannya dari sesuatu negatif yang bisa membuatnya paranoid.
Ya Tuhan, aku tak meminta banyak. Aku hanya
ingin tidurku malam ini nyaman dan tanpa gangguan.
Beberapa
menit berselang, ia pun tertidur.
***
“Bian...”
seru suara yang samar-samar.
Ia
berada di suatu tempat yang tidak asing. Suasana itupun seperti masih baru saja
dilaluinya. Itu karena memang ia di tempat dan kejadian yang sama saat tadi
sore. Ia berjalan dengan perasaan yang tak biasa, menyusuri gang sempit, lalu
melewati hamparan kebun yang luas. Di ujung jalan, tampak sebuah rumah yang
seakan sangat jauh dari tempat ia berdiri saat itu. Langkah berat namun seperti
tak berpijak ia rasakan betul mengikutinya dari belakang, diikuti bau bunga
melati yang semerbak.
Seperti ada seseorang di belakangku saat ini...
“Kamu
nggak perlu takut...” seru suara itu lagi.
“Hah,
siapa kamu?” sahut Fabian, menengok sekitar.
Lalu
dilihatnya sekeliling itu penuh makhluk-makhluk aneh yang tak pernah ia jumpai
sebelumnya. Makhluk-makhluk kutukan, dari mulai yang paling seram, hingga yang
paling menjijikan, nampak menatapnya dengan pandangan yang tidak bersahabat.
“Jangan
takut...” lagi-lagi suara samar-samar yang entah dari mana datangnya itu
berbisik pada Fabian. “Terus lah berjalan. Jangan menatap mereka!”
Ketika
kakinya terus melangkah, perlahan sekelilingnya berubah gelap. Bahkan, ia tak
dapat melihat jalan yang harus ditempuhnya, kecuali makhluk-makhluk kutukan di
sekitarnya dan sebuah rumah di ujung jalan itu. Ia pun mempercepat langkahnya.
“Jangan
panik! Tetap tenangkan pikiranmu.” titah suara itu.
Kepanikan
yang ia rasa membuat jantungnya mulai berdegup kencang, keringat pun mengalir
deras, dan napasnya terasa sulit menghirup udara.
“Tak
usah panik! Tenangkan dirimu. Kamu pasti bisa!” kekeh suara itu.
Bukannya
melakukan apa yang suara itu perintahkan, Fabian malahan melakukan sesuatu yang
tidak seharusnya itu lakukan. Ia menoleh ke belakang dan dilihat olehnya
makhluk-makhluk kutukan itu bak hewan buas yang hendak menyergap mangsanya. Ia
pun berlari begitu cepat. Makhluk-makhluk itu pun mengejarnya lebih cepat.
“Tenangkan
pikiranmu, Fabian!” seru suara itu makin keras.
Fabian
terjebak dalam kebingungan. Di satu sisi, ia masih belum tahu suara siapa itu,
dan apakah ia harus takut atau menuruti suara itu. Di sisi lain, keberadaan
makhluk-makhluk kutukan itu sangat mengancamnya.
“Oke,
oke. Tenang... tenang, Bian.” tuturnya, memotivasi diri.
Ia
lalu mulai menghentikan larinya dan perlahan melangkah kaki dengan santai,
seraya menenangkan pikirannya, seperti yang suara misterius itu perintahkan.
Kegelapan di sekitarnya perlahan memudar, begitu juga makhluk-makhluk kutukan
itu yang justru semakin tertinggal di belakang. Beberapa langkah lagi ia
sepertinya akan sampai di rumah itu.
“Bian!”
seru seorang pria di rumah itu.
“Ayah?”
sahutnya.
Pria
itu adalah Abraham, ayah Fabian. Ia masih nampak gagah dan tampan, seperti
beberapa tahun silam. Fabian pun lekas menghampiri dan memeluknya.
Abraham lalu berbicara pada sosok
yang sedari tadi mengikuti dan berbicara dengan Fabian, “Terima kasih.”
ucapnya, tersenyum.
***
“Bian, bangun! Ayo berangkat
sekolah! Ayah udah siap nganter kamu nih,” ujar Pak Abraham, dari ruang tv.
Fabian terbangun dengan bubuhan
senyum di wajahnya.
Entah,
semalam itu aku bermimpi atau apa, tapi sepertinya mood ku jadi bagus begini,
walaupun semalam genre mimpiku horror.
“Oke, Yah. Siap!” sahut Fabian,
beranjak.
Selesai merapihkan diri, Fabian
bersiap untuk berangkat sekolah.
“Ayah?” Fabian nampak heran melihat
ayahnya yang berpakaian begitu rapih pagi itu. Matanya memandangi dari ujung
kaki hingga kepala lelaki gagah itu. “Wuiiih, kereeennnn!”
Pak Abraham tersenyum, “Mulai hari
ini Ayah kerja lagi!”
“Oh, ya?” tanyanya, antusias.
“Iya. Lamaran kerja Ayah diterima,
Biaaan!” jawab Ayahnya, tersenyum gembira. “Di perusahaan Multimedia, bidang periklanan!”
“Multimedia, Periklanan, kan...”
“Iya, Ayah ngerti. Itu jenis
perusahaan seperti yang dulu pernah keluarga kita kelola,” jelasnya, “Karena
Ayah udah paham dibidangnya, makanya Ayah ambil job ini. Yaa walau pun bukan
perusahaan besar dan Ayah juga harus mulai dari bawah banget.” ujarnya,
tersenyum.
“Apapun itu, Yah, Bian akan selalu
mendukung!” ungkapnya tersenyum pasti.
Abraham membalas senyum, “Terima
kasih, Bian.”
“Waduh!” Fabian terkaget.
“Kenapa, Bian?” tanya ayahnya.
“Lihat tuh, Yah!” jawabnya, menunjuk
ke arah jam dinding.
“Wah,
iya! Yok, ayo berangkat!” sahut Pak Abraham
Keduanya
bergegas. Pak Abraham mengantar Fabian terlebih dahulu sebelum menuju ke tempat
kerjanya di Jakarta.
***
Perjalanan
ke sekolah harusnya tak memakan waktu lama. Tapi karena motor vespa tua itu ngadat, keduanya harus bersabar
menghadapi situasi itu.
“Yaaah,
pake ngadat segala ini motor!” keluh Pak Abraham
Fabian
pun lekas turun dari motor, begitu pun Pak Abraham. Ia lalu mengecek motor
usang nan klasik itu.
“Ini
paling businya, Yah,” katanya.
“Iya,
Bian. Kamu langsung aja lanjut, naik apa kek gitu.” timpal Pak Abraham.
“Iyanih,
Yah. Tapi Ayah nggak apa-apa Bian tinggal di sini?”
“Kamu
itu, Bian, kayak ngomong ke anak bocah aja. Ya nggak apa-apa lah! Lagian Ayah
juga bisa mengatasi ini sendiri kok.” jawab Pak Abraham.
“Hm,
yaudah. Bian lanjut jalan kaki aja deh. Udah dekat kok.” ujarnya.
Sebuah
bus tiba-tiba berhenti di depan Fabian dan Pak Abraham. Seorang gadis lalu
turun dari dalamnya.
"Bian!"
"Helena?"
Fabian terheran, "Kok turun disini? Sekolah kita kan masih beberapa puluh
meter lagi,"
"Iya,
Bian. Tadi aku lihat kamu, jadi aku turun deh." jawab Helena.
"Oh,
gitu." Fabian tersenyum. "Oh, iya, kenalin Hel, ini Ayah aku!"
Pak
Abraham kemudian berdiri dan membersihkan tangannya, "Halo, Helena! Saya
Abraham, ayahnya Fabian." sapanya, mengulurkan tangan.
"Nggak
usah salaman segala, Yah! Tangan kotor gitu," tutur Fabian.
Helena
menyambut jabat tangan itu, "Nggak apa-apa, Bian."
"Maaf
ya, kotor. Hehe," cengir Pak Abraham.
"Iya,
nggak apa-apa, Om.” Cengirnya, “Aku Helena. Senang berkenalan dengan Om!"
serunya, tersenyum manis.
"Oh,
yang sering Bian ceritain itu, kamu toh!" kata Pak Abraham kepada Helena.
"Emangnya
Bian ceritain apaan, Om?" tanya Helena.
"Wogh,
buanyak! Katanya..."
"Emmm,
Hel kayaknya kita harus berangkat sekarang. Takutnya nanti kita telat!" seru
Fabian,
memotong ucapan ayahnya. "Yah, aku sama Helena duluan, ya!"
"Oh
gitu. Kamu nggak mau dengar ceritanya dulu nih, Hel?" tanya Pak Abraham.
Helena
hendak merespon, tapi Fabian segera memotong. "Nggak usah, Yah,
katanya."
Helena
nampak heran dengan sikap Fabian yang aneh itu. Sementara Pak Abraham nampak
puas dengan kejahilan yang membuat anaknya salah tingkah.
“Hahaha.
Yaudah, hati-hati!” seru Pak Abraham.
“Iya,
Yah. Ayah juga hati-hati!” Fabian mencium tangan ayahnya, “Semoga sukses hari
pertama kerjanya!” serunya, lalu bergegas mengajak Helena melanjutkan
perjalanan menuju sekolah, dengan tergesa-gesa. "Ayo, Hel!"
"Om,
kita duluan, ya!" ujar Helena, tersenyum.
"Iya,
Hel. Nanti saya lanjutin ceritanya!" seru Pak Abraham, tersenyum jahil.
"Bohong,
Hel, nggak usah. Nggak penting!" tandas Fabian, lalu menggandeng Helena
untuk bergegas.
Pak
Abraham tergelak karena gelagat salah tingkah anaknya itu. Senyum bangganya
kemudian terbentang dari wajah melihat putra sulungnya itu begitu bersemangat
pagi itu. Ia pun membubuhkan senyumnya ke angkasa, sambil mengucap syukur di
dalam hati, karena selama masa sulit ini Fabian selalu menjadi anak yang baik
baginya.
Aku
harus membuktikan kepadanya dan kepadamu (Alm. Monalisa) bahwa aku akan menjadi
ayah yang baik untuk keluarga kita.
Beberapa
menit berselang Pak Abraham berhasil membuat motornya kembali berfungsi. Ia pun
bergegas menuju tempat kerjanya, dengan semangat yang menggebu.
"Semoga
dengan Helena, Fabian akan lebih termotivasi lagi." ujarnya, tersenyum
tenang.
*****