Kamis, 28 Mei 2015

DI BELAKANG KU



Hari itu, sepulang sekolah Fabian menyempatkan diri untuk bertemu dengan teman-temannya di komunitas Freestyle membahas apa yang hendak mereka rencanakan untuk melegalkan kegiatan mereka di sekolah. Bertemu dengan Helena saat jam istrirahat tadi, walau hanya beberapa menit, rupanya membuat kondisi Fabian membaik. Ia pun memutuskan untuk tidak dijemput ayahnya saat pulang sekolah.
            “Bang, kiri, Bang!” Fabian turun dari angkutan umum.
            Sore menjelang malam, Fabian harus berjalan seratus meter lagi dari tempat ia turun dari angkutan umum tadi untuk sampai ke rumah.
            Langkahnya tak begitu cepat, menerabas seratus meter yang sunyi senyap dan juga gelap. Tiba-tiba terdengar seperti suara langkah lainnya yang terasa berat diikuti bau bunga melati yang menyengat. Fabian berusaha untuk tidak panik.
            “Tenang, Bian! Makhluk itu nggak mungkin bisa nembus dunia nyata.” Fabian coba mensugesti diri.
            Entah mengapa, seratus meter yang hanya melewati gang sempit dan kebun luas dengan pepohonan besar itu terasa sangat jauh bagi Fabian untuk mencapai rumahnya. Suara langkah berat itu makin terdengar jelas, terasa semakin mendekat. Seketika detak jantungnya berdegup kencang, pori-porinya berkeringat membasahi sekujur tubuh, dan napasnya terasa agak sesak.
            Tapi Fabian tetap bergeming, dan hanya meneruskan langkahnya, hingga akhirnya ia berhasil menginjakan kaki di rumah. Dan, sesuatu yang seperti menerornya itu pun seketika hilang seperti tersapu angin.

***

            Fabian duduk di teras depan rumah, sembari membuka tali sepatu yang disimpulnya. Matanya masih mengeksplorasi keadaan sekitar. Tatapannya menyebar jauh ke depan, sambil memperhatikan tiap-tiap gerakan. Helai daun-daun di pepohonan, kucing liar, dan suara jangkrik, tak lepas dari perhatiannya.
            Aku yakin tadi ada seseorang di belakangku. Suara langkahnya saja terdengar begitu jelas, dan hembus napasnya yang hangat itu juga sangat terasa di kudukku.
            Fabian yakin betul ada seseorang yang mengikutinya.
            Ah, sudahlah...
            Fabian memutuskan untuk tidak memikirkan hal tersebut, dan lekas masuk ke dalam rumah.
            “Bian?” panggil Pak Abraham, dari singgasananya. Sofa butut tapi empuk.
            “Iya, Yah?” sahutnya, berjalan menghampiri.
            “Kamu kan belum sehat betul, kenapa nggak telepon Ayah dulu? Kan bisa Ayah jemput.”
            “Aku udah sehat kok, Yah,” kekeh Fabian, “Lagipula, tadi aku ada briefing sama teman-teman komunitas.”
            “Oh, gitu. Yaudah, istirahat gih!” titah ayahnya. “Oh iya, tadi Ayah beli makanan. Kalau mau makan, tuh lauknya ada di meja.”
            “Okesip!” sahutnya. Ia bergegas menuju kamar.       
             
***

            Setelah makan, membersihkan diri dan memejamkan mata untuk beberapa saat, seperti biasa Fabian duduk di hadapan komputer lagi untuk mengerjakan pekerjaannya yang beberapa hari kemarin terbengkalai.
            “Badan mulai nggak enak lagi, nih. Ck, gara-gara terlalu mikir yang aneh dan negatif nih pasti.” keluhnya. “Ngobrol sama Helena dulu, ah. Biar semangat!” Fabian meraih handphonenya.
            *Handphone Helena berdering*
            Helena yang sedang bersantai di tempat tidur sambil asik membaca sebuah novel itu nampak tangannya meraba-raba, mencari handphone tanpa memalingkan wajahnya dari novel berbahasa inggris yang dibacanya.
            “Hallo.” sapa Helena, masih terus membaca.
            “Hallo, Hel. Lagi apa?” tanya Fabian, sembari menunggu komputernya menyala.
            “Lagi tiduran, sambil baca novel. Tumben nelepon tapi nggak bilang dulu,”
            “Yeaa, lagi pengin aja. Kamu kok nggak nanya balik, aku lagi ngapain, gitu?”
            “Nggak mau!” cengir Helena.
            “Kok nggak mau?”
            “Terserah aku dong! Aku nggak mau, yaa jangan maksa!”
            “Oh, gitu. Hemh, yaudah deh...”
            “Yaudah apa?”
            “Yaudah, map kalau aku ganggu waktu bersantai kamu...” Fabian mencelus.
            tergelak Helena, “Hahahaha...”
            “Kok ketawa, sih?” Fabian terheran, menjurus kesal.
            “Abisnya, kamu aneh banget, Bian.” jawab Helena, masih dengan sisa-sisa tawa.
            “Aneh gimana maksudnya, Hel?” Fabian menahan kesal.
            “Ya, aneh aja. Tiba-tiba telepon, cuman pengin aku tanya gitu, “kamu lagi ngapain?” ih, kan aneh banget. Hahahaha,”
            “Iya juga, sih. Hehehe,”
            “Aku nggak perlu tanya itu juga udah tau kok, kamu lagi ngapain.”
            “Masa sih? Emang sekarang aku lagi ngapain?”
            “Jam segini, paling kamu lagi di depan komputer, kan?”
            “Ah, iya. Ketebak. Aku emang bukan cowok unpredictable seperti yang wanita idamkan. Huft!” Fabian mencelus lagi.
            “Hahahahaha,” Helena makin tergelak.
            “Tuh, kan. Bener...”
            “Hahahaha, terserah deh, terserah. Hahahaha,”
            Fabian terdiam beberapa saat. “Udah ketawanya?”
            “Iya, iya. Hihihi...” tawa Helena berangsur hilang.
            “Nah, bagus.” Fabian tersenyum, “Hel, besok, pulang bareng aku, ya!?”
            “Boleh, boleh. Eh tapi, tumben ngajak pulang bareng,” terheran Helena.
            “Iya. Soalnya, kemungkinan besok aku masih belum boleh pakai sepeda ke sekolah, dan kayaknya berangkat juga masih harus dianter Ayah.” Kata Fabian, “Ya, maklum, masih dianggap kurang sehat soalnya.”
            “Oh, gitu,” Helena mengangguk paham, “Yaudah, bareng aja kalau gitu pulangnya.”
            “Oke, oke. Heheh,” cengir Fabian. “Eh, komputer aku udah nyalah nih. Yaudah, kalau gitu, aku kerja dulu ya!”
            “Oke. Selamat bekerja!”
            “Oke. Kamu juga, selamat membaca ya!” kata Fabian, mengakhiri obrolan.
            Helena adalah pemulihan terbaik bagi Fabian. Menghabiskan waktu bersamanya, meski hanya lewat pembicaraan telepon, cukup bagi membuat Fabian senang dan energi serta pikiran negatif yang mengganggunya perlahan hilang. Ia pun kembali bekerja di malam itu bersama komputer usang dan segelas kopi susu hangat, dengan begitu bersemangat.

***

            Waktu hampir menyentuh tengah malam, Fabian menyudahi pekerjaannya. Meski tadinya ia begitu bersemangat, tapi rasa lelahnya sebagai manusia biasa muncul juga.
            “Cukup untuk malam ini. Aku ingin tidur cukup, supaya besok nggak ngantuk di sekolah.” ucapnya.
            Ia beranjak dan melemaskan syaraf-syaraf otot yang tegang akibat terlalu lama duduk. Fabian berjalan ke arah jendela untuk menutup gorden yang belum tertutup.
            "Astaga!" Fabian terkaget melihat sekelibat wanita berpakaian gaun hitam, seperti tersenyum kepadanya. Tapi ketika ia berkedip, penampakan itu menghilang. "Oh, ayolah! Jangan aneh-aneh lagi!"
            Remaja lelaki itu lantas mematikan komputer. Sambil menunggu komputer mati, ia menghabiskan tegukan terakhir kopi susu. Seusai mematikan komputer, ia lantas merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan sprei bermotif Spiderman, tokoh superhero kesukaannya. Seraya menghela napas panjang, mulutnya komat-kamit, berdoa supaya tidurnya malam ini nyenyak. Ia coba tidak memikirkan penampakan yang baru saja silihatnya tadi. Ia pun segera memejamkan mata, dan menjauhkan pikirannya dari sesuatu negatif yang bisa membuatnya paranoid.
            Ya Tuhan, aku tak meminta banyak. Aku hanya ingin tidurku malam ini nyaman dan tanpa gangguan.
            Beberapa menit berselang, ia pun tertidur.

***

            “Bian...” seru suara yang samar-samar.
            Ia berada di suatu tempat yang tidak asing. Suasana itupun seperti masih baru saja dilaluinya. Itu karena memang ia di tempat dan kejadian yang sama saat tadi sore. Ia berjalan dengan perasaan yang tak biasa, menyusuri gang sempit, lalu melewati hamparan kebun yang luas. Di ujung jalan, tampak sebuah rumah yang seakan sangat jauh dari tempat ia berdiri saat itu. Langkah berat namun seperti tak berpijak ia rasakan betul mengikutinya dari belakang, diikuti bau bunga melati yang semerbak.
            Seperti ada seseorang di belakangku saat ini...
            “Kamu nggak perlu takut...” seru suara itu lagi.
            “Hah, siapa kamu?” sahut Fabian, menengok sekitar.
            Lalu dilihatnya sekeliling itu penuh makhluk-makhluk aneh yang tak pernah ia jumpai sebelumnya. Makhluk-makhluk kutukan, dari mulai yang paling seram, hingga yang paling menjijikan, nampak menatapnya dengan pandangan yang tidak bersahabat.
            “Jangan takut...” lagi-lagi suara samar-samar yang entah dari mana datangnya itu berbisik pada Fabian. “Terus lah berjalan. Jangan menatap mereka!”
            Ketika kakinya terus melangkah, perlahan sekelilingnya berubah gelap. Bahkan, ia tak dapat melihat jalan yang harus ditempuhnya, kecuali makhluk-makhluk kutukan di sekitarnya dan sebuah rumah di ujung jalan itu. Ia pun mempercepat langkahnya.
            “Jangan panik! Tetap tenangkan pikiranmu.” titah suara itu.
            Kepanikan yang ia rasa membuat jantungnya mulai berdegup kencang, keringat pun mengalir deras, dan napasnya terasa sulit menghirup udara.
            “Tak usah panik! Tenangkan dirimu. Kamu pasti bisa!” kekeh suara itu.
            Bukannya melakukan apa yang suara itu perintahkan, Fabian malahan melakukan sesuatu yang tidak seharusnya itu lakukan. Ia menoleh ke belakang dan dilihat olehnya makhluk-makhluk kutukan itu bak hewan buas yang hendak menyergap mangsanya. Ia pun berlari begitu cepat. Makhluk-makhluk itu pun mengejarnya lebih cepat.
            “Tenangkan pikiranmu, Fabian!” seru suara itu makin keras.
            Fabian terjebak dalam kebingungan. Di satu sisi, ia masih belum tahu suara siapa itu, dan apakah ia harus takut atau menuruti suara itu. Di sisi lain, keberadaan makhluk-makhluk kutukan itu sangat mengancamnya.
            “Oke, oke. Tenang... tenang, Bian.” tuturnya, memotivasi diri.
            Ia lalu mulai menghentikan larinya dan perlahan melangkah kaki dengan santai, seraya menenangkan pikirannya, seperti yang suara misterius itu perintahkan. Kegelapan di sekitarnya perlahan memudar, begitu juga makhluk-makhluk kutukan itu yang justru semakin tertinggal di belakang. Beberapa langkah lagi ia sepertinya akan sampai di rumah itu.
            “Bian!” seru seorang pria di rumah itu.
            “Ayah?” sahutnya.
            Pria itu adalah Abraham, ayah Fabian. Ia masih nampak gagah dan tampan, seperti beberapa tahun silam. Fabian pun lekas menghampiri dan memeluknya.
            Abraham lalu berbicara pada sosok yang sedari tadi mengikuti dan berbicara dengan Fabian, “Terima kasih.” ucapnya, tersenyum.

***

            “Bian, bangun! Ayo berangkat sekolah! Ayah udah siap nganter kamu nih,” ujar Pak Abraham, dari ruang tv.
            Fabian terbangun dengan bubuhan senyum di wajahnya.
            Entah, semalam itu aku bermimpi atau apa, tapi sepertinya mood ku jadi bagus begini, walaupun semalam genre mimpiku horror.
            “Oke, Yah. Siap!” sahut Fabian, beranjak.
            Selesai merapihkan diri, Fabian bersiap untuk berangkat sekolah.
            “Ayah?” Fabian nampak heran melihat ayahnya yang berpakaian begitu rapih pagi itu. Matanya memandangi dari ujung kaki hingga kepala lelaki gagah itu. “Wuiiih, kereeennnn!”
            Pak Abraham tersenyum, “Mulai hari ini Ayah kerja lagi!”
            “Oh, ya?” tanyanya, antusias.
            “Iya. Lamaran kerja Ayah diterima, Biaaan!” jawab Ayahnya, tersenyum gembira. “Di perusahaan Multimedia, bidang periklanan!”
            “Multimedia, Periklanan, kan...”
            “Iya, Ayah ngerti. Itu jenis perusahaan seperti yang dulu pernah keluarga kita kelola,” jelasnya, “Karena Ayah udah paham dibidangnya, makanya Ayah ambil job ini. Yaa walau pun bukan perusahaan besar dan Ayah juga harus mulai dari bawah banget.” ujarnya, tersenyum.
            “Apapun itu, Yah, Bian akan selalu mendukung!” ungkapnya tersenyum pasti.
            Abraham membalas senyum, “Terima kasih, Bian.”
            “Waduh!” Fabian terkaget.
            “Kenapa, Bian?” tanya ayahnya.
            “Lihat tuh, Yah!” jawabnya, menunjuk ke arah jam dinding.
            “Wah, iya! Yok, ayo berangkat!” sahut Pak Abraham          
            Keduanya bergegas. Pak Abraham mengantar Fabian terlebih dahulu sebelum menuju ke tempat kerjanya di Jakarta.

***

            Perjalanan ke sekolah harusnya tak memakan waktu lama. Tapi karena motor vespa tua itu ngadat, keduanya harus bersabar menghadapi situasi itu.
            “Yaaah, pake ngadat segala ini motor!” keluh Pak Abraham
            Fabian pun lekas turun dari motor, begitu pun Pak Abraham. Ia lalu mengecek motor usang nan klasik itu.
            “Ini paling businya, Yah,” katanya.
            “Iya, Bian. Kamu langsung aja lanjut, naik apa kek gitu.” timpal Pak Abraham.
            “Iyanih, Yah. Tapi Ayah nggak apa-apa Bian tinggal di sini?”
            “Kamu itu, Bian, kayak ngomong ke anak bocah aja. Ya nggak apa-apa lah! Lagian Ayah juga bisa mengatasi ini sendiri kok.” jawab Pak Abraham.
            “Hm, yaudah. Bian lanjut jalan kaki aja deh. Udah dekat kok.” ujarnya.
            Sebuah bus tiba-tiba berhenti di depan Fabian dan Pak Abraham. Seorang gadis lalu turun dari dalamnya.
            "Bian!"
            "Helena?" Fabian terheran, "Kok turun disini? Sekolah kita kan masih beberapa puluh meter lagi,"
            "Iya, Bian. Tadi aku lihat kamu, jadi aku turun deh." jawab Helena.
            "Oh, gitu." Fabian tersenyum. "Oh, iya, kenalin Hel, ini Ayah aku!"
            Pak Abraham kemudian berdiri dan membersihkan tangannya, "Halo, Helena! Saya Abraham, ayahnya Fabian." sapanya, mengulurkan tangan.
            "Nggak usah salaman segala, Yah! Tangan kotor gitu," tutur Fabian.
            Helena menyambut jabat tangan itu, "Nggak apa-apa, Bian."
            "Maaf ya, kotor. Hehe," cengir Pak Abraham.
            "Iya, nggak apa-apa, Om.” Cengirnya, “Aku Helena. Senang berkenalan dengan Om!" serunya, tersenyum manis.
            "Oh, yang sering Bian ceritain itu, kamu toh!" kata Pak Abraham kepada Helena.
            "Emangnya Bian ceritain apaan, Om?" tanya Helena.
            "Wogh, buanyak! Katanya..."
            "Emmm, Hel kayaknya kita harus berangkat sekarang. Takutnya nanti kita telat!" seru
            Fabian, memotong ucapan ayahnya. "Yah, aku sama Helena duluan, ya!"
            "Oh gitu. Kamu nggak mau dengar ceritanya dulu nih, Hel?" tanya Pak Abraham.
            Helena hendak merespon, tapi Fabian segera memotong. "Nggak usah, Yah, katanya."
            Helena nampak heran dengan sikap Fabian yang aneh itu. Sementara Pak Abraham nampak puas dengan kejahilan yang membuat anaknya salah tingkah.
            “Hahaha. Yaudah, hati-hati!” seru Pak Abraham.
            “Iya, Yah. Ayah juga hati-hati!” Fabian mencium tangan ayahnya, “Semoga sukses hari pertama kerjanya!” serunya, lalu bergegas mengajak Helena melanjutkan perjalanan menuju sekolah, dengan tergesa-gesa. "Ayo, Hel!"
            "Om, kita duluan, ya!" ujar Helena, tersenyum.
            "Iya, Hel. Nanti saya lanjutin ceritanya!" seru Pak Abraham, tersenyum jahil.
            "Bohong, Hel, nggak usah. Nggak penting!" tandas Fabian, lalu menggandeng Helena untuk bergegas.
            Pak Abraham tergelak karena gelagat salah tingkah anaknya itu. Senyum bangganya kemudian terbentang dari wajah melihat putra sulungnya itu begitu bersemangat pagi itu. Ia pun membubuhkan senyumnya ke angkasa, sambil mengucap syukur di dalam hati, karena selama masa sulit ini Fabian selalu menjadi anak yang baik baginya.
            Aku harus membuktikan kepadanya dan kepadamu (Alm. Monalisa) bahwa aku akan menjadi ayah yang baik untuk keluarga kita.
            Beberapa menit berselang Pak Abraham berhasil membuat motornya kembali berfungsi. Ia pun bergegas menuju tempat kerjanya, dengan semangat yang menggebu.
            "Semoga dengan Helena, Fabian akan lebih termotivasi lagi." ujarnya, tersenyum tenang.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar