Dua minggu berlalu, Fabian seakan
telah benar-benar terlepas dari aktifitas para-normalnya yang disebut Astral
Projection itu. Kebahagiaan yang ia rasa saat bersama dengan Helena menjadi
energi positif baginya, yang secara otomatis memblokade rasa resah dan gelisah
yang menjadi pemicu terjadinya Auto Astral Projection.
Selain
itu, kondisi Pak Abraham, ayahnya yang kian membaik juga turut mengurangi beban
pikiran Fabian. Apalagi, saat ini ayahnya sudah mau bekerja, yang berarti ia
telah bisa bersosialisasi kembali, setelah lima tahu lamanya mengurung diri.
***
Belum
cukup dengan hari yang melelahkan di sekolah, Fabian kembali harus berkutat
dengan pekerjaan-pekerjaannya yang menumpuk. Hingga larut malam, ia pun harus
masih tetap terjaga untuk menyelesaikan pekerjaannya itu.
Kolom
chat facebook Fabian berbunyi, menandakan ada pesan masuk.
“Hai
Freestyler!” sapa Helena.
“Hai
Penulis!” balas Fabian.
“Kenapa
belum tidur?” tanya Helena.
“Biasa,
kerjaan masih numpuk.” jawab Fabian.
“Kerja
jadi penginput data, emang harus selalu sampai larut malam, ya?” tanya Helena
lagi.
“Yaa
mau gimana lagi, dari pagi sampai sore kan sekolah,” jawab Fabian.
“Tapi
kan kurang bagus tau, kalau diporsir begitu.” Helena menasihati.
“Iya,
makanya aku imbangin dengan minum vitamin,” Fabian berdalih. “Kamu kenapa belum
tidur? Masih nyari inspirasi?” ia balik bertanya.
“Yaa
gitu. Tapi aku udah dapet kok inspirasinya. Hehehe,” jawab Helena.
“Oh
ya? Aku boleh tau, nggak?”
“Kasih
tau nggak, ya?”
“Yaah,
masa aku nggak boleh tau?” Fabian memelas, dan menambahkan emoticon Sad.
“Aku
mau nulis tentang... Seorang pelajar yang super-sibuk dengan pergaulan dan
pekerjaannya, sampai-sampai nggak pernah sempat belajar.” jawab Helena, dengan
emoticon smile.
“Hemh,
nyindir nih?” tanya Fabian, sebal.
“Yee
geer! Hahaha.” balas Helena.
“Yaa
bagus deh, kalau itu bukan aku.”
“Ya
jelas itu kamu lah!” tegas Helena. “Sekali-kali, kamu perbaikin nilai-nilai
pelajaran kamu, dong!”
“Lho,
kamu tau dari mana nilai-nilaiku jelek?” Fabian terheran.
“Aku
cuman asal tebak aja kok. Hahahaha.” balas Helena.
“Itu
jurus aku!!!” seru Fabian, “Wah, mulai ngeselin ya, si Penulis yang satu ini.”
“I learn to be annoying by you, Boy!
Hehehe.” Helena berdalih. “Bian, aku tidur duluan, ya. Ngantuk nih,”
Fabian
tidak membalas, karena ternyata ia telah tertidur lebih dulu tepat di hadapan
layar komputer yang masih menyala. Helena yang sempat menunggu balasan dan
mungkin saja ucapan selamat tidur dari Fabian itu pun beranjak dari depan
komputer, dan menuju ke tempat tidur untuk merebahkan tubuh dan memejamkan
mata. Menuju alam mimpi.
***
[Brukkk]
kepala Fabian menghantam layar komputer dengan tidak sengaja. Ia pun terbangun
dari posisi tidur yang tak ideal itu.
Fabian
coba menjernihkan pandangannya, lalu menatap ke arah jam dinding, “Ah, masih
jam empat?” gerutunya, sambil mengusap-usap kepalanya yang terbentur tadi.
“Helena? Aduh, gue belum sempat balas chatnya!” ujar Fabian, saat melihat pesan
facebooknya dengan Helena.
Terlanjur
terbangun membuat Fabian ingin melakukan sesuatu. Entah mengapa, ia memikirkan
untuk mencoba astral projection itu lagi, setelah beberapa waktu lalu hal
tersebut adalah sesuatu yang paling dihindarinya.
Untuk sekali ini saja, mungkin tidak
apa-apa. Aku hanya ingin melihat Helena dan mengucapkan selamat tidur
kepadanya.
Fabian
mulai dengan memasang headset dan menyalakan nada Binaural Beats di handphone.
Ia merebahkan sekujur tubuhnya, merelaksasi senyaman mungkin, hingga ia mulai
memasuki tahap Sleep Paralysis. Ia
menjaga konsentrasi agar stabil, dan beberapa saat kemudian perasaan seperti
tersedot itu tiba. Tubuh astralnya berhasil memisahkan diri dari raga. Fabian
lantas berkonsentrasi untuk melakukan perjalanan astralnya menuju Helena.
“Hel,
Hel!” Fabian coba berbisik, tapi tetap tak ada suara yang keluar.
Ia
pun berusaha melakukan hal lain, dengan coba membelai rambut Helena. Usaha
kerasnya nyaris tak berbuah, kecuali sehelai rambut Helena yang berhasil ia
buat bergerak yang mungkin saja karena hembus angina.
Ketika
sedang asik ia menatap dan mengagumi wanita kesukaannya itu, tiba-tiba Helena
membuka mata.
“Siapa
itu?” teriak Helena.
Sontak
Fabian terkejut, karena astral projection seharusnya tidak sampai mampu untuk
membangunkan seseorang. Ia merasa ada energi kuat lain yang juga sedang ada di
tempat itu.
Beberapa
detik kemudian, ruang itu nampak seperti gelap gulita, disertai dengan gemuruh
suara seperti runtuhan bangunan. Sosok Black Robed tiba-tiba muncul secara
mengagetkan, lalu menyergap tubuh astral Fabian dengan begitu kuat. Sosok itu
lalu membawa tubuh astral Fabian secara random,
dan memperlihatkan beberapa kejadian mengerikan yang sedang terjadi secara
jelas.
***
“Tempat
apa ini?” Fabian berusaha berontak, saat makhluk itu membawanya ke satu tempat
seperti gang sepi, dengan tembok-tembok besar penuh coretan, dan sampah yang
berserakan.
"Your time is over!" Seru seorang
dengan perawakan tinggi-besar, berkepala plontos dengan tatapan mata yang
begitu sadis.
"Who are you?" sahut seorang pria
paruh baya, dengan pakaian yang sudah berlumuran darah.
"I'm just a bullet of the trigger, who has
been pulled." jawab pria itu, lalu secara brutal membantai pria paruh
baya yang sudah tak berdaya iyu.
Iblis
seakan telah menyatu dengan pria biadab itu, yang tanpa ampun memukul,
menendang, dan menusuk berkali-kali korbannya dengan membabi buta.
"HAHAHAHA.
Die, die, die!" tawa si Plontos.
Melihat
peristiwa keji yang dilakukan oleh seorang pembunuh bayaran itu, Fabian pun
berusaha berontak.
“Dammit! Lepasin gue!” teriak Fabian,
tanpa suara.
Bukannya
terlepas, makhluk itu justru membawa Fabian ke tempat lain. Sebuah sel penjara
yang gelap dan lembab, nampak seorang pria kurus berambut panjang sedang
melilit-lilitkan celananya lalu mengikat itu ke sebuah besi di tembok.
"Hidup
ini sudah tak ada artinya lagi bagi seorang pecundang sepertiku." tutur
pria itu. Ia lalu memasukan kepalanya ke celah kecil dari celana yang diikatnya
tadi, dan mengangkatkan kaki dari pijakan. Sangatlah jelas dihadapan Fabian,
orang itu mati gantung diri.
Kemudian
muncul sosok lain. Tinggi-besar dengan kengerian yang tak tergambarkan. Itu
adalah Sang Malaikat Maut, menyeret roh orang itu tanpa belas kasihan, dengan
rantai api dan wajah tergarang yang pernah dilihat.
“What
the...?” Fabian terperangah.
Seolah
belum puas, Black Robed kemudian membawa Fabian ke tengah jalan raya. "Sekarang apa lagi?" keluh
Fabian.
Sepersekian
detik kemudian dua mobil nampak bertabrakan begitu parah. Fabian melihat jelas
bagaimana para korban kecelakaan itu bersimbah darah. Ada yang masih hidup dan
meronta-ronta, ada juga yang tewas seketika, kemudian roh-nya nampak menangis
lirih karena terpisah dari raganya.
“Apa
maunya? Mengapa dia terus membawaku melihat orang-orang yang akan mati?” tanya
Fabian, di dalam benak.
***
Sementara
tubuh astral Fabian melakukan perjalanan liar itu, raganya nampak melemah.
Keringat dingin mengalir deras.
[cetrek]
Ayah menyalakan lampu kamar, “Fabian, bangun! Udah pagi.” ujar Ayah, lalu pergi
lagi.
Fabian
lantas terbangun. Cahaya lampu itu menarik kembali tubuh astralnya yang
sebelumnya sedang ada dalam sergapan Black Robed.
“Apa
maksud dari semua hal itu?” tanya Fabian pada keadaan.
Fabian
melakukan kesalahan fatal, karena ia seolah membuka kembali akses untuk makhluk
itu. Black Robed yang telah mengincarnya sejak ia pertama kali melakukan astral
projection, kini mendapatkan akses itu kembali.
Dengan
memperlihatkan kepada Fabian tentang peristiwa-peristiwa mengerikan semalam,
Black Robed ingin membuat Fabian terus diteror rasa resah dan gelisah hingga ia
melepas tubuh astralnya itu secara otomatis lagi. Dengan begitu, Black Robed
bisa terus menghantui Rick untuk menyerap energi, hingga Fabian semakin lemah
dan ia semakin kuat.
***
Jam
istirahat sekolah, Evan dan Dimas duduk bersama di kantin dengan segelas jus
melon dan secangkir kopi susu. Keduanya nampak sedang asik membahas tentang
sihir, makhluk halus, dan Black Magic.
“Jadi
gitu, Van. Black Robed itu salah satu permainan Black Magic. Makhluk itu
seperti ‘penghisap’ yang menyerap energi kita, hingga kita lelah, lemas, dan
lemah.” jelas Dimas kepada Evan.
“Oh,
gitu. Waktu itu gue pernah, Jas, bangun tidur gue ngerasa begitu. Lelah dan
lemas gitu, abis mimpi basah. Jangan-jangan cewek yang ada di mimpi gue itu
jelmaan Black Robed? Hahahaha.” Evan menanggapi penjelasan Dimas dengan
bercanda.
“Ah,
terserah loe deh, Van.” tegas Dimas, masa bodo.
Helena
nampak melihat-lihat sekitar, seperti mencari seseorang. Setelah melihat Evan
yang sedang bersama Dimas, ia pun datang menghampiri mereka.
“Van,
Fabian mana?” tanya Helena.
Evan
menoleh, “Nggak masuk, Hel.”
“Lho,
kenapa?” tanya Helena lagi.
“Tadi
pagi sih dia telepon gue, katanya kurang enak badan.” jawab Evan, serius.
Helena
berpikir sejenak, “Oh, gitu, ya.”
“Yang
ada aja, lah, Hel!” ujar Evan, cengengesan.
“Maksudnya?”
tanya Helena, tak mengerti maksud perkataan Evan.
“Yaa,
kan Fabian lagi nggak ada, yaa sama gue aja yang ada. Hehehe,” jawab Evan.
“Ih,
apaan sih loe, Van!” Helena nampak kesal.
“Bercanda,
Hel. Hehehe,” kilah Evan.
“Hemm,
Hel! Bella apa kabar?” tanya Dimas, tiba-tiba menyambar.
“Bella?
Tuh orangnya!” tunjuk Helena ke sudut kantin, “Tanya sendiri aja!” kekeh
Helena, tersenyum tendensius.
Dimas
seketika tersipu. “Emmm... enggg, emm...”
“Heh,
Cupu! Ternyata bisa suka sama cewek juga ya, loe. Gue kira cuman suka sama
cerita horror!?” ejek Evan.
“Yaah
loe, Van... Gue kan cuman nanya kabar,” Dimas tertunduk.
“Nggak
usah munafik loe!” kekeh Evan.
“Yaudah,
yaudah. Nanti gue tanyain kabar Bella, deh.” cengir Helena.
“Bilang,
titip salam juga, gitu!” Evan berbisik pada Dimas.
Dimas
menoleh, “Ta-tapi, Van...”
“Udah,
nurut aja sama gue!” Evan memotong, “Loe mau berhasil, nggak?”
“I-iya...”
jawab Dimas, tak langsung berucap.
“Ah,
kebanyakan mikir, loe!” ujar Evan, kesal. “Sekalian titip salam, kata si Cupu,
Hel!” seru Evan pada Helena.
Helena
mengangguk paham, “O-oke.”
***
Fabian
masih terbayang-bayang beberapa peristiwa nahas yang nampak jelas ia saksikan
itu. Pembunuhan, kecelakaan, bunuh diri, Malaikat Maut, tubuh yang
meronta-ronta, dan roh yang menangisi jasadnya.
Dering Handphone berbunyi.
“Hallo,
Bian?” sapa Helena.
“Iya,
Hel,” jawab Fabian, suaranya nampak lemah.
“Kamu
sakit?” tanya Helena, cemas.
“Agak
kurang enak badan aja,” jawab Fabian santai, agar Helena tak khawatir.
“Semalem,
kamu tidur jam berapa? Sengaja ya, chat aku nggak dibales, supaya kamu dikira
udah tidur, terus padahal kamu begadang!” tuding Helena, kesal.
Fabian
tersenyum, “Nggak gitu, kok. Itu aku ketiduran, makanya nggak bales chat kamu.
Maaf, ya!?”
“Hmm,
gitu. Iya deh, nggak apa-apa. Tapi kamu bener nggak begadang, kan?” tanya
Helena, masih tak percaya.
“Nggak.
Semalem aku ketiduran di depan komputer, terus kebangun jam empat, eh nggak
bisa tidur lagi. Pas tadi pagi aku bangun, langsung nggak enak badan.” jelas
Fabian, merahasiakan. “Mungkin karena posisi tidur aku yang nggak ideal itu.”
tambahnya.
“Oh,
gitu. Yaudah, kamu istirahat ya, Bian. Semoga cepat sehat.”
“Iya,
makasih, ya, Hel.”
“Bye,
Bian.”
“Bye,
Hel.”
Kaki
itu menapak ke teras, dari tempat tidur Fabian coba untuk beranjak. Berdiam di
kamar sejak pagi membuatnya bosan. Ia merapihkan selimut dengan melipatnya.
Dengan agak tertatih, Fabian keluar dari kamar.
***
“Gimana
keadaan kamu?” tanya ayahnya, khawatir.
Fabian
lantas duduk di sofa, di samping ayahnya, “Aku baik-baik aja kok, Yah.”
jawabnya, tersenyum.
“Baik-baik
aja, apanya? Kamu pucat begitu.” kekeh Pak Abraham.
“Nggak
apa-apa, Yah, aku cuman kecapekan aja,” cengir Fabian, menekan tombol remot tv,
mengganti channel.
Pak
Abraham menatap sedih anaknya itu, “Maaf ya, Bian. Ayah belum bisa jadi ayah
yang baik buat kamu,”
“Ah,
lebay, Yah. Ini cuman lagi kebetulan daya tahan tubuh aku lagi lemah aja,
makanya sakit.” sanggah Fabian, lalu beranjak. "Oh iya, gimana Ya,
kerjaannya?"
"Kemaren
sih udah naro CV di beberapa perusahaan. Yeaa tinggal tunggu panggilan
aja." jawab Pak Abraham.
"Oh,
gitu. Bagus, lah!" seru Fabian, lantas beranjak.
“Kamu
mau kemana?” tanya Pak Abraham.
“Makan,
Yah. Laper.” jawab Fabian.
“Itu
di meja! Habisin aja semua, Ayah udah makan.”
“Siap!”
sahut Fabian.
Fabian
duduk di meja makan, dengan makanan yang hendak di santapnya. Ketika ia menoleh
ke arah ayahnya, sekilas sekelibat bayangan hitam berdiri tepat di hadapan
ayahnya.
Melihat
itu, Fabian pun panik. “Bukan, bukan! Itu bukan Black Robed. Gue nggak boleh
panik!” ia berusaha mensugesti diri.
Fabian
berusaha untuk tidak memikirkan apapun yang dapat mengingatkannya dengan Black
Robed, karena ia tahu, semakin mengingat makhluk itu maka ia akan memberi celah
untuk mempengaruhi dengan rasa resah dan gelisah, dengan begitu makhluk itu
akan semakin mudah menyerangnya lagi.
Ia
coba menikmati tiap suap makanan yang disantapnya, tapi ia kemudian malah
teringat ucapa Dimas, “Semakin orang yang
dihantuinya itu merasa takut, maka semakin kuat Black Robed itu. Bahkan, pada
level tertentu bisa menampakan diri di dunia nyata, yang membuat orang yang
dihantuinya seakan mengalami delusi, kerasukan, dan bahkan seperti orang
mengalami gangguan jiwa karena teror Black Robed itu...” Fabian nampak
terngiang-ngiang dengan hal itu.
***
Siang
berganti malam, keramaian pun berganti keheningan. Langit terang berganti
gelap, perasaan Fabian makin tak menentu. Ia sangat khawatir jika sosok itu
kembali dan menerornya.
“Untuk
malam ini, gua harus istirahat total, supaya besok bisa masuk sekolah lagi dan
ketemu dengan Helena, energi positifku. Aku yakin, ini akan segera berakhir.”
Fabian menyalakan lampu kamar, lalu naik ke tempat tidur untuk memejamkan mata.
“Semoga dia (Black Robed) tidak menggangguku lagi.”
Malam
kian sunyi. Detak jam dinding terdengar nyaring di tiap detiknya jarum jam itu
bergerak. Rasanya baru beberapa menit terpejam, kekhawatiran itu seperti malah
mewujud malam itu. Tiba-tiba tubuhnya seperti tertindih sesuatu yang sangat
besar dan berat. Ia berusaha melawan, namun terasa semakin tak berdaya.
Jangankan untuk berteriak, untuk berucap saja mulutnya tak sanggup.
Perasaan
resah dan gelisah itu menjadi celah bagi Black Robed untuk kembali menyerang
Fabian.
“Jangan
lagi, gue mohon...” Fabian menggumam tanpa suara.
[cetrek]
Tiba-tiba lampu kamarnya mati, saat tak ada yang menekan stop kontaknya.
Sosok
hitam tinggi-besar berjubah itu nampak jelas melayang di hadapan wajah Fabian.
Wajah temaram dengan sorot mata merah menyala dan bentangan jubahnya yang
menutupi seisi ruang kamar itu membuat Fabian hanya bisa terperangah dan
terdiam, dengan tatapan yang terpaku dan tak berkedip sekali pun.
Beberapa
detik kemudian tubuh astralnya kembali terlepas dari raga itu secara otomatis.
Lagi-lagi makhluk itu membawanya berwisata kematian, dengan menunjukan berbagai
macam cara orang-orang menemui ajalnya.
“Oh,
tidak! Jangan lagi...” oceh Fabian.
***
Ia
dibawa makhluk itu ke suatu tempat seperti bunker, di mana tiga orang ekstrimis
terlihat sedang mengasah pedang.
"Blood for blood!" ucap salah
seorang pria memakai topeng hitam. "Above
name of justice, the sword will send you to the hell!"
Dua
orang ekstrimis lainnya lalu membawa seorang pria kulit putih yang tubuhnya
penuh memar, seperti baru mengalami penyiksaan.
"No, please... Don't do this, please!"
rintih pria kulit putih.
Tanpa
ragu, seorang ekstrimis yang menjadi algojo pun menghunuskan pedang itu dan
menebas leher pria kulit putih itu hingga terpisah dari badannya.
Fabian
coba memejamkan mata, namun percuma karena tubuhnya itu bukanlah raga fisik. Ia
tak bisa menghindar atau memalingkan diri dari kejadian mengerikan itu.
Beberapa
detik kemudian ia sudah berpindah ke sebuah rumah di tengah hutan yang jauh
dari keramaian. Seorang lelaki dengan perawakan tinggi-besar, berambut panjang
dan berjanggut lebat, sedang mendengarkan musik klasik sambil menari-nari,
"Nanananana... Lalalala~" seraya mencincang-cincang bagian tubuh
seseorang yang menjadi korban mutilasinya.
Lelaki
psikopat itu kemudian tertawa sambil seperti menatap ke arah Fabian. “Oh,
shit!” kata Fabian, dalam benak.
Secepat kilat, Black Robed membawanya ke
tempat lain. Sebuah ruangan gelap, seperti kamar. Seorang wanita nampak
menggendong bayi.
"Nina
bobo, oh, nina bobo... Kalau tidak bobok, digigit nyamuk." wanita itu
menatap bayinya pilu. Rasa depresi mendalam nampak di wajah ibu muda itu.
Setelah meninabobokan, ia meletakan bayi itu di atas tempat tidur.
Airmata
seketika turun menglir di pipinya, "Maafin Ibu, Nak. Tapi kamu tidak
pantas hidup di dunia ini!” kata wanita itu, lalu mencekik bayinya hingga suara
tangis dari bayi itu seketika henyap.
Fabian
tak bisa berbuat apa-apa, dan hanya menatap haru bayi itu.
“Kenapa
kamu membunuh bayi yang tak berdosa itu!?” Fabian berusaha meneriaki wanita
yang menangis setelah membunuh bayi itu, namun tetap tak ada suara yang keluar
dari kerongkongannya.
Selesai
menyerap energi, makhluk itu mengembalikan tubuh astral Fabian ke raganya yang
terbaring lemah itu. Fabian terbangun, tapi bukan dari tidur, melainkan dari
perjalanan melelahkan dan mengerikan yang lebih seperti mimpi terburuk itu.
***
Mata
itu terbuka, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Tubuhnya lemas
bukan main, seperti baru selesai menempuh perjalanan jauh tanpa menggunakan
kendaraan. Rasanya hanya beberapa menit saja itu terjadi, tapi malam terasa
begitu singkat. Pikirannya masih belum bisa fokus. Fabian terbayang
kejadian-kejadian yang semalam disaksikannya itu. Bahkan, beberapa kejadian
yang disaksikannya semalam itu bukanlah terjadi di Indonesia. Fenomena apa itu?
Nalar pun sulit menjelaskan.
***
Tidak
seperti hari-hari biasanya, hari itu Fabian ke sekolah dengan diantar oleh
ayahnya. Meski nampak belum begitu sehat, bahkan lebih buruk kesehatannya dari
hari kemarin, tapi ia memilih untuk bersekolah, karena ia merasa istirahat di
rumah tidak akan membuatnya lebih baik.
Ia
turun dari motor, dan berusaha untuk tidak terlihat lemah.
“Kamu
yakin udah sehat?” tanya ayahnya.
“Iya,
Yah. Aku udah mendingan kok.” jawabnya, tersenyum pasti.
“Yaudah,
kalau gitu, Ayah pulang, ya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aja! Nanti
Ayah jemput.” seru Pak Abraham, lalu menghidupkan lagi motornya.
“Sip!”
jawabnya, singkat.
Pak
Abraham memutar balik dengan motor vespanya, lalu bergegas pergi.
Setelah
melihat ayahnya benar-benar pergi, Fabian berjalan menuju kelas.
Tubuhnya
seperti agak goyah, ia berdiam sesaat, “Ayo, Fabian, loe pasti kuat!” katanya,
mensugesti diri.
“Fabian!”
panggil Dimas dari arah belakang. Ia lalu mempercepat langkahnya, dan
menghampiri Fabian.
Fabian
menoleh lemas, tatapan matanya layu. “Eh, Dim,” sahutnya, tersenyum.
“Loe
masih sakit ,ya? Kok udah masuk sekolah?” tanya Dimas.
“Diam
di rumah nggak membuat gue lebih baik,” jawab Fabian.
Dimas
terheran, dan coba menerka-nerka, “Jangan-jangan...”
Fabian
memotong, “Bukan, Dim.” jawabnya, seolah tau apa yang hendak Dimas lontarkan.
"Oke,
oke. Be strong, Dude!” Dimas memotivasi.
“Yoi.
Thanks, ya!” balas Fabian, “Dim, gue ke kelas duluan, ya!” ujarnya.
“Oke,”
sahut Dimas, memperhatikan Fabian dari belakang yang nampak berjalan seperti
orang yang sedang memikul beban. “What
the hell’s going on?”
***
“Pagi,
Bu!” sapa Fabian, “Maaf, ya. Saya terlambat.”
“Nggak
kok, Bian. Ibu juga baru saja masuk kelas.” ujar Bu Rahmi, guru mata pelajaran
Ekonomi. “Kamu udah sehat, Bian?”
Fabian
meletakan tasnya di atas meja, lalu duduk, “Sehat kok, Bu.” jawabnya, dengan
senyuman.
Bu
Rahmi masih menatap heran anak itu, “Kamu yakin? Kalau masih kurang sehat, ke
UKS aja. Nggak usah memaksakan diri.”
“Yakin,
Bu. Saya sudah sehat, kok. Ini mungkin cuman efek dari obat,” cengirnya.
"Oh,
gitu." Mendengar ucapan Fabian yang sangat meyakinkan itu, Bu Rahmi pun
melanjutkan pengajarannya.
Evan
melirik curiga ke arah Fabian, “Eh, loe bohong, ya! Kelihatan jelas gitu loe
masih sakit.” kekehnya.
“Udah
mendingan kok, Van.” cengirnya.
Evan
tak lantas percaya begitu saja. Ia terus memperhatikan Fabian sembari coba
menerka-nerka. “Ada yang aneh nih bocah,” gumamnya dalam hati.
***
Teeettt
teeettt!!! bel istirahat berdering.
Tak
seperti biasanya, istirahat hari itu Fabian tidak pergi ke kantin dan memilih
untuk berdiam di kelas.
“Sob,
ke kantin yuk!” ajak Evan.
“Loe
aja, deh, Van. Gue lagi males.” sahut Fabian, yang hanya terduduk lemas dan
menatap kosong.
“Loe
yakin? Ada Helena, lho!” rayu Evan, masih berusaha keras.
Fabian
tersenyum, “Yakin, Van.”
“Hmmm,
yaudah deh, kalau gitu. Loe nggak apa-apa sendiri?” tanya Evan, yang ingin
memastikan temannya itu akan baik-baik.
Fabian
mengacungkan jempolnya, yang berarti ia akan baik-baik saja.
Saat
Evan hendak keluar dai kelas, Helena datang.
“Pantes
aja yakin banget nggak mau ke kantin. Huh!” oceh Evan, mengejek. “Hel, jaga
baik-baik ya temen gue. Kalau manja-manja dikit, maklumin aja.” cengirnya
kepada Helena.
“Iya,
Van,” jawab Helena, tergelak. Ia lalu menghampiri Fabian.
“Jangan
aneh-aneh, ya! Inget tuh, ada CCTV!” seru Evan, tergelak.
Sambil
tersenyum, Fabian mengacungkan jari tengah kepada Evan. Evan tertawa jahil,
lalu pergi.
Helena
duduk di kursi di depan Fabian, menghadap ke belakang. “Hei!” sapanya.
“Hei,”
balas Fabian, tersenyum.
“Kamu
udah baikan?” tanya Helena.
Kedatangan
Helena tak sekedar raga yang menghampiri baginya, melainkan juga seperti
semangat spiritual yang memulihkannya. Fabian merasa energi positif itu
benar-benar dirasakannya dari sosok Helena. Ia seperti baru saja disuntik
cairan yang membuat seluruh tubuhnya kembali berfungsi dengan sangat baik.
“Lumayan,
Hel.” jawab Fabian, tersenyum pasti.
“Hmm,
bagus deh.” imbuh Helena. “Eh, Bian. Aku mau cerita, nih!” lanjutnya, mimik
wajahnya mendadak serius.
Fabian
merespon dengan tidak kalah serius, “Tentang apa, Hel?”
Helena
menghela napas berat, “Kemarin malam, aku merasa ada kejadian aneh pas aku lagi
tidur...”
Fabian
langsung teringat dengan peristiwa ketika ia mendatangi Helena dengan tubuh
astralnya. Saat itu ia melihat Helena terbangun dengan mengejutkan, sebelum ia
akhirnya disergap oleh Black Robed dan dibawa secara random ke dari satu tempat
ke tempat lain.
“Bian,
Bian!” Helena coba menyadarkan Fabian yang sedang termenung.
“Iya,
Hel?” ia tersadar.
“Kamu
dengar cerita aku, kan?” tanya Helena.
Fabian
mengangguk.
“Hemm...
Jadi gitu, Bian. Aku merasa ada seseorang yang datang malam itu, dan orang itu
nggak asing bagiku. Tapi, aku juga nggak tau siapa, dan bagaimana orang itu
bisa begitu nyata menyapaku.” lanjut Helena, terheran.
“Hemm...
Terus, terus?” tanya Fabian, tangannya tertanam di meja, memangku dagunya.
“Beberapa
detik setelah suara itu, rambut aku kayak dibelai gitu. Aku kira tadinya itu
cuman mimpi, tapi pas rambut aku juga seperti dibelai, dan aku yakin saat itu
bukan karena angin, karena jendela dan pintu jelas tertutup rapat tanpa celah.”
Helena nampak serius menceritakan detail kejadian. “Tapi pas aku bangun sambil
teriak, kayak nggak terjadi apa-apa.”
“Berarti
kamu cuman bermimpi, Hel.” cengirnya, tak ingin Helena mengetahui bahwa orang
itu adalah dirinya.
“Tapi
itu terasa nyata banget, Bian.” kekeh Helena.
“Aku
juga pernah kok mengalami hal seperti itu. Mimpi yang rasanya seperti
kenyataan.” ungkap Fabian.
“Oh,
gitu.” Helena nampak masih tak yakin bahwa yang dialaminya itu hanya sebatas
mimpi. “Oh, iya. Ini aku sedikit makanan, Bian.” Helena mengeluarkan kotak
makanan berisi Sandwich racikannya, lalu memberikan kepada Fabian.
“Buat
aku?” tanya Fabian, memastikan.
“Iyaa,”
jawab Helena.
“Makasih,
ya, Hel.” ucap Fabian, lekas melahap Sandwich itu.
Teeettt
teeettt!!! Bel masuk kembali berbunyi.
“Bian,
aku balik ke kelas, ya!” kata Helena.
“Oke,”
ia menggangguk dan tersenyum.
“Cepat
sembuh, ya!” tambah Helena.
Fabian
mengangguk sambil tersenyum.
Pertemuan
dengan Helena membuat Fabian membaik secara batin, dan itu pun berdampak
signifikan pada kesehatan fisiknya, yang perlahan juga nampak membaik. Helena
benar-benar obat manjur untuknya, setidaknya untuk saat itu.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar