Kamis, 02 April 2015

MELIHAT KEMATIAN



Dua minggu berlalu, Fabian seakan telah benar-benar terlepas dari aktifitas para-normalnya yang disebut Astral Projection itu. Kebahagiaan yang ia rasa saat bersama dengan Helena menjadi energi positif baginya, yang secara otomatis memblokade rasa resah dan gelisah yang menjadi pemicu terjadinya Auto Astral Projection.
            Selain itu, kondisi Pak Abraham, ayahnya yang kian membaik juga turut mengurangi beban pikiran Fabian. Apalagi, saat ini ayahnya sudah mau bekerja, yang berarti ia telah bisa bersosialisasi kembali, setelah lima tahu lamanya mengurung diri.

***

            Belum cukup dengan hari yang melelahkan di sekolah, Fabian kembali harus berkutat dengan pekerjaan-pekerjaannya yang menumpuk. Hingga larut malam, ia pun harus masih tetap terjaga untuk menyelesaikan pekerjaannya itu.
            Kolom chat facebook Fabian berbunyi, menandakan ada pesan masuk.
            “Hai Freestyler!” sapa Helena.
            “Hai Penulis!” balas Fabian.
            “Kenapa belum tidur?” tanya Helena.
            “Biasa, kerjaan masih numpuk.” jawab Fabian.
            “Kerja jadi penginput data, emang harus selalu sampai larut malam, ya?” tanya Helena lagi.
            “Yaa mau gimana lagi, dari pagi sampai sore kan sekolah,” jawab Fabian.
            “Tapi kan kurang bagus tau, kalau diporsir begitu.” Helena menasihati.
            “Iya, makanya aku imbangin dengan minum vitamin,” Fabian berdalih. “Kamu kenapa belum tidur? Masih nyari inspirasi?” ia balik bertanya.
            “Yaa gitu. Tapi aku udah dapet kok inspirasinya. Hehehe,” jawab Helena.
            “Oh ya? Aku boleh tau, nggak?”
            “Kasih tau nggak, ya?”
            “Yaah, masa aku nggak boleh tau?” Fabian memelas, dan menambahkan emoticon Sad.
            “Aku mau nulis tentang... Seorang pelajar yang super-sibuk dengan pergaulan dan pekerjaannya, sampai-sampai nggak pernah sempat belajar.” jawab Helena, dengan emoticon smile.
            “Hemh, nyindir nih?” tanya Fabian, sebal.
            “Yee geer! Hahaha.” balas Helena.
            “Yaa bagus deh, kalau itu bukan aku.”
            “Ya jelas itu kamu lah!” tegas Helena. “Sekali-kali, kamu perbaikin nilai-nilai pelajaran kamu, dong!”
            “Lho, kamu tau dari mana nilai-nilaiku jelek?” Fabian terheran.
            “Aku cuman asal tebak aja kok. Hahahaha.” balas Helena.
            “Itu jurus aku!!!” seru Fabian, “Wah, mulai ngeselin ya, si Penulis yang satu ini.”
            I learn to be annoying by you, Boy! Hehehe.” Helena berdalih. “Bian, aku tidur duluan, ya. Ngantuk nih,”
            Fabian tidak membalas, karena ternyata ia telah tertidur lebih dulu tepat di hadapan layar komputer yang masih menyala. Helena yang sempat menunggu balasan dan mungkin saja ucapan selamat tidur dari Fabian itu pun beranjak dari depan komputer, dan menuju ke tempat tidur untuk merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Menuju alam mimpi.

***

            [Brukkk] kepala Fabian menghantam layar komputer dengan tidak sengaja. Ia pun terbangun dari posisi tidur yang tak ideal itu.
            Fabian coba menjernihkan pandangannya, lalu menatap ke arah jam dinding, “Ah, masih jam empat?” gerutunya, sambil mengusap-usap kepalanya yang terbentur tadi. “Helena? Aduh, gue belum sempat balas chatnya!” ujar Fabian, saat melihat pesan facebooknya dengan Helena.
            Terlanjur terbangun membuat Fabian ingin melakukan sesuatu. Entah mengapa, ia memikirkan untuk mencoba astral projection itu lagi, setelah beberapa waktu lalu hal tersebut adalah sesuatu yang paling dihindarinya.
            Untuk sekali ini saja, mungkin tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat Helena dan mengucapkan selamat tidur kepadanya.
            Fabian mulai dengan memasang headset dan menyalakan nada Binaural Beats di handphone. Ia merebahkan sekujur tubuhnya, merelaksasi senyaman mungkin, hingga ia mulai memasuki tahap Sleep Paralysis. Ia menjaga konsentrasi agar stabil, dan beberapa saat kemudian perasaan seperti tersedot itu tiba. Tubuh astralnya berhasil memisahkan diri dari raga. Fabian lantas berkonsentrasi untuk melakukan perjalanan astralnya menuju Helena.
            “Hel, Hel!” Fabian coba berbisik, tapi tetap tak ada suara yang keluar.
            Ia pun berusaha melakukan hal lain, dengan coba membelai rambut Helena. Usaha kerasnya nyaris tak berbuah, kecuali sehelai rambut Helena yang berhasil ia buat bergerak yang mungkin saja karena hembus angina.
            Ketika sedang asik ia menatap dan mengagumi wanita kesukaannya itu, tiba-tiba Helena membuka mata.
            “Siapa itu?” teriak Helena.
            Sontak Fabian terkejut, karena astral projection seharusnya tidak sampai mampu untuk membangunkan seseorang. Ia merasa ada energi kuat lain yang juga sedang ada di tempat itu.
            Beberapa detik kemudian, ruang itu nampak seperti gelap gulita, disertai dengan gemuruh suara seperti runtuhan bangunan. Sosok Black Robed tiba-tiba muncul secara mengagetkan, lalu menyergap tubuh astral Fabian dengan begitu kuat. Sosok itu lalu membawa tubuh astral Fabian secara random, dan memperlihatkan beberapa kejadian mengerikan yang sedang terjadi secara jelas.

***

            “Tempat apa ini?” Fabian berusaha berontak, saat makhluk itu membawanya ke satu tempat seperti gang sepi, dengan tembok-tembok besar penuh coretan, dan sampah yang berserakan.
            "Your time is over!" Seru seorang dengan perawakan tinggi-besar, berkepala plontos dengan tatapan mata yang begitu sadis.
            "Who are you?" sahut seorang pria paruh baya, dengan pakaian yang sudah berlumuran darah.
            "I'm just a bullet of the trigger, who has been pulled." jawab pria itu, lalu secara brutal membantai pria paruh baya yang sudah tak berdaya iyu.
            Iblis seakan telah menyatu dengan pria biadab itu, yang tanpa ampun memukul, menendang, dan menusuk berkali-kali korbannya dengan membabi buta.
            "HAHAHAHA. Die, die, die!" tawa si Plontos.
            Melihat peristiwa keji yang dilakukan oleh seorang pembunuh bayaran itu, Fabian pun berusaha berontak.
            Dammit! Lepasin gue!” teriak Fabian, tanpa suara.
            Bukannya terlepas, makhluk itu justru membawa Fabian ke tempat lain. Sebuah sel penjara yang gelap dan lembab, nampak seorang pria kurus berambut panjang sedang melilit-lilitkan celananya lalu mengikat itu ke sebuah besi di tembok.
            "Hidup ini sudah tak ada artinya lagi bagi seorang pecundang sepertiku." tutur pria itu. Ia lalu memasukan kepalanya ke celah kecil dari celana yang diikatnya tadi, dan mengangkatkan kaki dari pijakan. Sangatlah jelas dihadapan Fabian, orang itu mati gantung diri.
            Kemudian muncul sosok lain. Tinggi-besar dengan kengerian yang tak tergambarkan. Itu adalah Sang Malaikat Maut, menyeret roh orang itu tanpa belas kasihan, dengan rantai api dan wajah tergarang yang pernah dilihat.
            “What the...?” Fabian terperangah.
            Seolah belum puas, Black Robed kemudian membawa Fabian ke tengah jalan raya.            "Sekarang apa lagi?" keluh Fabian.
            Sepersekian detik kemudian dua mobil nampak bertabrakan begitu parah. Fabian melihat jelas bagaimana para korban kecelakaan itu bersimbah darah. Ada yang masih hidup dan meronta-ronta, ada juga yang tewas seketika, kemudian roh-nya nampak menangis lirih karena terpisah dari raganya.
            “Apa maunya? Mengapa dia terus membawaku melihat orang-orang yang akan mati?” tanya Fabian, di dalam benak.

***

            Sementara tubuh astral Fabian melakukan perjalanan liar itu, raganya nampak melemah. Keringat dingin mengalir deras.
            [cetrek] Ayah menyalakan lampu kamar, “Fabian, bangun! Udah pagi.” ujar Ayah, lalu pergi lagi.
            Fabian lantas terbangun. Cahaya lampu itu menarik kembali tubuh astralnya yang sebelumnya sedang ada dalam sergapan Black Robed.
            “Apa maksud dari semua hal itu?” tanya Fabian pada keadaan.
            Fabian melakukan kesalahan fatal, karena ia seolah membuka kembali akses untuk makhluk itu. Black Robed yang telah mengincarnya sejak ia pertama kali melakukan astral projection, kini mendapatkan akses itu kembali.
            Dengan memperlihatkan kepada Fabian tentang peristiwa-peristiwa mengerikan semalam, Black Robed ingin membuat Fabian terus diteror rasa resah dan gelisah hingga ia melepas tubuh astralnya itu secara otomatis lagi. Dengan begitu, Black Robed bisa terus menghantui Rick untuk menyerap energi, hingga Fabian semakin lemah dan ia semakin kuat.

***

            Jam istirahat sekolah, Evan dan Dimas duduk bersama di kantin dengan segelas jus melon dan secangkir kopi susu. Keduanya nampak sedang asik membahas tentang sihir, makhluk halus, dan Black Magic.
            “Jadi gitu, Van. Black Robed itu salah satu permainan Black Magic. Makhluk itu seperti ‘penghisap’ yang menyerap energi kita, hingga kita lelah, lemas, dan lemah.” jelas Dimas kepada Evan.
            “Oh, gitu. Waktu itu gue pernah, Jas, bangun tidur gue ngerasa begitu. Lelah dan lemas gitu, abis mimpi basah. Jangan-jangan cewek yang ada di mimpi gue itu jelmaan Black Robed? Hahahaha.” Evan menanggapi penjelasan Dimas dengan bercanda.
            “Ah, terserah loe deh, Van.” tegas Dimas, masa bodo.
            Helena nampak melihat-lihat sekitar, seperti mencari seseorang. Setelah melihat Evan yang sedang bersama Dimas, ia pun datang menghampiri mereka.
            “Van, Fabian mana?” tanya Helena.
            Evan menoleh, “Nggak masuk, Hel.”
            “Lho, kenapa?” tanya Helena lagi.
            “Tadi pagi sih dia telepon gue, katanya kurang enak badan.” jawab Evan, serius.
            Helena berpikir sejenak, “Oh, gitu, ya.”
            “Yang ada aja, lah, Hel!” ujar Evan, cengengesan.
            “Maksudnya?” tanya Helena, tak mengerti maksud perkataan Evan.
            “Yaa, kan Fabian lagi nggak ada, yaa sama gue aja yang ada. Hehehe,” jawab Evan.
            “Ih, apaan sih loe, Van!” Helena nampak kesal.
            “Bercanda, Hel. Hehehe,” kilah Evan.
            “Hemm, Hel! Bella apa kabar?” tanya Dimas, tiba-tiba menyambar.
            “Bella? Tuh orangnya!” tunjuk Helena ke sudut kantin, “Tanya sendiri aja!” kekeh Helena, tersenyum tendensius.
            Dimas seketika tersipu. “Emmm... enggg, emm...”
            “Heh, Cupu! Ternyata bisa suka sama cewek juga ya, loe. Gue kira cuman suka sama cerita horror!?” ejek Evan.
            “Yaah loe, Van... Gue kan cuman nanya kabar,” Dimas tertunduk.
            “Nggak usah munafik loe!” kekeh Evan.
            “Yaudah, yaudah. Nanti gue tanyain kabar Bella, deh.” cengir Helena.
            “Bilang, titip salam juga, gitu!” Evan berbisik pada Dimas.
            Dimas menoleh, “Ta-tapi, Van...”
            “Udah, nurut aja sama gue!” Evan memotong, “Loe mau berhasil, nggak?”
            “I-iya...” jawab Dimas, tak langsung berucap.
            “Ah, kebanyakan mikir, loe!” ujar Evan, kesal. “Sekalian titip salam, kata si Cupu, Hel!” seru Evan pada Helena.
            Helena mengangguk paham, “O-oke.”

***

            Fabian masih terbayang-bayang beberapa peristiwa nahas yang nampak jelas ia saksikan itu. Pembunuhan, kecelakaan, bunuh diri, Malaikat Maut, tubuh yang meronta-ronta, dan roh yang menangisi jasadnya.
            Dering Handphone berbunyi.
            “Hallo, Bian?” sapa Helena.
            “Iya, Hel,” jawab Fabian, suaranya nampak lemah.
            “Kamu sakit?” tanya Helena, cemas.
            “Agak kurang enak badan aja,” jawab Fabian santai, agar Helena tak khawatir.
            “Semalem, kamu tidur jam berapa? Sengaja ya, chat aku nggak dibales, supaya kamu dikira udah tidur, terus padahal kamu begadang!” tuding Helena, kesal.
            Fabian tersenyum, “Nggak gitu, kok. Itu aku ketiduran, makanya nggak bales chat kamu. Maaf, ya!?”
            “Hmm, gitu. Iya deh, nggak apa-apa. Tapi kamu bener nggak begadang, kan?” tanya Helena, masih tak percaya.
            “Nggak. Semalem aku ketiduran di depan komputer, terus kebangun jam empat, eh nggak bisa tidur lagi. Pas tadi pagi aku bangun, langsung nggak enak badan.” jelas Fabian, merahasiakan. “Mungkin karena posisi tidur aku yang nggak ideal itu.” tambahnya.
            “Oh, gitu. Yaudah, kamu istirahat ya, Bian. Semoga cepat sehat.”
            “Iya, makasih, ya, Hel.”
            “Bye, Bian.”
            “Bye, Hel.”
            Kaki itu menapak ke teras, dari tempat tidur Fabian coba untuk beranjak. Berdiam di kamar sejak pagi membuatnya bosan. Ia merapihkan selimut dengan melipatnya. Dengan agak tertatih, Fabian keluar dari kamar.

***

            “Gimana keadaan kamu?” tanya ayahnya, khawatir.
            Fabian lantas duduk di sofa, di samping ayahnya, “Aku baik-baik aja kok, Yah.” jawabnya, tersenyum.
            “Baik-baik aja, apanya? Kamu pucat begitu.” kekeh Pak Abraham.
            “Nggak apa-apa, Yah, aku cuman kecapekan aja,” cengir Fabian, menekan tombol remot tv, mengganti channel.
            Pak Abraham menatap sedih anaknya itu, “Maaf ya, Bian. Ayah belum bisa jadi ayah yang baik buat kamu,”
            “Ah, lebay, Yah. Ini cuman lagi kebetulan daya tahan tubuh aku lagi lemah aja, makanya sakit.” sanggah Fabian, lalu beranjak. "Oh iya, gimana Ya, kerjaannya?"
            "Kemaren sih udah naro CV di beberapa perusahaan. Yeaa tinggal tunggu panggilan aja." jawab Pak Abraham.
            "Oh, gitu. Bagus, lah!" seru Fabian, lantas beranjak.
            “Kamu mau kemana?” tanya Pak Abraham.
            “Makan, Yah. Laper.” jawab Fabian.
            “Itu di meja! Habisin aja semua, Ayah udah makan.”
            “Siap!” sahut Fabian.
            Fabian duduk di meja makan, dengan makanan yang hendak di santapnya. Ketika ia menoleh ke arah ayahnya, sekilas sekelibat bayangan hitam berdiri tepat di hadapan ayahnya.
            Melihat itu, Fabian pun panik. “Bukan, bukan! Itu bukan Black Robed. Gue nggak boleh panik!” ia berusaha mensugesti diri.
            Fabian berusaha untuk tidak memikirkan apapun yang dapat mengingatkannya dengan Black Robed, karena ia tahu, semakin mengingat makhluk itu maka ia akan memberi celah untuk mempengaruhi dengan rasa resah dan gelisah, dengan begitu makhluk itu akan semakin mudah menyerangnya lagi.
            Ia coba menikmati tiap suap makanan yang disantapnya, tapi ia kemudian malah teringat ucapa Dimas, “Semakin orang yang dihantuinya itu merasa takut, maka semakin kuat Black Robed itu. Bahkan, pada level tertentu bisa menampakan diri di dunia nyata, yang membuat orang yang dihantuinya seakan mengalami delusi, kerasukan, dan bahkan seperti orang mengalami gangguan jiwa karena teror Black Robed itu...” Fabian nampak terngiang-ngiang dengan hal itu.

***

            Siang berganti malam, keramaian pun berganti keheningan. Langit terang berganti gelap, perasaan Fabian makin tak menentu. Ia sangat khawatir jika sosok itu kembali dan menerornya.
            “Untuk malam ini, gua harus istirahat total, supaya besok bisa masuk sekolah lagi dan ketemu dengan Helena, energi positifku. Aku yakin, ini akan segera berakhir.” Fabian menyalakan lampu kamar, lalu naik ke tempat tidur untuk memejamkan mata. “Semoga dia (Black Robed) tidak menggangguku lagi.”
            Malam kian sunyi. Detak jam dinding terdengar nyaring di tiap detiknya jarum jam itu bergerak. Rasanya baru beberapa menit terpejam, kekhawatiran itu seperti malah mewujud malam itu. Tiba-tiba tubuhnya seperti tertindih sesuatu yang sangat besar dan berat. Ia berusaha melawan, namun terasa semakin tak berdaya. Jangankan untuk berteriak, untuk berucap saja mulutnya tak sanggup.
            Perasaan resah dan gelisah itu menjadi celah bagi Black Robed untuk kembali menyerang Fabian.
            “Jangan lagi, gue mohon...” Fabian menggumam tanpa suara.
            [cetrek] Tiba-tiba lampu kamarnya mati, saat tak ada yang menekan stop kontaknya.
            Sosok hitam tinggi-besar berjubah itu nampak jelas melayang di hadapan wajah Fabian. Wajah temaram dengan sorot mata merah menyala dan bentangan jubahnya yang menutupi seisi ruang kamar itu membuat Fabian hanya bisa terperangah dan terdiam, dengan tatapan yang terpaku dan tak berkedip sekali pun.
            Beberapa detik kemudian tubuh astralnya kembali terlepas dari raga itu secara otomatis. Lagi-lagi makhluk itu membawanya berwisata kematian, dengan menunjukan berbagai macam cara orang-orang menemui ajalnya.
            “Oh, tidak! Jangan lagi...” oceh Fabian.

***

            Ia dibawa makhluk itu ke suatu tempat seperti bunker, di mana tiga orang ekstrimis terlihat sedang mengasah pedang.
            "Blood for blood!" ucap salah seorang pria memakai topeng hitam. "Above name of justice, the sword will send you to the hell!"
            Dua orang ekstrimis lainnya lalu membawa seorang pria kulit putih yang tubuhnya penuh memar, seperti baru mengalami penyiksaan.
            "No, please... Don't do this, please!" rintih pria kulit putih.
            Tanpa ragu, seorang ekstrimis yang menjadi algojo pun menghunuskan pedang itu dan menebas leher pria kulit putih itu hingga terpisah dari badannya.
            Fabian coba memejamkan mata, namun percuma karena tubuhnya itu bukanlah raga fisik. Ia tak bisa menghindar atau memalingkan diri dari kejadian mengerikan itu.
            Beberapa detik kemudian ia sudah berpindah ke sebuah rumah di tengah hutan yang jauh dari keramaian. Seorang lelaki dengan perawakan tinggi-besar, berambut panjang dan berjanggut lebat, sedang mendengarkan musik klasik sambil menari-nari, "Nanananana... Lalalala~" seraya mencincang-cincang bagian tubuh seseorang yang menjadi korban mutilasinya.
            Lelaki psikopat itu kemudian tertawa sambil seperti menatap ke arah Fabian. “Oh, shit!” kata Fabian, dalam benak.
             Secepat kilat, Black Robed membawanya ke tempat lain. Sebuah ruangan gelap, seperti kamar. Seorang wanita nampak menggendong bayi.
            "Nina bobo, oh, nina bobo... Kalau tidak bobok, digigit nyamuk." wanita itu menatap bayinya pilu. Rasa depresi mendalam nampak di wajah ibu muda itu. Setelah meninabobokan, ia meletakan bayi itu di atas tempat tidur.
            Airmata seketika turun menglir di pipinya, "Maafin Ibu, Nak. Tapi kamu tidak pantas hidup di dunia ini!” kata wanita itu, lalu mencekik bayinya hingga suara tangis dari bayi itu seketika henyap.
            Fabian tak bisa berbuat apa-apa, dan hanya menatap haru bayi itu.
            “Kenapa kamu membunuh bayi yang tak berdosa itu!?” Fabian berusaha meneriaki wanita yang menangis setelah membunuh bayi itu, namun tetap tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya.
            Selesai menyerap energi, makhluk itu mengembalikan tubuh astral Fabian ke raganya yang terbaring lemah itu. Fabian terbangun, tapi bukan dari tidur, melainkan dari perjalanan melelahkan dan mengerikan yang lebih seperti mimpi terburuk itu.

***

            Mata itu terbuka, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Tubuhnya lemas bukan main, seperti baru selesai menempuh perjalanan jauh tanpa menggunakan kendaraan. Rasanya hanya beberapa menit saja itu terjadi, tapi malam terasa begitu singkat. Pikirannya masih belum bisa fokus. Fabian terbayang kejadian-kejadian yang semalam disaksikannya itu. Bahkan, beberapa kejadian yang disaksikannya semalam itu bukanlah terjadi di Indonesia. Fenomena apa itu? Nalar pun sulit menjelaskan.

***

            Tidak seperti hari-hari biasanya, hari itu Fabian ke sekolah dengan diantar oleh ayahnya. Meski nampak belum begitu sehat, bahkan lebih buruk kesehatannya dari hari kemarin, tapi ia memilih untuk bersekolah, karena ia merasa istirahat di rumah tidak akan membuatnya lebih baik.
            Ia turun dari motor, dan berusaha untuk tidak terlihat lemah.
            “Kamu yakin udah sehat?” tanya ayahnya.
            “Iya, Yah. Aku udah mendingan kok.” jawabnya, tersenyum pasti.
            “Yaudah, kalau gitu, Ayah pulang, ya. Kalau ada apa-apa, langsung telepon aja! Nanti Ayah jemput.” seru Pak Abraham, lalu menghidupkan lagi motornya.
            “Sip!” jawabnya, singkat.
            Pak Abraham memutar balik dengan motor vespanya, lalu bergegas pergi.
            Setelah melihat ayahnya benar-benar pergi, Fabian berjalan menuju kelas.
            Tubuhnya seperti agak goyah, ia berdiam sesaat, “Ayo, Fabian, loe pasti kuat!” katanya, mensugesti diri.
            “Fabian!” panggil Dimas dari arah belakang. Ia lalu mempercepat langkahnya, dan menghampiri Fabian.
            Fabian menoleh lemas, tatapan matanya layu. “Eh, Dim,” sahutnya, tersenyum.
            “Loe masih sakit ,ya? Kok udah masuk sekolah?” tanya Dimas.
            “Diam di rumah nggak membuat gue lebih baik,” jawab Fabian.
            Dimas terheran, dan coba menerka-nerka, “Jangan-jangan...”
            Fabian memotong, “Bukan, Dim.” jawabnya, seolah tau apa yang hendak Dimas lontarkan.
            "Oke, oke. Be strong, Dude!” Dimas memotivasi.
            “Yoi. Thanks, ya!” balas Fabian, “Dim, gue ke kelas duluan, ya!” ujarnya.
            “Oke,” sahut Dimas, memperhatikan Fabian dari belakang yang nampak berjalan seperti orang yang sedang memikul beban. “What the hell’s going on?”

***

            “Pagi, Bu!” sapa Fabian, “Maaf, ya. Saya terlambat.”
            “Nggak kok, Bian. Ibu juga baru saja masuk kelas.” ujar Bu Rahmi, guru mata pelajaran Ekonomi. “Kamu udah sehat, Bian?”
            Fabian meletakan tasnya di atas meja, lalu duduk, “Sehat kok, Bu.” jawabnya, dengan senyuman.
            Bu Rahmi masih menatap heran anak itu, “Kamu yakin? Kalau masih kurang sehat, ke UKS aja. Nggak usah memaksakan diri.”
            “Yakin, Bu. Saya sudah sehat, kok. Ini mungkin cuman efek dari obat,” cengirnya.
            "Oh, gitu." Mendengar ucapan Fabian yang sangat meyakinkan itu, Bu Rahmi pun melanjutkan pengajarannya.
            Evan melirik curiga ke arah Fabian, “Eh, loe bohong, ya! Kelihatan jelas gitu loe masih sakit.” kekehnya.
            “Udah mendingan kok, Van.” cengirnya.
            Evan tak lantas percaya begitu saja. Ia terus memperhatikan Fabian sembari coba menerka-nerka. “Ada yang aneh nih bocah,” gumamnya dalam hati.

***

            Teeettt teeettt!!! bel istirahat berdering.
            Tak seperti biasanya, istirahat hari itu Fabian tidak pergi ke kantin dan memilih untuk berdiam di kelas.
            “Sob, ke kantin yuk!” ajak Evan.
            “Loe aja, deh, Van. Gue lagi males.” sahut Fabian, yang hanya terduduk lemas dan menatap kosong.
            “Loe yakin? Ada Helena, lho!” rayu Evan, masih berusaha keras.
            Fabian tersenyum, “Yakin, Van.”
            “Hmmm, yaudah deh, kalau gitu. Loe nggak apa-apa sendiri?” tanya Evan, yang ingin memastikan temannya itu akan baik-baik.
            Fabian mengacungkan jempolnya, yang berarti ia akan baik-baik saja.
            Saat Evan hendak keluar dai kelas, Helena datang.
            “Pantes aja yakin banget nggak mau ke kantin. Huh!” oceh Evan, mengejek. “Hel, jaga baik-baik ya temen gue. Kalau manja-manja dikit, maklumin aja.” cengirnya kepada Helena.
            “Iya, Van,” jawab Helena, tergelak. Ia lalu menghampiri Fabian.
            “Jangan aneh-aneh, ya! Inget tuh, ada CCTV!” seru Evan, tergelak.
            Sambil tersenyum, Fabian mengacungkan jari tengah kepada Evan. Evan tertawa jahil, lalu pergi.
            Helena duduk di kursi di depan Fabian, menghadap ke belakang. “Hei!” sapanya.
            “Hei,” balas Fabian, tersenyum.
            “Kamu udah baikan?” tanya Helena.
            Kedatangan Helena tak sekedar raga yang menghampiri baginya, melainkan juga seperti semangat spiritual yang memulihkannya. Fabian merasa energi positif itu benar-benar dirasakannya dari sosok Helena. Ia seperti baru saja disuntik cairan yang membuat seluruh tubuhnya kembali berfungsi dengan sangat baik.
            “Lumayan, Hel.” jawab Fabian, tersenyum pasti.
            “Hmm, bagus deh.” imbuh Helena. “Eh, Bian. Aku mau cerita, nih!” lanjutnya, mimik wajahnya mendadak serius.
            Fabian merespon dengan tidak kalah serius, “Tentang apa, Hel?”
            Helena menghela napas berat, “Kemarin malam, aku merasa ada kejadian aneh pas aku lagi tidur...”
            Fabian langsung teringat dengan peristiwa ketika ia mendatangi Helena dengan tubuh astralnya. Saat itu ia melihat Helena terbangun dengan mengejutkan, sebelum ia akhirnya disergap oleh Black Robed dan dibawa secara random ke dari satu tempat ke tempat lain.
            “Bian, Bian!” Helena coba menyadarkan Fabian yang sedang termenung.
            “Iya, Hel?” ia tersadar.
            “Kamu dengar cerita aku, kan?” tanya Helena.
            Fabian mengangguk.
            “Hemm... Jadi gitu, Bian. Aku merasa ada seseorang yang datang malam itu, dan orang itu nggak asing bagiku. Tapi, aku juga nggak tau siapa, dan bagaimana orang itu bisa begitu nyata menyapaku.” lanjut Helena, terheran.
            “Hemm... Terus, terus?” tanya Fabian, tangannya tertanam di meja, memangku dagunya.
            “Beberapa detik setelah suara itu, rambut aku kayak dibelai gitu. Aku kira tadinya itu cuman mimpi, tapi pas rambut aku juga seperti dibelai, dan aku yakin saat itu bukan karena angin, karena jendela dan pintu jelas tertutup rapat tanpa celah.” Helena nampak serius menceritakan detail kejadian. “Tapi pas aku bangun sambil teriak, kayak nggak terjadi apa-apa.”
            “Berarti kamu cuman bermimpi, Hel.” cengirnya, tak ingin Helena mengetahui bahwa orang itu adalah dirinya.
            “Tapi itu terasa nyata banget, Bian.” kekeh Helena.
            “Aku juga pernah kok mengalami hal seperti itu. Mimpi yang rasanya seperti kenyataan.” ungkap Fabian.
            “Oh, gitu.” Helena nampak masih tak yakin bahwa yang dialaminya itu hanya sebatas mimpi. “Oh, iya. Ini aku sedikit makanan, Bian.” Helena mengeluarkan kotak makanan berisi Sandwich racikannya, lalu memberikan kepada Fabian.
            “Buat aku?” tanya Fabian, memastikan.
            “Iyaa,” jawab Helena.
            “Makasih, ya, Hel.” ucap Fabian, lekas melahap Sandwich itu.
            Teeettt teeettt!!! Bel masuk kembali berbunyi.
            “Bian, aku balik ke kelas, ya!” kata Helena.
            “Oke,” ia menggangguk dan tersenyum.
            “Cepat sembuh, ya!” tambah Helena.
            Fabian mengangguk sambil tersenyum.
            Pertemuan dengan Helena membuat Fabian membaik secara batin, dan itu pun berdampak signifikan pada kesehatan fisiknya, yang perlahan juga nampak membaik. Helena benar-benar obat manjur untuknya, setidaknya untuk saat itu.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar