Kamis, 02 April 2015

ENERGI POSITIF



             Keesokan paginya, Fabian terbangun dengan begitu segar. “Ternyata saran si Cupu bermanfaat banget. Akhirnya gue merasakan tidur yang berkualitas lagi.” ungkapnya, girang.
            Pak Abraham mengetuk pintu kamar anaknya, “Bian, itu di meja Ayah udah siapin sarapan. Jangan sampai nggak sarapan, ya!” serunya.
            “Siap, Yah!” ia lekas beranjak dari tempat tidur dan menghampiri ayahnya. “Lho, ayah mau kemana? Kok rapih banget pagi-pagi gini?” tanya Fabian, heran melihat ayahnya yang tak biasa itu.
            Pak Abraham tersenyum, “Mau mencari nafkah!” cengirnya, mengusap-usap kepala anaknya itu, lalu pergi begitu saja.
            Fabian tersenyum, “Good luck, Yah!”. Pak Abraham merespon motivasi itu dengan bubuhan senyum kepastian.
            Seusai sarapan Fabian bergegas memacu sepedanya menuju sekolah dengan penuh semangat.

***

            Saking semangatnya ia hari itu, ia bahkan menjadi siswa yang paling pertama tiba di sekolah.
            “Pagi, Pak!” sapa Fabian kepada Pak Yanto.
            “Lho, lho! Ini kan masih pagi banget,” terheran Pak Yanto. “Kamu kerasukan apa toh?”
            Fabian hanya tersenyum untuk menanggapi ucapan Pak Yanto. Ia lantas memarkirkan sepedanya di tempat biasa, lalu bergegas menuju kelas.
            Hari itu Fabian nampak sangat bergairah. Selain karena tidur yang cukup berkualitas, rupanya ia juga kini tengah berbunga-bunga hatinya, setelah momen di mana ia dan Helena akhirnya melakukan perbincangan kemarin di UKS.
            “Bian!” panggil Dimas dari luar kelas IPS.
            “Oit, Dim!” sahut Fabian, menghampiri Dimas. “Gokil, Sob! Saran loe supaya gue nyalain lampu pas tidur, berhasil banget.” ia nampak antusias.
            “Oh, ya? Bagus kalau gitu,” Dimas tak kalah antusias.
            “Gila, gue tidur dari jam delapan malam sampai jam enam pagi!” tambah Fabian.
            “Waw! Kebo juga loe!” Dimas tertakjub. “Oh iya, Bian. Gue udah menemukan cara mengatasi AAP!”
            “Serius? Gimana, gimana?” tanya Fabian, antusias.
            “Iya, semalem gue coba cari tahu gitu. Menurut beberapa artikel yang gue baca, loe harus menjaga mood dan kondisi hati dalam suasana menyenangkan. Karena AAP itu diluar kendali, dan cenderung terjadi dalam suasana hati yang penuh keresahan dan kegelisahan, sebisa mungkin loe harus bertemu atau selalu bersama dengan orang-orang yang memberikan energi positif. Dengan begitu, AAP itu dapat diminimalisir.” jelas Dimas. “Yaa meskipun nggak disebut akan berhasil total, seenggaknya bisa mengurangi intensitas. Coba aja!”
            “Energi positif, ya?” Fabian tersenyum ketika bertanya itu.
            Dimas nampak terheran, “Iya, Bian. Eh, kok loe senyam-senyum gitu?”
            Fabian menepuk pundak Dimas, “Nggak...” tersenyum lagi.
            “Yaudah, gue ke kelas ya.” Dimas bergegas.
            “Oke. Thanks lagi nih buat loe, Dim.” ungkap Fabian.
            “Sip, sip.” jawab Dimas.

***

            Jam istirahat kali ini tak ingin Fabian pakai hanya untuk memandangi Helena saja, tapi juga memberanikan diri untuk menyapa. Seperti biasa, Fabian dan Evan sudah mangkal di kantin, buat apalagi kalau bukan menuruti kemauan Fabian.
            “Energi positif, energi positif, energi positif...” Fabian terus mengoceh.
            “Woy! Loe apa-apaan sih ngoceh nggak jelas?” tegur Evan, “Wah, jangan-jangan efek astral projection nih!”
            Fabian tak menggubris perkataan Evan, “Ini dia datang. Energi positif...” ujarnya, menatap ke arah Helena.
            “Hemh, pantes!” Evan menggerutu.
            “Hai, Hel!” sapa Fabian, dengan senyuman.
            Demi apa pun itu, Evan terkejut. Hari itu adalah pertama kalinya ia melihat Fabian berani menyapa Helena.
            “Hai, Bian!” balas Helena, juga dengan senyuman. “Gimana, udah sehat?”
            “Se-sehat kok, Hel. Nih lihat, aku segar-bugar kan?” jawab Fabian, berlebihan.
            “Lho, emang loe kenapa, coy?” sambar Evan, bertanya.
            “Kemarin, pas kita lagi jalan bareng mau pulang, Fabian tiba-tiba pingsan,” jawab Helena.
            “Hahaha, itu sih pasti karena dia nerveous jalan barengan sama loe!” kikik Evan, “Ngaku loe, coy?”
            Fabian spontan menginjak kaki Evan. Ia nampak tersipu, dan tersenyum canggung.
            “Wadaw!” teriak Evan, meringis. “Kok...” [slap] tangan Fabian menyumpal mulut Evan, yang hendak melanjutkan perkataannya.
            “Kalian aneh banget,” ungkap Helena, tersenyum heran.
            "Hehehe," cengir Fabian, salah tingkah.
            “Yaudah, Bian. Kalau gitu, aku duluan ya, Bella udah nunggu tuh.” Helena berjalan meninggalkan dua orang aneh. Yang satu salah tingkah, yang satu lagi polosnya keterlaluan. 
            Tak lama berselang, Dimas datang menghampiri Fabian dan Evan. “Hai! Gue boleh gabung, nggak?”
            “Nggak!” sambar Evan.
            “Loe boleh gabung kok,” tandas Fabian.
            “Apasih loe, coy...” gerutu Evan, ia tak menyukai Fabian yang menerima Dimas untuk bergabung bersama mereka berdua di meja kantin itu.
            “Udah lah, Van, nggak ada masalah kan kalau dia gabung?”
            Evan memasang tampang kesal, “Hemh, iya deh, iya.”
            “Hai, Van!” sapa Dimas, bersikap ramah.
            “Sob, kayaknya gue udah menemukan energi positif yang loe maksud itu,” kata Fabian pada Dimas. “Lihat cewek di arah jam Sembilan, yang tepat menghadap ke sini!” tunjuknya pada Helena.
            “Helena?” tanya Dimas.
            “That’s right!” jawab Fabian, mengangguk pasti.
            “Loe berdua ngomongin apa, sih?” tanya Evan. Ia mulai penasaran. “Eh, Cupu, loe apain nih teman gue? Jadi aneh gini kayak loe!”
            Evan selalu bersikap seperti itu kepada Dimas lantaran ia dendam, karena waktu mereka berada di kelas yang sama di kelas 10 lalu, Dimas pernah mempermalukannya di depan kelas saat ia tak mampu mengerjakan soal matematika.
            Fabian mulai jengah dengan sikap Evan yang selalu merendahkan dan menghina Dimas. Ia pun menjelaskan semua yang terjadi tentang astral projection, tentang sakitnya kemarin, dan tentang energi positif yang sedari tadi dibincangkan dengan Dimas. Mendengar semua penjelasan itu, baru lah Evan dapat menerima kehadiran Dimas.
            Evan mengangguk paham, “Oh gitu... Sorry ya, Dim, kalau gue selama ini masih dendam karena kejadian waktu kelas 10 itu." ungkapnya.
            "Iya, Van, gue juga minta maaf kalau ternyata itu nyakiti hati loe." timpal Dimas.
            "Satu hal lagi, Dim. Loe jangan diam aja dong, kalau gue lagi maki-maki. Itu makin bikin gue kesal kan jadinya. Hahahaha.” cengir Evan.
            “Gue nggak punya energi sekuat tarikan urat loe untuk sentak-sengor,” jawab Dimas.
            Fabian dan Evan tergelak mendengar jawaban itu. Setelah itu, suasana antara Evan dan Dimas mulai ‘mencair’, dan Evan pun perlahan mulai bisa menerima keberadaan makhluk cupu itu di pergaulannya.

***

            Setiap hari sabtu, sepulang sekolah Fabian dan Evan selalu berkumpul di parkiran, bersama sebuah komunitas yang bisa dibilang ‘ilegal’ di sekolah. Komunitas Freestlye. Kenapa ilegal? Karena komunitas ini didirikan untuk menampung anak-anak dengan hobi unik, yang tidak difasilitasi oleh sekolah layaknya kegiatan ekstrakulikuler. Komunitas ini terdiri dari beragam jenis hobi, seperti: Parkour, Freestyle Fixi, Skateboarding, Football Juggle, hingga Fun Yoyo.
             Tak seperti kegiatan ekstrakulikuler sekolah yang memprioritaskan prestasi, semua kegiatan di komunitas Freestyle semata-mata dilakukan untuk melepas penat dan menyalurkan hobi.
            “Helena!” teriak Fabian, bergegas menghampiri Helena. “Langsung pulang?”
            “Yaa, begitu,” jawab Helena,dengan senyuman. “Memangnya kenapa?”
            “Mending ikut aku dulu, yuk!” ajak Fabian.
            “Ikut kemana, Bian?”
            Fabian lantas menggandeng tangan Helena dan membawanya ke lapangan parkir belakang. “Kesini, Hel. Lihat anak-anak Freestyle.” ia tersenyum, memperlihatkan kehebatan teman-temannya kepada Helena.
            Nampak beberapa orang laki-laki sedang melakukan juggling bola dengan begitu atraktif. Selain itu, Ada juga yang asik mengasah keterampilan bermain Yoyo, bermain-main dengan sepeda fixi, dan yang meluncur dengan papan skate, yang salah satunya adalah Evan.
            Helena menengok ke arah tangan Fabian yang masih menggandeng tangannya, sambil tersenyum canggung. Fabian yang baru menyadari itu lantas melepaskannya dan melakukan gerakan aneh, seperti menggaruk kulit kepala padahal tidak gatal, efek dari salah tingkah.
            Kemudian ia mengajak Helena ke sebuah pendopo kecil. “Sini, Hel. Duduk!”
            Helena lekas duduk di samping Fabian “Aku mau tanya, dong!”
            “Tanya apa, Hel? PG apa essay?” tanyanya, bercanda.
            “Yee, bukan ujian!” cengir Helena.
            “Terus apa?”
            “Tentang komunitas ini. Sebenernya sekolah tahu nggak sih, ada komunitas ini?” mimik wajah Helena nampak serius.
            Fabian mengawali jawaban dengan senyum, “Mereka tahu. Para siswa, osis, guru, dan bahkan para pembina ekskul pun tahu,”
            “Terus, kenapa nggak masuk jadi kegiatan ekskul ya?” terheran Helena.
            “Karena sekolah merasa kegiatan-kegiatan yang ada di komunitas ini tuh nggak berpotensi untuk menghasilkan prestasi katanya,” jawab Fabian. “Aku juga heran, ekskul kan pada dasarnya untuk pengembangan diri siswa dan treatment akan kepenatan. Tapi sekolah malah memprioritaskan ekskul sebagai bidang yang wajib memiliki prestasi.”
            “Mungkin kamu dan yang lain harus coba menunjukan sesuatu kepada sekolah, Bian. Yaa supaya komunitas ini juga bisa berkembang.” imbuh Helena.
            “Maksudnya?” tanya Fabian.
            “Hmmm...” Helena berpikir, “Mungkin dengan mempresentasikan kepada guru-guru dan pembina ekskul tentang kegiatan-kegiatan di komunitas ini salah satunya,”
            Sejenak ia memikirkan saran Helena tersebut, “Boleh juga tuh!” tegasnya, sumringah. “Ide kamu ini, bagus banget, Hel! Brilian.” Helena hanya tersenyum senang.
            Evan mengahampiri Fabian dan Helena, meluncur dengan papan skate-nya, “Woy, Bian! Malah asik pacaran!”
            “Gue dan Helena baru aja mendiskusikan sesuatu,” jawabnya, cengengesan.
            “Ngeles mulu loe! Pacaran mah pacaran aja, nggak usah sok-sokan pura-pura diskusi segala!” kekeh Evan.
            “Nggak, Van, serius! Tadi kita abis diskusi tentang Freestyle.” Jawabnya.
            “Iya deh, gue percaya,” Evan mengangkat papan skate, lalu memeluknya. “Tumben loe, Hel, belum pulang?” tanya Evan kepada Helena.
            “Tadi diajak kesini sama Bian. Disuruh nontonin kalian,” jawab Helena.
            “Hati-hati, Hel, itu paling modus!” cengir Evan. Direspon Fabian dengan mengacungkan jari tengah.
            Evan mendekat, lalu duduk di samping Fabian. “Oh iya, tadi katanya kalian diskusiin sesuatu tentang Freestyle. Kalian diskusiin apaan?”
            “Begini, Van, tadi Helena nanya, kenapa Freestyle nggak masuk jadi salah satu kegiatan ekskul sekolah? Dan dia menyarankan supaya kita melakukan sesuatu,” jawab Fabian.
            “Apaan tuh?” tanya Evan lagi.
            “Semacam mempresentasikan kegiatan-kegiatan di komunitas ini kepada semua orang di sekolah, karena setelah gue pikir-pikir, kita juga nggak mungkin begini-begini aja, main-main tanpa misi dan ekspedisi. Kita butuh mengembangkan komunitas ini, Van. Salah satu langkah awalanya yaa dengan legalitas dari sekolah itu.” Jelas Fabian.
            “Iya, Van. Jadi secara fasilitas, mungkin kalian nggak akan ‘di-anak-tiri-kan’ lagi. Mungkin juga kan ternyata ada ajang-ajang untuk kegiatan yang ada di komunitas ini, yang bisa kalian ikuti nantinya dengan dukungan dan legalitas dari sekolah.” tambah Helena.
            Evan mengangguk paham, “Betul juga sih. Kalau gitu, ayolah, coy! Kapan kita presentasiin?” tanyanya penuh semangat.
            “Pikirin dulu konsepnya, Bodoh!” kekeh Fabian, menoyor Evan.
            “Eh, Bian, Van, kayaknya gue harus pulang sekarang nih,” ujar Helena.
            “Lho, kok pulang, Hel? Buru-buru amat, ini kan malam minggu!” tutur Evan.
            “Aku harus... emmm, ada sesuatu yang harus aku kerjakan,” jawab Helena, beranjak.
            Fabian juga lekas beranjak, “Perlu gue antar, nggak?”
            “Nggak usah, Bian. Kamu lanjut latihan aja.” Helena menolak dengan halus.
            “Wey! Lagian loe mau antar dia pakai apa? Sepeda? Hahaha” ejek Evan kepada Fabian.
            “Gue antar dia jalan sampai depan, maksud gue,” jawab Fabian.
            “Nggak usah, Bian. Makasih.” tegas Helena, tersenyum.
            “Oke. Kalau gitu, hati-hati di jalan ya!” kata Fabian.
            Helena tersenyum dan mengangguk. “Daaah Bian~”
            Wanita berlesung pipit itu seperti suntikan energi positif bagi Fabian, yang kini mulai merasakan kehidupannya kembali normal dan terhindar dari Auto Astral Projection yang menguras energi.
            “Pepet terus, Sob!” ejek Evan, yang sengaja mengintip saat Fabian mengirimkan pesan singkat kepada Helena dari handphone.
            Fabian menoleh, “Hahaha, sial! Kepergok juga gue.”

***

            Nuansa kamar yang nyaman, ditambah hiasan awan putih dan langit biru menghiasi langit-langit kamar, selalu menjadi suasana terbaik bagi Helena menuliskan puisi-puisinya. Sedang asik bermain dengan imajinasi, handphone-nya berdering,
            Helena pun menghentikan kegiatan menulisnya malam itu dan menjawab panggilan. “Hallo?”
            “Hallo, Hel?”
            “Iya, kenapa, Bian?”
            “Nggak. Mau ngobrol aja. Kamu lagi sibuk, nggak?”
            “Hmm, lumayan. Tapi nggak terlalu, sih.”
            “Yaah, serius? Benar nih, aku nggak ganggu?”
            “Ganggu, sih. Hehehe.”
            “Yaah, maap ya!”
            “Hehehe, becanda, Bian. Aku lagi nggak sibuk-sibuk amat kok,”
            “Benar?”
            “Iya,”
            “Hmm, emangnya kamu lagi ngapain, Hel?”
            “Lagi ketak-ketik aja,”
            “Ngerjain tugas?”
            “Bukan. Lagi iseng aja bikin tulisan,”
            “Waw! Anak bahasa dan sastra banget kamu, Hel. Hehehe.”
            “Kamu juga anak sosial banget,”
            “Maksudnya?”
            “Iya, anak sosial. Mejeng di sosial media, ngechat orang tengah malam. Hehe.”
            “Hahaha, nyindir nih?”
            “Nggak, kok. Aku bicara fakta. Hehehe.”
            Setelah mempertimbangkan segalanya, dan juga kedekatan yang sudah mulai terjalin, Fabian memberanikan diri untuk menawarkan ajakan kepada Helena.
            “Eh, besok jalan yuk!”
            “Jalan?”
            “Nggak jalan juga, sih. Maksudnya, kita main gitu. Mau nggak?”
            “Hmm, kemana? Ngapain?”
            “Puncak Pas, yuk! Nyari inspirasi. Senja disana lumayan bagus, Hel. Gimana?”
            “Mau, sih. Tapi... kita kesana pakai apa?”
            “Tenang, Hel, bukan pakai sepeda, kok.”
            “Mak-maksud aku bukan...”
            “Pokoknya, jam empat sore kamu standby di depan rumah, ya!”
            “Oke, deh. Eh tapi, emang kamu tau rumah aku?”
            “Tau kok, tau.”
            “Hmm, oke deh.”
            “Oke, Hel. Yaudah, kamu lanjut deh nulisnya. Maaf ya, ganggu. Bye.”
            “Bye.”
            Untung aja Helena nggak nanya darimana aku tau rumah dia. Bisa tengsin kalau aku harus jujur, selama ini aku sering memata-matai dia.

***

            Siang hari menjelang sore, Fabian bersiap menjemput Helena di rumahnya, seperti yang telah mereka janjikan semalam. Kaos hitam berlapis flannel merah marun yang tak dikancingkan dipadu dengan celana jeans hitam, dan sepatu converse warna hitam. Ia nampak begitu siap untuk hari itu.
             “Yah, motor aku pakai, ya!” kata Fabian pada ayahnya, yang sedang asik menonton tv.
            Pak Abraham menyahut santai, “Pakai aja!” ia lalu melihat anaknya dengan tatapan yang tak biasa, “Wuidih, rapih amat. Mau jalan sama cewek, ya?”
            “Iya, Yah,” cengir Fabian.
            "Siapa namanya?" tanya Pak Abraham.
            "Helena, Yah," jawab Fabian.
            "Wuih, namanya sih keren. Cakep nggak?"
            "Nggak ragu! Hahaha," jawab Fabian, tergelak.
            "Like father, like son." Pak Abraham kemudian menepuk kedua belah bahu Rick dengan tangannya, “Good Luck, Son.”
            Fabian tercengang untuk beberapa saat, “Hmm, o-oke, Yah.”
            Dengan semangat menggebu dan restu dari ayahnya, ia segera menuju garasi untuk mengambil motor vespa antik berwarna putih, satu-satunya kendaraan yang tersisa dari masa kejayaan keluarganya dulu. Setelah memanaskan, ia lekas memacu vespa itu menuju rumah  Helena.

***

            Setengah jam kemudian Fabian tiba di rumah berwarna putih yang cukup besar itu. Suara bising dari knalpotnya memicu anjing penjaga rumah itu untuk menggonggongi-nya. Ia lantas mematikan motornya. “Sssttt... hush, hush!” Fabian coba menenangkan anjing itu.
            Beberapa saat kemudian Helena keluar dari rumah, dan segera memberikan  sebuah isyarat yang membuat anjing itu langsung terdiam.
            Sementara itu, Fabian nampak tertegun dengan penampilan Helena yang mengenakan kaos hitam dipadu dengan vest jeans berwarna biru pudar, dan celana jeans biru dongker, serta sneakers biru tua bercorak putih. Fabian tak menyangka, Helena yang biasa tampil anggun itu seketika bertransformasi se-keren itu.
            “Ayo, Bian!” ajak Helena.
            Fabian masih menatap Helena dengan tatapan kagum, “Ka-kamu nggak izin dulu, gitu?”
            “Udah, kok. Tenang aja,” jawab Helena, tersenyum.
            “Okelah, kalau gitu.”
            Fabian menyalakan motornya, lalu Helena pun duduk di bocengan. Mereka bergegas menuju Puncak.

***

            Di perjalanan, Fabian dan Helena nampak begitu menikmati momen itu. Walaupun jalanan menuju ke Puncak cukup macet sore itu, tapi mereka bisa atasi kejenuhan itu dengan ngobrol dan bercanda.
            “Aku kaget banget, Hel, pas tadi lihat kamu keluar dari rumah,” ujar Fabian.
            “Kaget kenapa, Fabian?” tanya Helena agak teriak, untuk mengalahkan bisingnya suara knalpot vespa Fabian.
            “Kaget aja, lihat penampilan kamu. Beda banget. Biasanya kan di sekolah kamu selalu tampil anggun,” jawab Fabian.
            “Di sekolah kan aku pakainya rok, bukan celana panjang. Ya jelas beda lah! Hehehe.” cengir Helena.
            “Oh, iya, ya.”
            “Mungkin karena kamu belum terlalu kenal sama aku. Lagipula, aku lebih suka berpenampilan simple kayak gini, Fabian, kalau buat main. Nggak ribet.”
            “Iya, Hel, kelihatan kok.” Fabian cengengesan.
            “Maksudnya?” Helena terheran.
            “Kelihatan kalau kamu nggak mandi!” cengir Fabian.
            “Kok kamu tahu sih? Tadi aku takut nggak keburu, Bian. Tapi aku make-up kok, masa masih ketahuan nggak mandi, sih?” Helena panik.
            “Nggak kok, Hel. Aku cuman bercanda aja, asal tebak. Hahaha.” Fabian tergelak. “Kamu sama sekali nggak ketahuan kok, udah mandi apa belum.”
            “Ih, ngeselin banget!” Helena kesal, lalu mencubit pinggang Fabian.
            “Aduduh! Iya, ampun, ampun!” tertawa Fabian, sambil kegelian.

***

            Pukul lima, mereka sampai di Puncak Pas. Helena segera turun menuju hamparan kebun teh, sementara Fabian memarkirkan motornya di samping sebuah warung kecil.
            “A, pesan jagung bakarnya, dua ya!” kata Fabian kepada seorang lelaki di warung itu. “Sama wedang jahenya juga, dua.” tambahnya.
            “Jagungnya pedas manis, atau asin?” tanya lelaki itu.
            “Pedas manis aja, A.” jawab Fabian.
            “Bian! Kesini dong!” teriak Helena, dari perkebunan teh yang ada di bawah warung itu.
            “Iya, sebentar. Aku lagi mesen makanan, nih.” sahut Fabian, juga berteriak.
            “Udah, itu nanti aja! Gampang,” titah Helena.
            “Oke, oke. Aku kesitu!” turut Fabian. “A, kalau udah jadi jagung sama wedang jahenya, ditaro di situ aja, ya!” titahnya kepada si penjual.
            Fabian lantas berjalan menghampiri Helena. Mereka berdua berdiri ditengah luasnya kebun teh yang terhampar. Lembayung senja yang jingga merona, menyempurnakan sore itu.
            “Betul, Bian, kata kamu. Senja di sini memang bagus banget!” ungkap Helena, dengan senyum ketenangan.
            “Sebenarnya, semua senja pasti bagus, Hel. Tergantung dengan siapa dan kesan apa yang kita rasakan, ketika melihat itu.” balas Fabian, juga dengan senyum ketenangan.
            “Modus!” seru Helena.
            “Yee, geer! balas Fabian, lalu berlari.
            Helena lantas mengejar Fabian. Gelak tawa nampak jelas menghiasi sore mereka berdua kala itu, buah dari canda riang yang kedua anak adam itu lakukan.
            “Hel, naik, yuk! Udah maghrib nih.” ajak Fabian, masih terengah. “Nanti jagung sama wedang jahenya keburu dingin,”
            Helena coba mengatur napas, “Hokeh, hokeh, hhh... ayok!”
            Selesai menyantap jagung bakar dan wedang jahe, keduanya memutuskan untuk turun dari Puncak Pas dan menuju ke Masjid Atta-Awun. Di sana, mereka bersantai di pelataran masjid, sambil asik menikmati pemandangan lampu-lampu kota yang mulai menyala.

***

            “Lihat, Fabian, lampu-lampu itu. Keren kan?” Helena menunjuk ke pemandangan di depannya.
            “Lampu doang?” sahut Fabian, meremehkan.
            “Iya. Lampu-lampu itu, tanda dari peradaban manusia.” tutur Helena, kalem.
            “Maksudnya?” tanya Fabian lagi.
            “Cahaya-cahaya berpijar melawan gelap. Manusia tidak begitu menyenangi gelap, maka dari itu mereka menghidupkan nyala-nyala itu.” Helena lalu menoleh ke arah lelaki di sebelahnya itu, “Kenapa sih, manusia tidak menyukai keheningan?”
            Fabian menjawab, “Mungkin karena keheningan dan gelap tak membuat mereka nyaman. Keheningan dan gelap adalah celah bagi yang selalu terjaga untuk menyerang yang lengah.”
            Helena nampak serius untuk coba menelaah jawaban itu. Sementara itu, entah mengapa saat menjawab pertanyaan itu, Fabian teringat kembali dengan Black Robed, sebagai sesuatu yang selalu terjaga dan suatu saat menunggunya lengah.
            “Ah, lupakan! Lupakan!” seru Fabian, coba mengusir paranoid.
            “Kenapa, Bian? Lupakan apa?” tanya Helena, terheran.
            Fabian menjawab dengan senyuman, “Nggak,”
            “Oh, yaudah.” Helena memalingkan kembali pandangannya terhadap Fabian, dan menatap pemandangan gemerlap cahaya lampu-lampu kota lagi.

***

            Waktu menunjukan pukul delapan malam, mereka harus lekas pulang, karena besok pagi keduanya harus kembali sekolah. Jalanan yang macet memperpanjang obrolan mereka, yang seperti tidak kehabisan topic untuk dibicarakan.
            “Hmm, Fabian!”
            “Iya, Hel?” sahut Fabian.
            “Kamu, kenapa putus sama Amanda? Dia kan perfect banget,”
            Fabian agak terkaget dengan pertanyaan itu, “Harus dijawab nih?”
            “Yeaa, terserah kamu sih,” jawab Helena, berusaha tidak memaksa.
            “Oke aku jawab.” Fabian menyiapkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan itu. “Kita putus karena waktu,”
            “Maksudnya?”
            “Iya, waktu. Waktu menunjukan pada kita tentang apa yang seharusnya kita lakukan untuk waktu.” jawabnya.
            “Aku malah makin bingung, Bian,”
            “Setelah aku pikir-pikir, aku pacaran sama Amanda cuman buang-buang waktu aja. Sementara dia mengekang aku, nggak boleh ini-itu, hal-hal yang sebenarnya lebih bermanfaat dibanding harus ‘jalan’, main, dan pacaran sama dia. Selama pacaran, dia selalu ingin jadi prioritas utama. Padahal kan aku ini masih seorang pelajar, yang masih harus mementingkan prioritasku sebagai pelajar, dengan pergaulan dan hal-hal yang bisa aku lakukan tanpa dia.” jelas Fabian.
            “Ooohhh, karena dia posesif?” Helena tersenyum mengejek.
            “Yep! Seperti itu lah.” angguk Fabian.
            “Yaelah, tinggal bilang posesif aja, sampai cerita muter-muter gitu, Segala waktu lah dibawa-bawa. Hahaha,” cengir Helena.
            “Hehehe, kan biar jelas.” kikik Fabian.

***

            Setelah menempuh perjalanan satu jam lebih lamanya, mereka tiba juga di rumah Helena.
            Helena lantas turun dari motor, “Makasih, ya, Fabian!” ucapnya, tersenyum.
            “Aku dong, Hel, yang bilang terima kasih. Karena kamu mau aku ajak ngebolang. Hehehe,” cengir Fabian. “Ternyata kamu asik banget. Gokil!”
            “Hahaha, aku juga senang Bian, bertualang sama kamu.” ungkap Helena.
            “Jangan kapok ya, kalau aku ajak main lagi!”
            “Ya nggak, lah!”
            “Emm, oke, Hel. Kalau gitu, aku pulang, ya!”
            “Lho, nggak mampir dulu?” tanya Helena.
            “Nggak enak ah, udah jam segini. Lagipula besok pagi kita kan harus sekolah,” jawab Fabian, beralibih. “Sebelum aku digonggongin Anjing kamu lagi, hahaha.”
            “Hahaha, yaudah kalau gitu, hati-hati, ya!”
            “Okeee!” jawab Fabian, menyalakan motor bututnya, lalu pergi.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar