Keesokan
paginya, Fabian terbangun dengan begitu segar. “Ternyata saran si Cupu
bermanfaat banget. Akhirnya gue merasakan tidur yang berkualitas lagi.”
ungkapnya, girang.
Pak
Abraham mengetuk pintu kamar anaknya, “Bian, itu di meja Ayah udah siapin
sarapan. Jangan sampai nggak sarapan, ya!” serunya.
“Siap,
Yah!” ia lekas beranjak dari tempat tidur dan menghampiri ayahnya. “Lho, ayah
mau kemana? Kok rapih banget pagi-pagi gini?” tanya Fabian, heran melihat
ayahnya yang tak biasa itu.
Pak
Abraham tersenyum, “Mau mencari nafkah!” cengirnya, mengusap-usap kepala
anaknya itu, lalu pergi begitu saja.
Fabian
tersenyum, “Good luck, Yah!”. Pak Abraham merespon motivasi itu dengan bubuhan
senyum kepastian.
Seusai
sarapan Fabian bergegas memacu sepedanya menuju sekolah dengan penuh semangat.
***
Saking
semangatnya ia hari itu, ia bahkan menjadi siswa yang paling pertama tiba di
sekolah.
“Pagi,
Pak!” sapa Fabian kepada Pak Yanto.
“Lho,
lho! Ini kan masih pagi banget,” terheran Pak Yanto. “Kamu kerasukan apa toh?”
Fabian
hanya tersenyum untuk menanggapi ucapan Pak Yanto. Ia lantas memarkirkan sepedanya
di tempat biasa, lalu bergegas menuju kelas.
Hari
itu Fabian nampak sangat bergairah. Selain karena tidur yang cukup berkualitas,
rupanya ia juga kini tengah berbunga-bunga hatinya, setelah momen di mana ia
dan Helena akhirnya melakukan perbincangan kemarin di UKS.
“Bian!”
panggil Dimas dari luar kelas IPS.
“Oit,
Dim!” sahut Fabian, menghampiri Dimas. “Gokil, Sob! Saran loe supaya gue nyalain
lampu pas tidur, berhasil banget.” ia nampak antusias.
“Oh,
ya? Bagus kalau gitu,” Dimas tak kalah antusias.
“Gila,
gue tidur dari jam delapan malam sampai jam enam pagi!” tambah Fabian.
“Waw!
Kebo juga loe!” Dimas tertakjub. “Oh iya, Bian. Gue udah menemukan cara
mengatasi AAP!”
“Serius?
Gimana, gimana?” tanya Fabian, antusias.
“Iya,
semalem gue coba cari tahu gitu. Menurut beberapa artikel yang gue baca, loe
harus menjaga mood dan kondisi hati dalam suasana menyenangkan. Karena AAP itu
diluar kendali, dan cenderung terjadi dalam suasana hati yang penuh keresahan
dan kegelisahan, sebisa mungkin loe harus bertemu atau selalu bersama dengan
orang-orang yang memberikan energi positif. Dengan begitu, AAP itu dapat
diminimalisir.” jelas Dimas. “Yaa meskipun nggak disebut akan berhasil total,
seenggaknya bisa mengurangi intensitas. Coba aja!”
“Energi
positif, ya?” Fabian tersenyum ketika bertanya itu.
Dimas
nampak terheran, “Iya, Bian. Eh, kok loe senyam-senyum gitu?”
Fabian
menepuk pundak Dimas, “Nggak...” tersenyum lagi.
“Yaudah,
gue ke kelas ya.” Dimas bergegas.
“Oke.
Thanks lagi nih buat loe, Dim.” ungkap Fabian.
“Sip,
sip.” jawab Dimas.
***
Jam
istirahat kali ini tak ingin Fabian pakai hanya untuk memandangi Helena saja,
tapi juga memberanikan diri untuk menyapa. Seperti biasa, Fabian dan Evan sudah
mangkal di kantin, buat apalagi kalau bukan menuruti kemauan Fabian.
“Energi
positif, energi positif, energi positif...” Fabian terus mengoceh.
“Woy!
Loe apa-apaan sih ngoceh nggak jelas?” tegur Evan, “Wah, jangan-jangan efek
astral projection nih!”
Fabian
tak menggubris perkataan Evan, “Ini dia datang. Energi positif...” ujarnya,
menatap ke arah Helena.
“Hemh,
pantes!” Evan menggerutu.
“Hai,
Hel!” sapa Fabian, dengan senyuman.
Demi
apa pun itu, Evan terkejut. Hari itu adalah pertama kalinya ia melihat Fabian berani
menyapa Helena.
“Hai,
Bian!” balas Helena, juga dengan senyuman. “Gimana, udah sehat?”
“Se-sehat
kok, Hel. Nih lihat, aku segar-bugar kan?” jawab Fabian, berlebihan.
“Lho,
emang loe kenapa, coy?” sambar Evan, bertanya.
“Kemarin,
pas kita lagi jalan bareng mau pulang, Fabian tiba-tiba pingsan,” jawab Helena.
“Hahaha,
itu sih pasti karena dia nerveous
jalan barengan sama loe!” kikik Evan, “Ngaku loe, coy?”
Fabian
spontan menginjak kaki Evan. Ia nampak tersipu, dan tersenyum canggung.
“Wadaw!”
teriak Evan, meringis. “Kok...” [slap] tangan Fabian menyumpal mulut Evan, yang
hendak melanjutkan perkataannya.
“Kalian
aneh banget,” ungkap Helena, tersenyum heran.
"Hehehe,"
cengir Fabian, salah tingkah.
“Yaudah,
Bian. Kalau gitu, aku duluan ya, Bella udah nunggu tuh.” Helena berjalan
meninggalkan dua orang aneh. Yang satu salah tingkah, yang satu lagi polosnya
keterlaluan.
Tak
lama berselang, Dimas datang menghampiri Fabian dan Evan. “Hai! Gue boleh
gabung, nggak?”
“Nggak!”
sambar Evan.
“Loe
boleh gabung kok,” tandas Fabian.
“Apasih
loe, coy...” gerutu Evan, ia tak menyukai Fabian yang menerima Dimas untuk
bergabung bersama mereka berdua di meja kantin itu.
“Udah
lah, Van, nggak ada masalah kan kalau dia gabung?”
Evan
memasang tampang kesal, “Hemh, iya deh, iya.”
“Hai,
Van!” sapa Dimas, bersikap ramah.
“Sob,
kayaknya gue udah menemukan energi positif yang loe maksud itu,” kata Fabian
pada Dimas. “Lihat cewek di arah jam Sembilan, yang tepat menghadap ke sini!”
tunjuknya pada Helena.
“Helena?”
tanya Dimas.
“That’s
right!” jawab Fabian, mengangguk pasti.
“Loe
berdua ngomongin apa, sih?” tanya Evan. Ia mulai penasaran. “Eh, Cupu, loe
apain nih teman gue? Jadi aneh gini kayak loe!”
Evan
selalu bersikap seperti itu kepada Dimas lantaran ia dendam, karena waktu
mereka berada di kelas yang sama di kelas 10 lalu, Dimas pernah
mempermalukannya di depan kelas saat ia tak mampu mengerjakan soal matematika.
Fabian
mulai jengah dengan sikap Evan yang selalu merendahkan dan menghina Dimas. Ia
pun menjelaskan semua yang terjadi tentang astral projection, tentang sakitnya
kemarin, dan tentang energi positif yang sedari tadi dibincangkan dengan Dimas.
Mendengar semua penjelasan itu, baru lah Evan dapat menerima kehadiran Dimas.
Evan
mengangguk paham, “Oh gitu... Sorry ya, Dim, kalau gue selama ini masih dendam
karena kejadian waktu kelas 10 itu." ungkapnya.
"Iya,
Van, gue juga minta maaf kalau ternyata itu nyakiti hati loe." timpal
Dimas.
"Satu
hal lagi, Dim. Loe jangan diam aja dong, kalau gue lagi maki-maki. Itu makin
bikin gue kesal kan jadinya. Hahahaha.” cengir Evan.
“Gue
nggak punya energi sekuat tarikan urat loe untuk sentak-sengor,” jawab Dimas.
Fabian
dan Evan tergelak mendengar jawaban itu. Setelah itu, suasana antara Evan dan
Dimas mulai ‘mencair’, dan Evan pun perlahan mulai bisa menerima keberadaan
makhluk cupu itu di pergaulannya.
***
Setiap
hari sabtu, sepulang sekolah Fabian dan Evan selalu berkumpul di parkiran,
bersama sebuah komunitas yang bisa dibilang ‘ilegal’ di sekolah. Komunitas
Freestlye. Kenapa ilegal? Karena komunitas ini didirikan untuk menampung
anak-anak dengan hobi unik, yang tidak difasilitasi oleh sekolah layaknya
kegiatan ekstrakulikuler. Komunitas ini terdiri dari beragam jenis hobi,
seperti: Parkour, Freestyle Fixi, Skateboarding, Football Juggle, hingga Fun
Yoyo.
Tak seperti kegiatan ekstrakulikuler sekolah
yang memprioritaskan prestasi, semua kegiatan di komunitas Freestyle
semata-mata dilakukan untuk melepas penat dan menyalurkan hobi.
“Helena!”
teriak Fabian, bergegas menghampiri Helena. “Langsung pulang?”
“Yaa,
begitu,” jawab Helena,dengan senyuman. “Memangnya kenapa?”
“Mending
ikut aku dulu, yuk!” ajak Fabian.
“Ikut
kemana, Bian?”
Fabian
lantas menggandeng tangan Helena dan membawanya ke lapangan parkir belakang.
“Kesini, Hel. Lihat anak-anak Freestyle.” ia tersenyum, memperlihatkan kehebatan
teman-temannya kepada Helena.
Nampak
beberapa orang laki-laki sedang melakukan juggling
bola dengan begitu atraktif. Selain itu, Ada juga yang asik mengasah
keterampilan bermain Yoyo, bermain-main dengan sepeda fixi, dan yang meluncur
dengan papan skate, yang salah satunya adalah Evan.
Helena
menengok ke arah tangan Fabian yang masih menggandeng tangannya, sambil
tersenyum canggung. Fabian yang baru menyadari itu lantas melepaskannya dan
melakukan gerakan aneh, seperti menggaruk kulit kepala padahal tidak gatal,
efek dari salah tingkah.
Kemudian
ia mengajak Helena ke sebuah pendopo kecil. “Sini, Hel. Duduk!”
Helena
lekas duduk di samping Fabian “Aku mau tanya, dong!”
“Tanya
apa, Hel? PG apa essay?” tanyanya, bercanda.
“Yee,
bukan ujian!” cengir Helena.
“Terus
apa?”
“Tentang
komunitas ini. Sebenernya sekolah tahu nggak sih, ada komunitas ini?” mimik
wajah Helena nampak serius.
Fabian
mengawali jawaban dengan senyum, “Mereka tahu. Para siswa, osis, guru, dan
bahkan para pembina ekskul pun tahu,”
“Terus,
kenapa nggak masuk jadi kegiatan ekskul ya?” terheran Helena.
“Karena
sekolah merasa kegiatan-kegiatan yang ada di komunitas ini tuh nggak berpotensi
untuk menghasilkan prestasi katanya,” jawab Fabian. “Aku juga heran, ekskul kan
pada dasarnya untuk pengembangan diri siswa dan treatment akan kepenatan. Tapi sekolah malah memprioritaskan ekskul
sebagai bidang yang wajib memiliki prestasi.”
“Mungkin
kamu dan yang lain harus coba menunjukan sesuatu kepada sekolah, Bian. Yaa
supaya komunitas ini juga bisa berkembang.” imbuh Helena.
“Maksudnya?”
tanya Fabian.
“Hmmm...”
Helena berpikir, “Mungkin dengan mempresentasikan kepada guru-guru dan pembina
ekskul tentang kegiatan-kegiatan di komunitas ini salah satunya,”
Sejenak
ia memikirkan saran Helena tersebut, “Boleh juga tuh!” tegasnya, sumringah.
“Ide kamu ini, bagus banget, Hel! Brilian.” Helena hanya tersenyum senang.
Evan
mengahampiri Fabian dan Helena, meluncur dengan papan skate-nya, “Woy, Bian!
Malah asik pacaran!”
“Gue
dan Helena baru aja mendiskusikan sesuatu,” jawabnya, cengengesan.
“Ngeles
mulu loe! Pacaran mah pacaran aja, nggak usah sok-sokan pura-pura diskusi
segala!” kekeh Evan.
“Nggak,
Van, serius! Tadi kita abis diskusi tentang Freestyle.” Jawabnya.
“Iya
deh, gue percaya,” Evan mengangkat papan skate, lalu memeluknya. “Tumben loe,
Hel, belum pulang?” tanya Evan kepada Helena.
“Tadi
diajak kesini sama Bian. Disuruh nontonin kalian,” jawab Helena.
“Hati-hati,
Hel, itu paling modus!” cengir Evan. Direspon Fabian dengan mengacungkan jari
tengah.
Evan
mendekat, lalu duduk di samping Fabian. “Oh iya, tadi katanya kalian diskusiin
sesuatu tentang Freestyle. Kalian diskusiin apaan?”
“Begini,
Van, tadi Helena nanya, kenapa Freestyle nggak masuk jadi salah satu kegiatan
ekskul sekolah? Dan dia menyarankan supaya kita melakukan sesuatu,” jawab
Fabian.
“Apaan
tuh?” tanya Evan lagi.
“Semacam
mempresentasikan kegiatan-kegiatan di komunitas ini kepada semua orang di
sekolah, karena setelah gue pikir-pikir, kita juga nggak mungkin begini-begini
aja, main-main tanpa misi dan ekspedisi. Kita butuh mengembangkan komunitas
ini, Van. Salah satu langkah awalanya yaa dengan legalitas dari sekolah itu.”
Jelas Fabian.
“Iya,
Van. Jadi secara fasilitas, mungkin kalian nggak akan ‘di-anak-tiri-kan’ lagi.
Mungkin juga kan ternyata ada ajang-ajang untuk kegiatan yang ada di komunitas
ini, yang bisa kalian ikuti nantinya dengan dukungan dan legalitas dari
sekolah.” tambah Helena.
Evan
mengangguk paham, “Betul juga sih. Kalau gitu, ayolah, coy! Kapan kita
presentasiin?” tanyanya penuh semangat.
“Pikirin
dulu konsepnya, Bodoh!” kekeh Fabian, menoyor Evan.
“Eh,
Bian, Van, kayaknya gue harus pulang sekarang nih,” ujar Helena.
“Lho,
kok pulang, Hel? Buru-buru amat, ini kan malam minggu!” tutur Evan.
“Aku
harus... emmm, ada sesuatu yang harus aku kerjakan,” jawab Helena, beranjak.
Fabian
juga lekas beranjak, “Perlu gue antar, nggak?”
“Nggak
usah, Bian. Kamu lanjut latihan aja.” Helena menolak dengan halus.
“Wey!
Lagian loe mau antar dia pakai apa? Sepeda? Hahaha” ejek Evan kepada Fabian.
“Gue
antar dia jalan sampai depan, maksud gue,” jawab Fabian.
“Nggak
usah, Bian. Makasih.” tegas Helena, tersenyum.
“Oke.
Kalau gitu, hati-hati di jalan ya!” kata Fabian.
Helena
tersenyum dan mengangguk. “Daaah Bian~”
Wanita
berlesung pipit itu seperti suntikan energi positif bagi Fabian, yang kini
mulai merasakan kehidupannya kembali normal dan terhindar dari Auto Astral
Projection yang menguras energi.
“Pepet
terus, Sob!” ejek Evan, yang sengaja mengintip saat Fabian mengirimkan pesan singkat
kepada Helena dari handphone.
Fabian
menoleh, “Hahaha, sial! Kepergok juga gue.”
***
Nuansa
kamar yang nyaman, ditambah hiasan awan putih dan langit biru menghiasi
langit-langit kamar, selalu menjadi suasana terbaik bagi Helena menuliskan
puisi-puisinya. Sedang asik bermain dengan imajinasi, handphone-nya berdering,
Helena
pun menghentikan kegiatan menulisnya malam itu dan menjawab panggilan. “Hallo?”
“Hallo,
Hel?”
“Iya,
kenapa, Bian?”
“Nggak.
Mau ngobrol aja. Kamu lagi sibuk, nggak?”
“Hmm,
lumayan. Tapi nggak terlalu, sih.”
“Yaah,
serius? Benar nih, aku nggak ganggu?”
“Ganggu,
sih. Hehehe.”
“Yaah,
maap ya!”
“Hehehe,
becanda, Bian. Aku lagi nggak sibuk-sibuk amat kok,”
“Benar?”
“Iya,”
“Hmm,
emangnya kamu lagi ngapain, Hel?”
“Lagi
ketak-ketik aja,”
“Ngerjain
tugas?”
“Bukan.
Lagi iseng aja bikin tulisan,”
“Waw!
Anak bahasa dan sastra banget kamu, Hel. Hehehe.”
“Kamu
juga anak sosial banget,”
“Maksudnya?”
“Iya,
anak sosial. Mejeng di sosial media, ngechat orang tengah malam. Hehe.”
“Hahaha,
nyindir nih?”
“Nggak,
kok. Aku bicara fakta. Hehehe.”
Setelah
mempertimbangkan segalanya, dan juga kedekatan yang sudah mulai terjalin,
Fabian memberanikan diri untuk menawarkan ajakan kepada Helena.
“Eh,
besok jalan yuk!”
“Jalan?”
“Nggak
jalan juga, sih. Maksudnya, kita main gitu. Mau nggak?”
“Hmm,
kemana? Ngapain?”
“Puncak
Pas, yuk! Nyari inspirasi. Senja disana lumayan bagus, Hel. Gimana?”
“Mau,
sih. Tapi... kita kesana pakai apa?”
“Tenang,
Hel, bukan pakai sepeda, kok.”
“Mak-maksud
aku bukan...”
“Pokoknya,
jam empat sore kamu standby di depan
rumah, ya!”
“Oke,
deh. Eh tapi, emang kamu tau rumah aku?”
“Tau
kok, tau.”
“Hmm,
oke deh.”
“Oke,
Hel. Yaudah, kamu lanjut deh nulisnya. Maaf ya, ganggu. Bye.”
“Bye.”
Untung aja Helena nggak nanya darimana aku
tau rumah dia. Bisa tengsin kalau aku harus jujur, selama ini aku sering
memata-matai dia.
***
Siang
hari menjelang sore, Fabian bersiap menjemput Helena di rumahnya, seperti yang
telah mereka janjikan semalam. Kaos hitam berlapis flannel merah marun yang tak
dikancingkan dipadu dengan celana jeans hitam, dan sepatu converse warna hitam.
Ia nampak begitu siap untuk hari itu.
“Yah, motor aku pakai, ya!” kata Fabian pada
ayahnya, yang sedang asik menonton tv.
Pak
Abraham menyahut santai, “Pakai aja!” ia lalu melihat anaknya dengan tatapan
yang tak biasa, “Wuidih, rapih amat. Mau jalan sama cewek, ya?”
“Iya,
Yah,” cengir Fabian.
"Siapa
namanya?" tanya Pak Abraham.
"Helena,
Yah," jawab Fabian.
"Wuih,
namanya sih keren. Cakep nggak?"
"Nggak
ragu! Hahaha," jawab Fabian, tergelak.
"Like
father, like son." Pak Abraham kemudian menepuk kedua belah bahu Rick
dengan tangannya, “Good Luck, Son.”
Fabian
tercengang untuk beberapa saat, “Hmm, o-oke, Yah.”
Dengan
semangat menggebu dan restu dari ayahnya, ia segera menuju garasi untuk
mengambil motor vespa antik berwarna putih, satu-satunya kendaraan yang tersisa
dari masa kejayaan keluarganya dulu. Setelah memanaskan, ia lekas memacu vespa
itu menuju rumah Helena.
***
Setengah
jam kemudian Fabian tiba di rumah berwarna putih yang cukup besar itu. Suara
bising dari knalpotnya memicu anjing penjaga rumah itu untuk menggonggongi-nya.
Ia lantas mematikan motornya. “Sssttt... hush, hush!” Fabian coba menenangkan
anjing itu.
Beberapa
saat kemudian Helena keluar dari rumah, dan segera memberikan sebuah isyarat yang membuat anjing itu
langsung terdiam.
Sementara
itu, Fabian nampak tertegun dengan penampilan Helena yang mengenakan kaos hitam
dipadu dengan vest jeans berwarna biru pudar, dan celana jeans biru dongker,
serta sneakers biru tua bercorak putih. Fabian tak menyangka, Helena yang biasa
tampil anggun itu seketika bertransformasi se-keren itu.
“Ayo,
Bian!” ajak Helena.
Fabian
masih menatap Helena dengan tatapan kagum, “Ka-kamu nggak izin dulu, gitu?”
“Udah,
kok. Tenang aja,” jawab Helena, tersenyum.
“Okelah,
kalau gitu.”
Fabian
menyalakan motornya, lalu Helena pun duduk di bocengan. Mereka bergegas menuju
Puncak.
***
Di
perjalanan, Fabian dan Helena nampak begitu menikmati momen itu. Walaupun
jalanan menuju ke Puncak cukup macet sore itu, tapi mereka bisa atasi kejenuhan
itu dengan ngobrol dan bercanda.
“Aku
kaget banget, Hel, pas tadi lihat kamu keluar dari rumah,” ujar Fabian.
“Kaget
kenapa, Fabian?” tanya Helena agak teriak, untuk mengalahkan bisingnya suara
knalpot vespa Fabian.
“Kaget
aja, lihat penampilan kamu. Beda banget. Biasanya kan di sekolah kamu selalu
tampil anggun,” jawab Fabian.
“Di
sekolah kan aku pakainya rok, bukan celana panjang. Ya jelas beda lah! Hehehe.”
cengir Helena.
“Oh,
iya, ya.”
“Mungkin
karena kamu belum terlalu kenal sama aku. Lagipula, aku lebih suka berpenampilan
simple kayak gini, Fabian, kalau buat main. Nggak ribet.”
“Iya,
Hel, kelihatan kok.” Fabian cengengesan.
“Maksudnya?”
Helena terheran.
“Kelihatan
kalau kamu nggak mandi!” cengir Fabian.
“Kok
kamu tahu sih? Tadi aku takut nggak keburu, Bian. Tapi aku make-up kok, masa
masih ketahuan nggak mandi, sih?” Helena panik.
“Nggak
kok, Hel. Aku cuman bercanda aja, asal tebak. Hahaha.” Fabian tergelak. “Kamu
sama sekali nggak ketahuan kok, udah mandi apa belum.”
“Ih,
ngeselin banget!” Helena kesal, lalu mencubit pinggang Fabian.
“Aduduh!
Iya, ampun, ampun!” tertawa Fabian, sambil kegelian.
***
Pukul
lima, mereka sampai di Puncak Pas. Helena segera turun menuju hamparan kebun
teh, sementara Fabian memarkirkan motornya di samping sebuah warung kecil.
“A,
pesan jagung bakarnya, dua ya!” kata Fabian kepada seorang lelaki di warung
itu. “Sama wedang jahenya juga, dua.” tambahnya.
“Jagungnya
pedas manis, atau asin?” tanya lelaki itu.
“Pedas
manis aja, A.” jawab Fabian.
“Bian!
Kesini dong!” teriak Helena, dari perkebunan teh yang ada di bawah warung itu.
“Iya,
sebentar. Aku lagi mesen makanan, nih.” sahut Fabian, juga berteriak.
“Udah,
itu nanti aja! Gampang,” titah Helena.
“Oke,
oke. Aku kesitu!” turut Fabian. “A, kalau udah jadi jagung sama wedang jahenya,
ditaro di situ aja, ya!” titahnya kepada si penjual.
Fabian
lantas berjalan menghampiri Helena. Mereka berdua berdiri ditengah luasnya
kebun teh yang terhampar. Lembayung senja yang jingga merona, menyempurnakan
sore itu.
“Betul,
Bian, kata kamu. Senja di sini memang bagus banget!” ungkap Helena, dengan
senyum ketenangan.
“Sebenarnya,
semua senja pasti bagus, Hel. Tergantung dengan siapa dan kesan apa yang kita
rasakan, ketika melihat itu.” balas Fabian, juga dengan senyum ketenangan.
“Modus!”
seru Helena.
“Yee,
geer! balas Fabian, lalu berlari.
Helena
lantas mengejar Fabian. Gelak tawa nampak jelas menghiasi sore mereka berdua
kala itu, buah dari canda riang yang kedua anak adam itu lakukan.
“Hel,
naik, yuk! Udah maghrib nih.” ajak Fabian, masih terengah. “Nanti jagung sama
wedang jahenya keburu dingin,”
Helena
coba mengatur napas, “Hokeh, hokeh, hhh... ayok!”
Selesai
menyantap jagung bakar dan wedang jahe, keduanya memutuskan untuk turun dari
Puncak Pas dan menuju ke Masjid Atta-Awun. Di sana, mereka bersantai di
pelataran masjid, sambil asik menikmati pemandangan lampu-lampu kota yang mulai
menyala.
***
“Lihat,
Fabian, lampu-lampu itu. Keren kan?” Helena menunjuk ke pemandangan di
depannya.
“Lampu
doang?” sahut Fabian, meremehkan.
“Iya.
Lampu-lampu itu, tanda dari peradaban manusia.” tutur Helena, kalem.
“Maksudnya?”
tanya Fabian lagi.
“Cahaya-cahaya
berpijar melawan gelap. Manusia tidak begitu menyenangi gelap, maka dari itu
mereka menghidupkan nyala-nyala itu.” Helena lalu menoleh ke arah lelaki di
sebelahnya itu, “Kenapa sih, manusia tidak menyukai keheningan?”
Fabian
menjawab, “Mungkin karena keheningan dan gelap tak membuat mereka nyaman.
Keheningan dan gelap adalah celah bagi yang selalu terjaga untuk menyerang yang
lengah.”
Helena
nampak serius untuk coba menelaah jawaban itu. Sementara itu, entah mengapa saat
menjawab pertanyaan itu, Fabian teringat kembali dengan Black Robed, sebagai
sesuatu yang selalu terjaga dan suatu saat menunggunya lengah.
“Ah,
lupakan! Lupakan!” seru Fabian, coba mengusir paranoid.
“Kenapa,
Bian? Lupakan apa?” tanya Helena, terheran.
Fabian
menjawab dengan senyuman, “Nggak,”
“Oh,
yaudah.” Helena memalingkan kembali pandangannya terhadap Fabian, dan menatap
pemandangan gemerlap cahaya lampu-lampu kota lagi.
***
Waktu
menunjukan pukul delapan malam, mereka harus lekas pulang, karena besok pagi
keduanya harus kembali sekolah. Jalanan yang macet memperpanjang obrolan
mereka, yang seperti tidak kehabisan topic untuk dibicarakan.
“Hmm,
Fabian!”
“Iya,
Hel?” sahut Fabian.
“Kamu,
kenapa putus sama Amanda? Dia kan perfect banget,”
Fabian
agak terkaget dengan pertanyaan itu, “Harus dijawab nih?”
“Yeaa,
terserah kamu sih,” jawab Helena, berusaha tidak memaksa.
“Oke
aku jawab.” Fabian menyiapkan kata-kata untuk menjawab pertanyaan itu. “Kita
putus karena waktu,”
“Maksudnya?”
“Iya,
waktu. Waktu menunjukan pada kita tentang apa yang seharusnya kita lakukan
untuk waktu.” jawabnya.
“Aku
malah makin bingung, Bian,”
“Setelah
aku pikir-pikir, aku pacaran sama Amanda cuman buang-buang waktu aja. Sementara
dia mengekang aku, nggak boleh ini-itu, hal-hal yang sebenarnya lebih bermanfaat
dibanding harus ‘jalan’, main, dan pacaran sama dia. Selama pacaran, dia selalu
ingin jadi prioritas utama. Padahal kan aku ini masih seorang pelajar, yang
masih harus mementingkan prioritasku sebagai pelajar, dengan pergaulan dan
hal-hal yang bisa aku lakukan tanpa dia.” jelas Fabian.
“Ooohhh,
karena dia posesif?” Helena tersenyum mengejek.
“Yep!
Seperti itu lah.” angguk Fabian.
“Yaelah,
tinggal bilang posesif aja, sampai cerita muter-muter gitu, Segala waktu lah
dibawa-bawa. Hahaha,” cengir Helena.
“Hehehe,
kan biar jelas.” kikik Fabian.
***
Setelah
menempuh perjalanan satu jam lebih lamanya, mereka tiba juga di rumah Helena.
Helena
lantas turun dari motor, “Makasih, ya, Fabian!” ucapnya, tersenyum.
“Aku
dong, Hel, yang bilang terima kasih. Karena kamu mau aku ajak ngebolang. Hehehe,” cengir Fabian.
“Ternyata kamu asik banget. Gokil!”
“Hahaha,
aku juga senang Bian, bertualang sama kamu.” ungkap Helena.
“Jangan
kapok ya, kalau aku ajak main lagi!”
“Ya
nggak, lah!”
“Emm,
oke, Hel. Kalau gitu, aku pulang, ya!”
“Lho,
nggak mampir dulu?” tanya Helena.
“Nggak
enak ah, udah jam segini. Lagipula besok pagi kita kan harus sekolah,” jawab
Fabian, beralibih. “Sebelum aku digonggongin Anjing kamu lagi, hahaha.”
“Hahaha,
yaudah kalau gitu, hati-hati, ya!”
“Okeee!”
jawab Fabian, menyalakan motor bututnya, lalu pergi.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar