Di kamar berukuran sedang dan tak
tertata itu, Fabian lagi-lagi bereksperimen dengan ide gilanya. Dinding berhias
poster-poster Band Punk asal Amerika, miniatur tokoh-tokoh superhero, dan
pajangan foto-foto dari yang momen resmi hingga momen tergila menghiasi
kesembrautan dekorasi kamar yang lebih mirip kapal pecah. Itu semua adalah
saksi bisu bagaimana ide-ide itu dirancang.
Malam itu udara kota Bogor terasa
agak panas. Pan kecil berwarna putih
itu pun berputar dengan level tertinggi. Kesibukan yang mulai terselesaikan
menjadi stimulus untuk melakukan sesuatu yang sekedar keisengan semata. Berawal
dari keingintahuan akan suatu fenomena yang disebut Astral Projection, Fabian
pun menikmati waktu senggangnya dengan berselancar di internet dan membaca-baca
beberapa artikel tentang fenomena tersebut.
Ia
duduk di kursi sambil menatap komputer yang terkoneksi dengan internet. Tak
lupa segelas teh hangat menemani malamnya yang random kala itu.
“Halah!
Dasar manusia-manusia sok tahu!” cacinya, membaca beberapa artikel yang
menyebutkan kalau fenomena itu merupakan kegiatan yang berkaitan dengan ilmu
hitam.
Sebagai
seorang yang rasional, Fabian tak mau terjebak dengan persepsi-persepsi tak
masuk akal yang menyandera logika.
Ketika kita melakukan astral projection ada kemungkinan kita akan terperangkap dan tidak bisa kembali ke dunia nyata, karena akan ada intervensi dari makhluk lain di sekitar yang mengincar roh halus kita...
wajahnya menekuk tajam, tatapannya sinis ketika membaca salah satu artikel yang lain. “Hahaha, artikel sampah!” cacinya lagi.
Ketika kita melakukan astral projection ada kemungkinan kita akan terperangkap dan tidak bisa kembali ke dunia nyata, karena akan ada intervensi dari makhluk lain di sekitar yang mengincar roh halus kita...
wajahnya menekuk tajam, tatapannya sinis ketika membaca salah satu artikel yang lain. “Hahaha, artikel sampah!” cacinya lagi.
Ia
coba merelaksasi diri dengan teh hangat yang diteguknya, sambil giat jemarinya
menari-nari lincah di atas keyboard.
Lalu ia membaca sebuah artikel lagi,
Astral projection adalah aktivitas yang secara psikologis dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan di mana jiwa kita melakukan perjalanan sendiri ke tempat lain, terpisah dari tubuh kita. Tapi ini bukan suatu mimpi, karena jika ditilik, jiwa kita benar-benar berada di tempat lain tersebut, dan bisa melakukan suatu aktivitas di sana. Proyeksi astral (atau perjalanan astral) adalah interpretasi out-of-tubuh pengalaman (OBE) yang mengasumsikan keberadaan "tubuh astral" terpisah dari tubuh fisik dan mampu melakukan perjalanan luar itu. Proyeksi Astral atau perjalanan menandakan tubuh astral meninggalkan tubuh fisik untuk melakukan perjalanan di pesawat astral...
Setelah membaca artikel itu, tentu saja Fabian lebih menerima penjelasannya dibanding artikel-artikel yang ia baca sebelumnya. “Nah! ini baru masuk akal.”
Astral projection adalah aktivitas yang secara psikologis dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan di mana jiwa kita melakukan perjalanan sendiri ke tempat lain, terpisah dari tubuh kita. Tapi ini bukan suatu mimpi, karena jika ditilik, jiwa kita benar-benar berada di tempat lain tersebut, dan bisa melakukan suatu aktivitas di sana. Proyeksi astral (atau perjalanan astral) adalah interpretasi out-of-tubuh pengalaman (OBE) yang mengasumsikan keberadaan "tubuh astral" terpisah dari tubuh fisik dan mampu melakukan perjalanan luar itu. Proyeksi Astral atau perjalanan menandakan tubuh astral meninggalkan tubuh fisik untuk melakukan perjalanan di pesawat astral...
Setelah membaca artikel itu, tentu saja Fabian lebih menerima penjelasannya dibanding artikel-artikel yang ia baca sebelumnya. “Nah! ini baru masuk akal.”
Fabian
bertubuh tinggi-sedang. Kulitnya putih bersih. Struktur wajahnya yang agak oval
terpadu pas dengan tatanan rambutnya yang dipotong undercut. Paras blasteran Indo-Eropa-nya itu nampak beradaptasi
baik dengan wajah ala pribumi.
Usai
menuntaskan yang dikerjakannya, ia membiarkan tubuhnya rebah di kasur. Kedua
telapak tangannya menjadi pengganti bantal untuk menyanggah kepala. Dengan
tatapan mata mengawang ke langit-langit kamar, ia bermonolog. “Kayaknya asik
nih nyoba astral projection itu, “ katanya, di dalam lamunan. “Gue bisa datangin
Helena sesuka hati, tanpa harus melawan rasa canggung sialan yang selalu muncul
tiap jumpa dia.”
Helena adalah wanita kesayangannya sejak masuk SMA. Meskipun popular di sekolah dan memiliki paras menarik, tapi untuk alasan yang tak diketahui, Fabian tidak pernah berani mendekati Helena. Lain halnya dengan wanita lain, Fabian justru dapat dengan mudah menaklukan hati mereka.
Helena adalah wanita kesayangannya sejak masuk SMA. Meskipun popular di sekolah dan memiliki paras menarik, tapi untuk alasan yang tak diketahui, Fabian tidak pernah berani mendekati Helena. Lain halnya dengan wanita lain, Fabian justru dapat dengan mudah menaklukan hati mereka.
Sedang
asyik ia bermain imajinasi, ayahnya berteriak, “Bian! Beliin Ayah rokok sama
nasi goreng di perempatan sana. Buruan!”
“Iya,
Yah. Sebentar lagi nih, tanggung,” sahut Fabian, malas-malasan.
“Buruan!
Gue lapar nih!” bentak ayahnya, “Loe mau Ayah cepat mati, ya?”
Fabian
kecut. Ia lantas keluar dari kamarnya lalu menghampiri pria yang kini tambun itu.
“Oke, Yah, oke.” turutnya.
Ayah
Fabian bernama Abraham. Pria tinggi-tegap, berumur 30-an akhir. Potongan rambut
shortcut dipadu dengan kumis dan
janggut tipis yang merambat di wajah bagian bawahnya. Paras tampannya terenggut
usia dan rasa frustasi yang amat dalam. Dulu Abraham adalah seorang pengusaha
yang cukup sukses. Ia juga selalu menjadi suami dan ayah yang baik di keluarga.
Akan tetapi, sejak Monalisa, istrinya yang sangat ia cintai meninggal dunia
karena bunuh diri, kini Abraham berubah drastis menjadi pribadi yang hopeless dan temperamental.
Abraham
menatap Fabian dengan garang, “Hey! kalau disuruh orangtua kebiasaan banget,
nggak pernah langsung nurut,” tatapannya makin menusuk, seolah akan ada gerakan
berbahaya selanjutnya jika Fabian menentangnya.
Fabian
sudah paham betul watak ayahnya. Demi ketentraman malam itu, ia pun tak mau
ambil pusing dengan perlakuan ayahnya itu. “Jadi beli, nggak? Mana duitnya?”
tanyanya, agak acuh.
“Pake
dulu duit yang ada, nanti diganti kalau ada duit.” jawab Abraham, dengan nada
bicara yang berangsur rendah.
Tatapan
kesal Fabian arahkan kepada ayahnya, tapi kemudian ia tersadar kalau pun ia
harus membantah, itu tak akan membuat semuanya lebih baik. “Yaudah,” angguknya,
“Ada lagi nggak?”
Lelaki
tambun itu kembali duduk di sofa sambil memegang remot tv, “Sama bir ya, dua
kaleng aja.” Tambahnya.
Fabian
berjalan menuruti perintah ayahnya. Meskipun rasa muak penuh sesak di dalam
benak karena sikap ayahnya itu, tapi ia tetap sabar dan coba memahami keadaan.
Ia tahu betul bahwa ayahnya begitu bukan karena kemauannya, melainkan sebagai
betuk rasa frustasi dan depresi.
***
Setengah
jam kemudian Fabian kembali ke rumah dengan membawa pesanan ayahnya tadi. Nasi
goreng pedas, sebungkus rokok, dan dua kaleng bir dibungkus dalam sebuah
keresek hitam. Tatapan penuh belas kasih itu nampak jelas di matanya, melihat
lelaki yang sejak dulu menjadi idolanya itu tertidur di sofa berwarna
putih-buluk. Ia mengambil helai kain berukuran 2x2 meter dari tumpukan pakaian
yang sudah diangkat dari jemuran, lalu menyelimuti lelaki yang tertidur hanya
berbalut oblong putih dan celana pendek.
“Mau
sampai kapan Ayah terus seperti ini?” tanya bocah itu dalam hati.
Fabian
kemudian menyimpan bawaannya itu di atas meja, lalu kembali ke kamar.
Setelah
ibunya meninggal, Fabian yang dulu hidup serba berkecukupan, bahkan mewah, kini
harus tinggal di rumah sederhana bersama ayahnya, dengan kehidupan yang
pas-pasan setelah ayahnya bangkrut. Tak hanya itu, kini mereka pun terlilit
utang yang jumlahnya tak sedikit.
Ia
kembali ke meja belajar sekaligus meja kerjanya, karena sebuah email nampak masuk ke inbox emailnya. "Draft kerjaan
lagi? Ck, kampret! Baru aja gue mau nyantai," keluhnya. Ia pun terpaksa
menutup laman-laman yang menampilkan tentang astral projection, “Come on, Bian.
Back to work!”
Komputer
usang berwarna hitam itu adalah jalan baginya untuk menghasilkan uang. Ayahnya
tak bekerja, oleh karena itu sebisa mungkin ia mencari penghasilan sendiri
untuk bertahan hidup. Dengan komputer itu, ia bekerja menginput data untuk
sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa berbasis online.
Waktu
menunjukan lewat tengah malam. Jemarinya mulai lelah mengetik, dan matanya
sesekali terpejam untuk sesaat. “Huh! Akhirnya selesai juga. Gue harus tidur
sekarang juga nih, kalau nggak, besok pagi bisa-bisa gue ngopi bareng satpam
sekolah lagi.”
Ketika
akan mematikan komputer, ia melihat di facebook Helena sedang online. Didahului oleh pertentangan
hebat antara menyapa tapi takut tak dibalas, atau tak menyapa tapi dihantui
penasaran. Berhasil mengalahkan negative
thinking-nya, ia kemudian menyapa Helena dengan menuliskan pesan chat “Hai!”
Demi
menunggu balasan dari wanita itu, ia tak hentinya berspekulasi. “Ah, paling dia
nggak bales… atau, paling-paling bales seperlunya. Tapi mungkin aja dia lagi
butuh temen ngobrol. Hmmm…” Beberapa menit kemudian Helena membalas, “Hai
juga.”
Seketika
balasan itu membuat Fabian nampak sumringah dan percaya diri untuk melanjutkan
percakapan. “Lagi ngapain, Hel?” tanyanya, sambil melakukan selebrasi kecil.
“Mencari
inspirasi.” jawab Helena, tanpa basa-basi.
“Buat?”
tanya Fabian lagi.
“Nulis.”
jawab Helena, singkat.
“Emangnya
harus sampai larut malam begini? Besok lagi aja, Hel. Mending kamu sekarang
tidur.” ia coba menasihati.
“Ya.”
balas Helena.
“Dingin
banget kamu, Hel. Aku nulis banyak-banyak, cuman dibalas dengan kata “Ya” doang.”
gerutunya, bermonolog. Ia nampak agak kesal.
Fabian
lanjut mengetik balasan, “Yaudah, kalau gitu, selamat mencari inspirasi, ya!
Semoga malam mu indah...” ia hendak mengirim pesan itu, tapi ia menghapusnya
kembali dan mengurungkan niat untuk melanjutkan percakapan. Ia pun mematikan
komputer, lalu bergegas merebahkan tubuh di tempat tidur yang cukup berantakan
itu, senyaman mungkin.
***
Waktu
menunjukan pukul tujuh kurang lima menit. Sudah lebih dari tiga perempat
perjalanan ditempuh. Kedua kakinya mulai melakukan akselerasi, setelah ia
menatap jam digital di tangan kanannya. Fabian berpacu dengan waktu, mengayuh
sepeda menuju sekolah. Jarak dari rumah menuju sekolahnya lumayan jauh. Tapi,
demi kesehatan dan penghematan, ia memilih setia dengan sepeda fixi-nya.
Berdiri
tegap seorang satpam, dengan seragam lengkapnya. Lelaki tinggi-besar, berkulit
gelap, dengan kumis lebatnya yang membentang. Pak Yanto namanya. Lelaki paruh
baya itu hendak menutup gerbang sekolah.
“Eeeh,
Pak, Pak. Tunggu dulu!” teriak Fabian, mempercepat laju sepedanya menuju
halaman parkir sekolah.
“Ya
ampun, kamu lagi. Nggak bosen apa telat melulu?” tanya Pak Yanto.
. Fabian
berdalih, “Maklum, Pak. Jalanan macet,”
“Macet,
Ndasmu! Kamu ini kan pakai sepeda.” tandas Pak Yanto, direspon senyum sungkan
oleh Fabian. “Udahlah, temenin bapak ngopi aja lagi,” ajaknya.
“Ngopi-ngopi lagi? Wah maaf, bukan saya
menolak nih, Pak. Tapi saya benar-benar nggak bisa.” jawab Fabian.
Pak Yanto mengeritkan dahi, “Oh gitu. Yasudah,
cepat masuk, sebelum guru piket lihat saya meloloskan kamu.”
“Oke,
Pak. Terima kasih.” cengir Fabian. Ia bergegas memarkirkan sepeda berwarna
hitam tanpa corak itu di samping pohon besar, lalu ia berlari menuju kelas.
Sekolah
Fabian adalah salah satu SMA terbaik di kota Bogor. Terdiri dari dua belas kelas.
Masing-masing empat kelas untuk tiap jenjang. Empat kelas di kelas 10 adalah
kelas umum. Kemudian dibagi menjadi empat jalur pada kelas 11, yaitu: Kelas
IPA, Kelas IPS, Kelas Bahasa dan Sastra, dan Kelas Seni Budaya. Dan itu
berlanjut sampai kelas 12.
Sekolah
ini juga menerapkan standar taraf Internasional dengan fasilitas yang lengkap
seperti: lapangan basket, futsal, dan voli tersedia untuk yang menggemari
olahraga. Ada juga ruang kesenian yang mencakup beberapa bidang seni berbeda.
Selain itu, terdapat pula perpustakaan, laboratorium, aula, dan taman yang
cukup luas.
Dengan
begitu, hanya siswa-siswi terbaik yang bersekolah disitu. Dan kalau pun bodoh
dan tolol, setidaknya dia pasti anak orang kaya atau anak orang penting di
sekolah.
Saat
ini Fabian duduk di kelas tiga. Ia adalah salah satu siswa yang cerdas, walau
pun ia tersisih dan masuk kelas IPS, jurusan yang dianggap menempati strata
paling rendah di sekolah. Setuju atau tidak dengan stigma itu, yang jelas,
kelas tiga IPS adalah yang paling sering bermasalah dengan peraturan dan
guru-guru.
***
Pelajaran
Akuntansi yang tak mudah dicerna otak dan guru yang monoton adalah kombinasi
pas menciptakan rasa bosan. Porsi tidur tak lebih dari empat jam juga membuat
Fabian terkantuk-kantuk. Sesekali ia mengucek matanya yang mengeluarkan air
ketika menguap. Tapi priceless moment
itu nampak segera berakhir.
Jarinya
mengetuk-ngetuk meja, mengikuti detik waktu dari jam dinding yang terpam-pang
di tembok kelas. Matanya terus memantau jarum detik jam itu. Beberapa saat
kemudian, “Yak!” ucap Fabian, tersenyum gembira. Seketika ia kembali segar,
seperti gadget yang dicharge full.
Teeettt
Teeettt!!! Bel tanda waktu istirahat berbunyi.
“Van,
ke kantin yuk!” ajak Fabian.
“Ah,
males gue, paling loe cuman mau lihat si Helena jajan.” keluh Evan. Pria bengal
dengan gaya rambut Old Skull dan Skinhead di kedua sisinya. Badannya
tinggi-besar, dan paras menyesuaikan dengan kelakuannya yang annoying.
“Ya
nggak apa-apa kan, Van? Selagi keindahan itu masih bisa dinikmati dengan
gratis.” kekeh Fabian. Ekspresinya seperti orang mengkhayal.
“Iyaa!
Masalahnya, kita sering ke kantin tapi nggak pernah jajan. Itu kan aneh,”
tandas Evan.
“Yaelah!
Emangnya ada gitu yang sebegitunya memperhatikan kita? Kan nggak ada, Van.”
tegas Fabian.
“Yaa
mungkin aja ada,” Evan mengira-ngira.
Fabian
lekas beranjak, “Yaudah, yaudah. Kita jajan deh,”
Evan
turut mengikuti Fabian, “Nah, gitu dong. Jajanin gue yak!” cengirnya.
“Ah,
elu!” Fabian menjawab sebal.
***
Di
Kantin, Fabian dan Evan bertemu dengan Dimas. Bocah yang tak begitu tinggi.
Kulitnya putih pucat. Paras flamboyan terkombinasi dengan kacamata yang tebal
hinggap di batang hidungnya. Ia adalah salah satu siswa terbaik di sekolah. Saat
itu ia nampak sedang asyik bermain laptop sambil menikmati segelas jus melon.
“Woy,
Cupu!” sapa Evan kepada Dimas.
Dimas
menoleh, “Eh, kalian, Para Bedebah IPS.”
Evan
tersulut, “Wah, sialan loe!”
“Udah
lah, Van! Ayo kita ke sana,” ajak Fabian, menunjuk sebuah meja di paling ujung.
“Oke,
oke.” turut Evan. “Lain kali, gue hantam loe!” ancamnya kepada Dimas.
Dimas
tak menggubris. Ia serius membaca komik horor di laptopnya, dan hanya
mengacungkan jari tengah kepada Evan sebagai respon.
Dua
lelaki duduk di kursi fiber tanpa sandaran, dengan meja bundar di tengahnya.
Mereka kemudian memesan kopi susu dan kebab. Evan masih tidak terima dengan
perlakuan Dimas tadi. Sedangkan Fabian terus saja melihat-lihat sekitar,
mencari-cari keberadaan Helena yang biasanya memesan makanan di sebelah tempat
mereka duduk.
“Sialan
tuh si Cupu, berani menghina kita. Awas aja nanti!” gerutu Evan.
“Menghina
apaan sih, Van? Loe sensitif amat, kayak cewek lagi PMS.” sambar Fabian,
matanya masih mengeksplorasi sekitar.
“Dia
bilang kita Bedebah IPS, itu kan merendahkan banget. Mentang-mentang dia masuk
kelas unggulan... Dari pas kita sekelas sama dia waktu kelas 10, gue udah gedek
banget sama dia yang sok ide itu. Nyesel
gue nggak habisin dia dari dulu." Evan terus mengoceh, “Enaknya kita apain
ya tuh bocah?”
“Hah?...”
Fabian menyahut ocehan Evan seadanya. Matanya berhasil mendeteksi keberadaan
wanita yang menjadi target operasionalnya tiap jam istirahat itu. Target itu
nampak tengah berjalan dari kejauhan menuju ke kantin.
“Yeeh,
Kampret! Pantes aja omongan gue dicuekin.” cerca Evan.
Penampakan
sosok wanita cantik baru saja mengalihkan dunianya. Paras merona dan mata indah
adalah anugerah. Kulit putih mulus nan lembut menyempurnakan rambut
hitam-lurus-panjangnya yang tergerai. Hiasan tambahan berupa lesung pipit,
serta susunan gigi yang menggemaskan bak kelinci itu adalah pelengkap yang pas.
Apalagi saat bubuhan senyum manis itu terpancar, Fabian benar-benar terpesona
dibuatnya.
Fabian
menyukai Helena sejak awal masuk sekolah. Berbeda saat dengan mudah ia
menaklukan wanita lain di sekolah, ia justru mendadak jadi seorang pengecut,
karena tak pernah berani untuk sekedar menyapa Helena. Rasa canggung yang
memacu debar jantung berdetak lebih cepat dari biasanya, menghilangkan ketenangan
yang biasa melekat dengan karakternya.
Fabian
hafal betul dengan segala rutinitas Helena di sekolah. Dan benar saja, saat itu
Helena bersama seorang temannya menuju ke sebuah warung makanan tepat di depan
Fabian dan Evan duduk. Teman Helena itu bernama Bella. Seorang gadis dengan
kulit sawo matang yang nampak eksotis. Rambut bob dan sorot mata tajam khasnya, menegaskan parasnya yang tomboy.
“Hel,
tempat kita biasa duduk udah ada yang nempatin tuh,” kata Bella, menunjuk ke
arah di mana Fabian dan Evan duduk.
Helena
menoleh, lalu melihat sekitar. “Yaudah, nggak apa-apa. Kita di sebelah sana
aja.” ujarnya, menunjuk ke arah kursi lain yang kosong.
Seusai
memesan makanan, Helena dan Bella menuju kursi dan meja kosong tak jauh dari
tempat dua lelaki kurang kerjaan itu terduduk.
“Hai,
Bian!” sapa seorang wanita cantik, beraroma sensual, perpaduan rambut ikal
berwarna hitam-kecoklatan yang tergerai, dan tatapan nakal yang khas. Dia adalah
Amanda, mantan kekasih Fabian.
“Hai,”
balas Fabian, singkat.
“Hai,
Manda!” sapa Evan, dengan wajah gumoh.
Amanda
lekas duduk di atas pangkuan Fabian, sembari merayu dan menggodai lelaki yang
nampak risih itu. “Aku kangen banget bermesraan sama kamu, My Boy!” kata Amanda,
mengusap-usap wajah Fabian perhalan.
Gerakan
yang tak lazim itu lantas tanpa sengaja dilihat oleh Helena. Fabian pun segera
meminta Amanda untuk turun dari pangkuannya. “Emmm... Sorry, Man, loe bisa
turun, nggak? Nggak enak dilihat orang-orang.”
Amanda
enggan beranjak, “Hm, oke. Tapi dengan syarat!”
“Apa?”
tanya Fabian. Ekspresinya menunjukan bahwa ia ingin segera mengusir wanita
kegatelan itu.
“Cium
aku!” jawab Amanda.
Fabian
tersenyum spekulatif, “Oke... Van, cium dia!” titahnya.
“Oke
siap!” jawab Evan, responsif.
Amanda
segera beranjak dari pangkuan Fabian, “Ih, najis!” kekehnya, lalu pergi.
“Ah,
shit! Gagal deh dapet pipi mulus.” keluh Evan.
Fabian
tergelak melihat ekspresi kecewa Evan dan kejijikan Amanda terhadap pria Punk
si Bandit Cinta Kesepian itu. “Hahahaha,” tawanya puas.
“Sialan
loe! Malah ngetawain,” gerutu Evan. “Perasaan, gue nggak kalah keren dari loe.
Menang gue malah. Suatu saat, si Manda bakal klepek-klepek sama gue. Lihat
aja!” tegasnya, penuh ambisi. “By the way,
ciuman sama Manda gimana rasanya, Bro?”
Tawa
Fabian langsung terhenti, “Yaa, gitu,” jawabnya, tanpa ekspresi.
“Gitu,
gimana?” tanya Evan, coba mengeksplorasi sahabatnya itu. “Eh, tapi, kalau gue shikat si Manda, nggak apa-apa kan?”
“Yaa
silahkan aja. Toh gue sama dia kan udah nggak ada apa-apa,” Fabian menggigit
kebab, “Itu pun kalau loe mampu. Hahaha.” kikiknya, sambil mengunyah.
“Iya
juga, sih,” Evan tertunduk. “Loe dulu pakai guna-guna apa sih, Bro? Kok dia
sampe segitunya sama loe?”
“Gue
memang terlahir tampan dan memikat hati para wanita,” jawab Fabian, sambil
membubuhkan senyum tengil.
“Iya,
iya, kecuali untuk Helena! hahahaha.” Evan tergelak.
Fabian
menginjak kaki Evan, “Jangan kencang-kencang ngomongnya, Bandit! Nanti kalau
dia dengar, gimana!?” imbuhnya, mencuri pandang ke arah Helena.
“Aw
aw!!! Iya, iya, sorry.” Evan meringis.
Bel
masuk berbunyi. Helena kembali ke Kelas Bahasa dan Sastra bersama Bella.
Tatapan Fabian enggan lepas dari wanita dengan estetika yang esensial baginya
itu. Dan senyumnya juga tanpa sadar terus terbentang.
“Woy!
Ayo masuk kelas!” ajak Evan kepada Fabian.
Sudah
merasa cukup memandangi Helena, Fabian pun menuruti ajakan Evan untuk kembali
ke kelas. “Oke, oke.”
***
Pulang
sekolah, seperti biasa, diam-diam membuntuti Helena yang berjalan menuju halte
di depan sekolah. Fabian mengayuh sepeda fixi-nya agak lamban supaya ia tidak
diketahui oleh Helena, yang berjalan sambil membaca sebuah buku.
Sampai
di halte, Helena nampak terduduk dengan anggun seorang diri di bangku besi
panjang itu. Sesekali ia tersenyum saat membaca buku novel bergenre romance itu. Mungkin karena so sweet moment yang biasa jadi trademark novel seperti itu. Tak lama
kemudian, sebuah bus datang dan Helena pun lekas naik.
“Yah,
dia pulang,” keluh Fabian, “Yaudah lah. Itu udah cukup. Selanjutnya, mari kita
bertemu di dalam mimpi.” Ia kembali mengayuh sepedanya dengan kecepatan
bertahap, menuju rumahnya yang cukup jauh.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar