Kamis, 19 Maret 2015

PENAMPAKAN HELENA


Di kamar berukuran sedang dan tak tertata itu, Fabian lagi-lagi bereksperimen dengan ide gilanya. Dinding berhias poster-poster Band Punk asal Amerika, miniatur tokoh-tokoh superhero, dan pajangan foto-foto dari yang momen resmi hingga momen tergila menghiasi kesembrautan dekorasi kamar yang lebih mirip kapal pecah. Itu semua adalah saksi bisu bagaimana ide-ide itu dirancang.
             Malam itu udara kota Bogor terasa agak panas. Pan kecil berwarna putih itu pun berputar dengan level tertinggi. Kesibukan yang mulai terselesaikan menjadi stimulus untuk melakukan sesuatu yang sekedar keisengan semata. Berawal dari keingintahuan akan suatu fenomena yang disebut Astral Projection, Fabian pun menikmati waktu senggangnya dengan berselancar di internet dan membaca-baca beberapa artikel tentang fenomena tersebut.
            Ia duduk di kursi sambil menatap komputer yang terkoneksi dengan internet. Tak lupa segelas teh hangat menemani malamnya yang random kala itu.
            “Halah! Dasar manusia-manusia sok tahu!” cacinya, membaca beberapa artikel yang menyebutkan kalau fenomena itu merupakan kegiatan yang berkaitan dengan ilmu hitam.
            Sebagai seorang yang rasional, Fabian tak mau terjebak dengan persepsi-persepsi tak masuk akal yang menyandera logika. 
Ketika kita melakukan astral projection ada kemungkinan kita akan terperangkap dan tidak bisa kembali ke dunia nyata, karena akan ada intervensi dari makhluk lain di sekitar yang mengincar roh halus kita... 
           wajahnya menekuk tajam, tatapannya sinis ketika membaca salah satu artikel yang lain. “Hahaha, artikel sampah!” cacinya lagi.
            Ia coba merelaksasi diri dengan teh hangat yang diteguknya, sambil giat jemarinya menari-nari lincah di atas keyboard. Lalu ia membaca sebuah artikel lagi, 
Astral projection adalah aktivitas yang secara psikologis dapat dijelaskan sebagai suatu keadaan di mana jiwa kita melakukan perjalanan sendiri ke tempat lain, terpisah dari tubuh kita. Tapi ini bukan suatu mimpi, karena jika ditilik, jiwa kita benar-benar berada di tempat lain tersebut, dan bisa melakukan suatu aktivitas di sana. Proyeksi astral (atau perjalanan astral) adalah interpretasi out-of-tubuh pengalaman (OBE) yang mengasumsikan keberadaan "tubuh astral" terpisah dari tubuh fisik dan mampu melakukan perjalanan luar itu. Proyeksi Astral atau perjalanan menandakan tubuh astral meninggalkan tubuh fisik untuk melakukan perjalanan di pesawat astral...
            Setelah membaca artikel itu, tentu saja Fabian lebih menerima penjelasannya dibanding artikel-artikel yang ia baca sebelumnya. “Nah! ini baru masuk akal.”
            Fabian bertubuh tinggi-sedang. Kulitnya putih bersih. Struktur wajahnya yang agak oval terpadu pas dengan tatanan rambutnya yang dipotong undercut. Paras blasteran Indo-Eropa-nya itu nampak beradaptasi baik dengan wajah ala pribumi.
        Usai menuntaskan yang dikerjakannya, ia membiarkan tubuhnya rebah di kasur. Kedua telapak tangannya menjadi pengganti bantal untuk menyanggah kepala. Dengan tatapan mata mengawang ke langit-langit kamar, ia bermonolog. “Kayaknya asik nih nyoba astral projection itu, “ katanya, di dalam lamunan. “Gue bisa datangin Helena sesuka hati, tanpa harus melawan rasa canggung sialan yang selalu muncul tiap jumpa dia.”
            Helena adalah wanita kesayangannya sejak masuk SMA. Meskipun popular di sekolah dan memiliki paras menarik, tapi untuk alasan yang tak diketahui, Fabian tidak pernah berani mendekati Helena. Lain halnya dengan wanita lain, Fabian justru dapat dengan mudah menaklukan hati mereka.
            Sedang asyik ia bermain imajinasi, ayahnya berteriak, “Bian! Beliin Ayah rokok sama nasi goreng di perempatan sana. Buruan!”
            “Iya, Yah. Sebentar lagi nih, tanggung,” sahut Fabian, malas-malasan.
            “Buruan! Gue lapar nih!” bentak ayahnya, “Loe mau Ayah cepat mati, ya?”
            Fabian kecut. Ia lantas keluar dari kamarnya lalu menghampiri pria yang kini tambun itu. “Oke, Yah, oke.” turutnya.
            Ayah Fabian bernama Abraham. Pria tinggi-tegap, berumur 30-an akhir. Potongan rambut shortcut dipadu dengan kumis dan janggut tipis yang merambat di wajah bagian bawahnya. Paras tampannya terenggut usia dan rasa frustasi yang amat dalam. Dulu Abraham adalah seorang pengusaha yang cukup sukses. Ia juga selalu menjadi suami dan ayah yang baik di keluarga. Akan tetapi, sejak Monalisa, istrinya yang sangat ia cintai meninggal dunia karena bunuh diri, kini Abraham berubah drastis menjadi pribadi yang hopeless dan temperamental.
         Abraham menatap Fabian dengan garang, “Hey! kalau disuruh orangtua kebiasaan banget, nggak pernah langsung nurut,” tatapannya makin menusuk, seolah akan ada gerakan berbahaya selanjutnya jika Fabian menentangnya.
            Fabian sudah paham betul watak ayahnya. Demi ketentraman malam itu, ia pun tak mau ambil pusing dengan perlakuan ayahnya itu. “Jadi beli, nggak? Mana duitnya?” tanyanya, agak acuh.
          “Pake dulu duit yang ada, nanti diganti kalau ada duit.” jawab Abraham, dengan nada bicara yang berangsur rendah.
       Tatapan kesal Fabian arahkan kepada ayahnya, tapi kemudian ia tersadar kalau pun ia harus membantah, itu tak akan membuat semuanya lebih baik. “Yaudah,” angguknya, “Ada lagi nggak?”
            Lelaki tambun itu kembali duduk di sofa sambil memegang remot tv, “Sama bir ya, dua kaleng aja.” Tambahnya.
           Fabian berjalan menuruti perintah ayahnya. Meskipun rasa muak penuh sesak di dalam benak karena sikap ayahnya itu, tapi ia tetap sabar dan coba memahami keadaan. Ia tahu betul bahwa ayahnya begitu bukan karena kemauannya, melainkan sebagai betuk rasa frustasi dan depresi.

***

            Setengah jam kemudian Fabian kembali ke rumah dengan membawa pesanan ayahnya tadi. Nasi goreng pedas, sebungkus rokok, dan dua kaleng bir dibungkus dalam sebuah keresek hitam. Tatapan penuh belas kasih itu nampak jelas di matanya, melihat lelaki yang sejak dulu menjadi idolanya itu tertidur di sofa berwarna putih-buluk. Ia mengambil helai kain berukuran 2x2 meter dari tumpukan pakaian yang sudah diangkat dari jemuran, lalu menyelimuti lelaki yang tertidur hanya berbalut oblong putih dan celana pendek.
            “Mau sampai kapan Ayah terus seperti ini?” tanya bocah itu dalam hati.
            Fabian kemudian menyimpan bawaannya itu di atas meja, lalu kembali ke kamar.
            Setelah ibunya meninggal, Fabian yang dulu hidup serba berkecukupan, bahkan mewah, kini harus tinggal di rumah sederhana bersama ayahnya, dengan kehidupan yang pas-pasan setelah ayahnya bangkrut. Tak hanya itu, kini mereka pun terlilit utang yang jumlahnya tak sedikit.
            Ia kembali ke meja belajar sekaligus meja kerjanya, karena sebuah email nampak masuk ke inbox emailnya. "Draft kerjaan lagi? Ck, kampret! Baru aja gue mau nyantai," keluhnya. Ia pun terpaksa menutup laman-laman yang menampilkan tentang astral projection, “Come on, Bian. Back to work!”
            Komputer usang berwarna hitam itu adalah jalan baginya untuk menghasilkan uang. Ayahnya tak bekerja, oleh karena itu sebisa mungkin ia mencari penghasilan sendiri untuk bertahan hidup. Dengan komputer itu, ia bekerja menginput data untuk sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa berbasis online.
            Waktu menunjukan lewat tengah malam. Jemarinya mulai lelah mengetik, dan matanya sesekali terpejam untuk sesaat. “Huh! Akhirnya selesai juga. Gue harus tidur sekarang juga nih, kalau nggak, besok pagi bisa-bisa gue ngopi bareng satpam sekolah lagi.”
            Ketika akan mematikan komputer, ia melihat di facebook Helena sedang online. Didahului oleh pertentangan hebat antara menyapa tapi takut tak dibalas, atau tak menyapa tapi dihantui penasaran. Berhasil mengalahkan negative thinking-nya, ia kemudian menyapa Helena dengan menuliskan pesan chat “Hai!”
            Demi menunggu balasan dari wanita itu, ia tak hentinya berspekulasi. “Ah, paling dia nggak bales… atau, paling-paling bales seperlunya. Tapi mungkin aja dia lagi butuh temen ngobrol. Hmmm…” Beberapa menit kemudian Helena membalas, “Hai juga.”
      Seketika balasan itu membuat Fabian nampak sumringah dan percaya diri untuk melanjutkan percakapan. “Lagi ngapain, Hel?” tanyanya, sambil melakukan selebrasi kecil.
            “Mencari inspirasi.” jawab Helena, tanpa basa-basi.
            “Buat?” tanya Fabian lagi.
            “Nulis.” jawab Helena, singkat.
            “Emangnya harus sampai larut malam begini? Besok lagi aja, Hel. Mending kamu sekarang tidur.” ia coba menasihati.
            “Ya.” balas Helena.
       “Dingin banget kamu, Hel. Aku nulis banyak-banyak, cuman dibalas dengan kata “Ya” doang.” gerutunya, bermonolog. Ia nampak agak kesal.
           Fabian lanjut mengetik balasan, “Yaudah, kalau gitu, selamat mencari inspirasi, ya! Semoga malam mu indah...” ia hendak mengirim pesan itu, tapi ia menghapusnya kembali dan mengurungkan niat untuk melanjutkan percakapan. Ia pun mematikan komputer, lalu bergegas merebahkan tubuh di tempat tidur yang cukup berantakan itu, senyaman mungkin.

***

          Waktu menunjukan pukul tujuh kurang lima menit. Sudah lebih dari tiga perempat perjalanan ditempuh. Kedua kakinya mulai melakukan akselerasi, setelah ia menatap jam digital di tangan kanannya. Fabian berpacu dengan waktu, mengayuh sepeda menuju sekolah. Jarak dari rumah menuju sekolahnya lumayan jauh. Tapi, demi kesehatan dan penghematan, ia memilih setia dengan sepeda fixi-nya.
          Berdiri tegap seorang satpam, dengan seragam lengkapnya. Lelaki tinggi-besar, berkulit gelap, dengan kumis lebatnya yang membentang. Pak Yanto namanya. Lelaki paruh baya itu hendak menutup gerbang sekolah.
            “Eeeh, Pak, Pak. Tunggu dulu!” teriak Fabian, mempercepat laju sepedanya menuju halaman parkir sekolah.
            “Ya ampun, kamu lagi. Nggak bosen apa telat melulu?” tanya Pak Yanto.
.           Fabian berdalih, “Maklum, Pak. Jalanan macet,”
            “Macet, Ndasmu! Kamu ini kan pakai sepeda.” tandas Pak Yanto, direspon senyum sungkan oleh Fabian. “Udahlah, temenin bapak ngopi aja lagi,” ajaknya.   
             “Ngopi-ngopi lagi? Wah maaf, bukan saya menolak nih, Pak. Tapi saya benar-benar nggak bisa.” jawab Fabian.
         Pak Yanto mengeritkan dahi, “Oh gitu. Yasudah, cepat masuk, sebelum guru piket lihat saya meloloskan kamu.”
            “Oke, Pak. Terima kasih.” cengir Fabian. Ia bergegas memarkirkan sepeda berwarna hitam tanpa corak itu di samping pohon besar, lalu ia berlari menuju kelas.
            Sekolah Fabian adalah salah satu SMA terbaik di kota Bogor. Terdiri dari dua belas kelas. Masing-masing empat kelas untuk tiap jenjang. Empat kelas di kelas 10 adalah kelas umum. Kemudian dibagi menjadi empat jalur pada kelas 11, yaitu: Kelas IPA, Kelas IPS, Kelas Bahasa dan Sastra, dan Kelas Seni Budaya. Dan itu berlanjut sampai kelas 12.
           Sekolah ini juga menerapkan standar taraf Internasional dengan fasilitas yang lengkap seperti: lapangan basket, futsal, dan voli tersedia untuk yang menggemari olahraga. Ada juga ruang kesenian yang mencakup beberapa bidang seni berbeda. Selain itu, terdapat pula perpustakaan, laboratorium, aula, dan taman yang cukup luas.
            Dengan begitu, hanya siswa-siswi terbaik yang bersekolah disitu. Dan kalau pun bodoh dan tolol, setidaknya dia pasti anak orang kaya atau anak orang penting di sekolah.
            Saat ini Fabian duduk di kelas tiga. Ia adalah salah satu siswa yang cerdas, walau pun ia tersisih dan masuk kelas IPS, jurusan yang dianggap menempati strata paling rendah di sekolah. Setuju atau tidak dengan stigma itu, yang jelas, kelas tiga IPS adalah yang paling sering bermasalah dengan peraturan dan guru-guru.

***

            Pelajaran Akuntansi yang tak mudah dicerna otak dan guru yang monoton adalah kombinasi pas menciptakan rasa bosan. Porsi tidur tak lebih dari empat jam juga membuat Fabian terkantuk-kantuk. Sesekali ia mengucek matanya yang mengeluarkan air ketika menguap. Tapi priceless moment itu nampak segera berakhir.
            Jarinya mengetuk-ngetuk meja, mengikuti detik waktu dari jam dinding yang terpam-pang di tembok kelas. Matanya terus memantau jarum detik jam itu. Beberapa saat kemudian, “Yak!” ucap Fabian, tersenyum gembira. Seketika ia kembali segar, seperti gadget yang dicharge full.
            Teeettt Teeettt!!! Bel tanda waktu istirahat berbunyi.
            “Van, ke kantin yuk!” ajak Fabian.
            “Ah, males gue, paling loe cuman mau lihat si Helena jajan.” keluh Evan. Pria bengal dengan gaya rambut Old Skull dan Skinhead di kedua sisinya. Badannya tinggi-besar, dan paras menyesuaikan dengan kelakuannya yang annoying.
            “Ya nggak apa-apa kan, Van? Selagi keindahan itu masih bisa dinikmati dengan gratis.” kekeh Fabian. Ekspresinya seperti orang mengkhayal.
            “Iyaa! Masalahnya, kita sering ke kantin tapi nggak pernah jajan. Itu kan aneh,” tandas Evan.
            “Yaelah! Emangnya ada gitu yang sebegitunya memperhatikan kita? Kan nggak ada, Van.” tegas Fabian.
            “Yaa mungkin aja ada,” Evan mengira-ngira.
            Fabian lekas beranjak, “Yaudah, yaudah. Kita jajan deh,”
            Evan turut mengikuti Fabian, “Nah, gitu dong. Jajanin gue yak!” cengirnya.
            “Ah, elu!” Fabian menjawab sebal.

***

            Di Kantin, Fabian dan Evan bertemu dengan Dimas. Bocah yang tak begitu tinggi. Kulitnya putih pucat. Paras flamboyan terkombinasi dengan kacamata yang tebal hinggap di batang hidungnya. Ia adalah salah satu siswa terbaik di sekolah. Saat itu ia nampak sedang asyik bermain laptop sambil menikmati segelas jus melon.
            “Woy, Cupu!” sapa Evan kepada Dimas.
            Dimas menoleh, “Eh, kalian, Para Bedebah IPS.”
            Evan tersulut, “Wah, sialan loe!”
            “Udah lah, Van! Ayo kita ke sana,” ajak Fabian, menunjuk sebuah meja di paling ujung.
            “Oke, oke.” turut Evan. “Lain kali, gue hantam loe!” ancamnya kepada Dimas.
            Dimas tak menggubris. Ia serius membaca komik horor di laptopnya, dan hanya mengacungkan jari tengah kepada Evan sebagai respon.
            Dua lelaki duduk di kursi fiber tanpa sandaran, dengan meja bundar di tengahnya. Mereka kemudian memesan kopi susu dan kebab. Evan masih tidak terima dengan perlakuan Dimas tadi. Sedangkan Fabian terus saja melihat-lihat sekitar, mencari-cari keberadaan Helena yang biasanya memesan makanan di sebelah tempat mereka duduk.
            “Sialan tuh si Cupu, berani menghina kita. Awas aja nanti!” gerutu Evan.
          “Menghina apaan sih, Van? Loe sensitif amat, kayak cewek lagi PMS.” sambar Fabian, matanya masih mengeksplorasi sekitar.
         “Dia bilang kita Bedebah IPS, itu kan merendahkan banget. Mentang-mentang dia masuk kelas unggulan... Dari pas kita sekelas sama dia waktu kelas 10, gue udah gedek banget  sama dia yang sok ide itu. Nyesel gue nggak habisin dia dari dulu." Evan terus mengoceh, “Enaknya kita apain ya tuh bocah?”
            “Hah?...” Fabian menyahut ocehan Evan seadanya. Matanya berhasil mendeteksi keberadaan wanita yang menjadi target operasionalnya tiap jam istirahat itu. Target itu nampak tengah berjalan dari kejauhan menuju ke kantin.
            “Yeeh, Kampret! Pantes aja omongan gue dicuekin.” cerca Evan.
         Penampakan sosok wanita cantik baru saja mengalihkan dunianya. Paras merona dan mata indah adalah anugerah. Kulit putih mulus nan lembut menyempurnakan rambut hitam-lurus-panjangnya yang tergerai. Hiasan tambahan berupa lesung pipit, serta susunan gigi yang menggemaskan bak kelinci itu adalah pelengkap yang pas. Apalagi saat bubuhan senyum manis itu terpancar, Fabian benar-benar terpesona dibuatnya.
         Fabian menyukai Helena sejak awal masuk sekolah. Berbeda saat dengan mudah ia menaklukan wanita lain di sekolah, ia justru mendadak jadi seorang pengecut, karena tak pernah berani untuk sekedar menyapa Helena. Rasa canggung yang memacu debar jantung berdetak lebih cepat dari biasanya, menghilangkan ketenangan yang biasa melekat dengan karakternya.
            Fabian hafal betul dengan segala rutinitas Helena di sekolah. Dan benar saja, saat itu Helena bersama seorang temannya menuju ke sebuah warung makanan tepat di depan Fabian dan Evan duduk. Teman Helena itu bernama Bella. Seorang gadis dengan kulit sawo matang yang nampak eksotis. Rambut bob dan sorot mata tajam khasnya, menegaskan parasnya yang tomboy.
            “Hel, tempat kita biasa duduk udah ada yang nempatin tuh,” kata Bella, menunjuk ke arah di mana Fabian dan Evan duduk.
            Helena menoleh, lalu melihat sekitar. “Yaudah, nggak apa-apa. Kita di sebelah sana aja.” ujarnya, menunjuk ke arah kursi lain yang kosong.
            Seusai memesan makanan, Helena dan Bella menuju kursi dan meja kosong tak jauh dari tempat dua lelaki kurang kerjaan itu terduduk.
            “Hai, Bian!” sapa seorang wanita cantik, beraroma sensual, perpaduan rambut ikal berwarna hitam-kecoklatan yang tergerai, dan tatapan nakal yang khas. Dia adalah Amanda, mantan kekasih Fabian.
            “Hai,” balas Fabian, singkat.
            “Hai, Manda!” sapa Evan, dengan wajah gumoh.
            Amanda lekas duduk di atas pangkuan Fabian, sembari merayu dan menggodai lelaki yang nampak risih itu. “Aku kangen banget bermesraan sama kamu, My Boy!” kata Amanda, mengusap-usap wajah Fabian perhalan.
        Gerakan yang tak lazim itu lantas tanpa sengaja dilihat oleh Helena. Fabian pun segera meminta Amanda untuk turun dari pangkuannya. “Emmm... Sorry, Man, loe bisa turun, nggak? Nggak enak dilihat orang-orang.”
            Amanda enggan beranjak, “Hm, oke. Tapi dengan syarat!”
            “Apa?” tanya Fabian. Ekspresinya menunjukan bahwa ia ingin segera mengusir wanita kegatelan itu.
            “Cium aku!” jawab Amanda.
            Fabian tersenyum spekulatif, “Oke... Van, cium dia!” titahnya.
            “Oke siap!” jawab Evan, responsif.
            Amanda segera beranjak dari pangkuan Fabian, “Ih, najis!” kekehnya, lalu pergi.
            “Ah, shit! Gagal deh dapet pipi mulus.” keluh Evan.
            Fabian tergelak melihat ekspresi kecewa Evan dan kejijikan Amanda terhadap pria Punk si Bandit Cinta Kesepian itu. “Hahahaha,” tawanya puas.
            “Sialan loe! Malah ngetawain,” gerutu Evan. “Perasaan, gue nggak kalah keren dari loe. Menang gue malah. Suatu saat, si Manda bakal klepek-klepek sama gue. Lihat aja!” tegasnya, penuh ambisi. “By the way, ciuman sama Manda gimana rasanya, Bro?”
            Tawa Fabian langsung terhenti, “Yaa, gitu,” jawabnya, tanpa ekspresi.
         “Gitu, gimana?” tanya Evan, coba mengeksplorasi sahabatnya itu. “Eh, tapi, kalau gue shikat si Manda, nggak apa-apa kan?”
            “Yaa silahkan aja. Toh gue sama dia kan udah nggak ada apa-apa,” Fabian menggigit kebab, “Itu pun kalau loe mampu. Hahaha.” kikiknya, sambil mengunyah.
            “Iya juga, sih,” Evan tertunduk. “Loe dulu pakai guna-guna apa sih, Bro? Kok dia sampe segitunya sama loe?”
            “Gue memang terlahir tampan dan memikat hati para wanita,” jawab Fabian, sambil membubuhkan senyum tengil.
            “Iya, iya, kecuali untuk Helena! hahahaha.” Evan tergelak.
           Fabian menginjak kaki Evan, “Jangan kencang-kencang ngomongnya, Bandit! Nanti kalau dia dengar, gimana!?” imbuhnya, mencuri pandang ke arah Helena.
            “Aw aw!!! Iya, iya, sorry.” Evan meringis.
            Bel masuk berbunyi. Helena kembali ke Kelas Bahasa dan Sastra bersama Bella. Tatapan Fabian enggan lepas dari wanita dengan estetika yang esensial baginya itu. Dan senyumnya juga tanpa sadar terus terbentang.
            “Woy! Ayo masuk kelas!” ajak Evan kepada Fabian.
            Sudah merasa cukup memandangi Helena, Fabian pun menuruti ajakan Evan untuk kembali ke kelas. “Oke, oke.”

***

            Pulang sekolah, seperti biasa, diam-diam membuntuti Helena yang berjalan menuju halte di depan sekolah. Fabian mengayuh sepeda fixi-nya agak lamban supaya ia tidak diketahui oleh Helena, yang berjalan sambil membaca sebuah buku.
            Sampai di halte, Helena nampak terduduk dengan anggun seorang diri di bangku besi panjang itu. Sesekali ia tersenyum saat membaca buku novel bergenre romance itu. Mungkin karena so sweet moment yang biasa jadi trademark novel seperti itu. Tak lama kemudian, sebuah bus datang dan Helena pun lekas naik.
            “Yah, dia pulang,” keluh Fabian, “Yaudah lah. Itu udah cukup. Selanjutnya, mari kita bertemu di dalam mimpi.” Ia kembali mengayuh sepedanya dengan kecepatan bertahap, menuju rumahnya yang cukup jauh.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar