Senin, 02 Juni 2014

Bagaimana Menyikapi Kekerasan dengan Kelembutan

Manusia, diciptakan sebagai makhluk individu yang tidak bisa terlepas dari perannya sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, meskipun sikap dan perilaku yang kita tunjukkan sebagai “I am” bertujuan untuk diri sendiri, tetapi tidak dapat dipungkiri itu akan berpengaruh pula terhadap orang-orang di sekitar kita. Begitu pula dengan apa yang kita terima sebagai feedback dari apa yang kita lakukan, merupakan pengaruh yang kita dapatkan dari luar diri sendiri. Maka, kedua peran yang kita miliki yaitu sebagai makhluk individu dan sosial tidaklah mungkin bisa dikhotomi karena keduanya telah melebur bersama dalam bentuk “Me”.
            Ketika berbicara tentang permasalahan kekerasan, kita tidak dapat memisahkannya dari perilaku agresi sebagai bangunan dasar dari tindakan tersebut. Menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, Psikologi kepribadian, 1993) Agresi didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang,membunuh,atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Dengan kata lain, agresi dapat diasumsikan sebagai ‘roh jahat’ yang ada di dalam diri tiap manusia.
            Kasus-kasus kekerasan seperti kekerasan verbal (mencaci maki), maupun kekerasan fisik (memukul, melukai, dll) muncul disebabkan adanya tekanan dari luar diri atau frustasi sebagai rangsangan (stimulant) sehingga ‘roh jahat’ tersebut memiliki aplikasi yaitu melakukan kekerasan terhadap orang lain sebagai tanggapan (respons) dari rangsangan tersebut. Selain itu, faktor media juga merupakan yang tak kalah penting dalam mempengaruhi masyarakat, yaitu dengan adanya tayangan-tayangan tentang kekerasan. Dalam hal ini masyarakat mengalami apa yang dikatakan dalam ilmu psikologi sosial yaitu tentang teori pembelajaran sosial. Sebagaimana diungkapkan Miller dan Dollard, peniruan (imitation) di antara manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis, melainkan hasil dari proses belajar.
            Dewasa ini, kekerasan bisa terjadi dimana saja dan kapan saja, tak perduli penyebab nya sepele atau fatal, orang bisa saja melakukan kekerasan tanpa pertimbangan akan konsekuensi yang akan dialaminya atau orang yang menjadi korbannya. Di Indonesia ini tercatat dua kasus yang paling sering dan genting menimbulkan kekerasan yaitu konflik lahan dan isu sensitif mengenai agama atau kepercayaan. Dalam kasus konflik atas nama agama, masyarakat Indonesia pada kalangan tertentu dengan mudah dapat terprovokasi oleh pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh atau para pemuka agama yang ‘membelokan’ agama itu sendiri yang pada hakekat nya adalah cinta damai. Ini disebabkan banyak faktor, diantaranya adalah tingkat pemahaman masyarakat yang rendah, hingga faktor tekanan ekonomi membuat masyarakat kita mudah dibodohi dan diprovokasi.
            Doktrin-doktrin yang bersifat provokatif hadir di acara-acara keagamaan, dan ironisnya itu dikemukakan oleh para pemuka agama yang notabene lebih memahami agama secara hakiki dan seharusnya mengajarkan kebaikan, baik itu terhadap sesama umat yang se-agama maupun terhadap sesama manusia lain agama. Secara kenyataan ini merupakan jenis kekerasan verbal yang dilakukan oleh para pemuka agama tersebut karena melakukan tindakan provokatif dengan judgement yang mempengaruhi orang lain untuk membenci orang atau kaum tertentu. Lidah yang tak bertulang bisa lebih berbahaya dari sebuah pedang, bagaimana sebuah perkataan dapat meresahkan, membahayakan, bahkan menghancurkan orang lain dengan kelihaian memprovokasi hingga menanamkan bibit kebencian terhadap orang atau kaum tertentu.
            Lebih lanjut, masyarakat yang tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai agamanya dapat dengan mudah ‘digiring’ atau ‘disetir’ oleh orang-orang dengan kepentingan tertentu, sehingga dengan mudahnya diarahkan pada situasi tertentu hingga yang paling fatal yaitu melakukan kekerasan atau pengrusakan dan penyerangan. Selain itu, tekanan ekonomi juga membuat masyarakat kita mengalami kegalauan sosial, di mana kebutuhan untuk mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarga sulit terpenuhi, sehingga yang terjadi adalah kefrustasian sosial dan memunculkan jiwa yang agresi.
             Kendati begitu, kita harus bijak menyikapi kekerasan dengan memperhatikan faktor-faktor yang melatarbelakangi tindakan tersebut. Tidak semua tindak kekerasan dilakukan karena faktor kebencian yang mengakar rumput, namun bisa juga disebabkan minimnya pemahaman sehingga dengan mudah mereka terprovokasi dan ‘ikut-ikutan’ membenci. Banyak dari mereka yang melakukan kekerasan dikarenakan ketidaktahuan mereka, karena minimnya akses informasi dan pemberitaan media-media massa yang ‘mengaburkan’ kebenaran isi berita itu sendiri demi kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga masyarakat dididik untuk langsung ‘menelan’ berita tersebut tanpa adanya filterisasi terlebih dahulu. Jadi, ketika seseorang diprovokasi kemudian disaat yang bersamaan muncul pemberitaan-pemberitaan yang justru menjadi pembenaran atas kebencian tersebut, kekerasan merupakan hal paling ekspresif dan rasional yang bisa dilakukan masyarakat awam tersebut untuk melampiaskan kebenciannya.
            Lalu bagaimana kita menyikapi kekerasan? Salah satu cara menyikapi kekerasan adalah dengan menunjukan sikap lemah lembut. Bukan berarti menjadi lemah dan terus saja rela ditindas, tapi lemah dalam artian mengalah untuk menang. Menyikapi tindak kekerasan dengan kekerasan merupakan hal yang keliru, ibarat menyiram kobaran api dengan bensin, bukannya menyelesaikan perkara tapi memicunya menjadi perkara yang lebih besar. Oleh karena itu, sikap lemah lembut merupakan cara yang bijak untuk menyikapi kekerasan, kita harus menjadi air untuk menyiram kobaran api tersebut hingga padam.
            Menyikapi kekerasan dengan kekerasan bukanlah jalan keluar, berdebat dengan orang-orang yang sengaja telah menutup hatinya dari kebenaran juga bukan cara yang efektif. Oleh karena itu, cara terbaik adalah dengan menunjukan kelembutan terhadap mereka yang melakukan kekerasan, karena dengan kelembutan yang kita tunjukan merupakan ‘senjata ampuh’ mengikis kekerasan itu sendiri. Orang-orang yang kebenciannya dibangun oleh karena fitnah-fitnah keji, pasti hatinya memiliki celah untuk dapat melihat nilai kebenaran dari seseorang yang bersikap lemah lembut. Hatinya pasti luluh juga jika kita menunjukan kelembutan terhadap apa yang diperbuatnya, dan ia pasti akan tersadar bahwa dia memusuhi orang yang salah.

            Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah ketika menyikapi para pembenci Islam, beliau justru mendoakannya agar kelak para pembenci itu mempunyai keturunan yang menyembah Allah. Beliau memilih untuk tidak membenci mereka, melainkan menunjukan sikap yang baik yaitu mendoakan mereka dengan doa yang mulia.  Maka dari itu, cukup dengan menunjukan akhlak yang baik, tanpa harus menggembor-gemborkan bahwa kita adalah orang baik atau ada di pihak yang benar, yang justru akan menyulut emosinya. Akhlak yang baik dan sikap lemah lembut senantiasa membawa angin perdamaian, sehingga bukan mustahil seseorang yang membenci kita kelak akan berbalik menghargai kita. Setelah mereka bisa menghargai kita, baru lah kita bisa melakukan dialog terbuka dengan mereka dan itu merupakan kesempatan bagi kita untuk menjelaskan kepada mereka apa yang tidak mereka ketahui dan meluruskan pandangan yang selama ini belok dari kaidah-kaidah kebenaran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar