Manusia,
diciptakan sebagai makhluk individu yang tidak bisa terlepas dari perannya
sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, meskipun sikap dan perilaku yang kita
tunjukkan sebagai “I am” bertujuan
untuk diri sendiri, tetapi tidak dapat dipungkiri itu akan berpengaruh pula
terhadap orang-orang di sekitar kita. Begitu pula dengan apa yang kita terima
sebagai feedback dari apa yang kita
lakukan, merupakan pengaruh yang kita dapatkan dari luar diri sendiri. Maka, kedua
peran yang kita miliki yaitu sebagai makhluk individu dan sosial tidaklah
mungkin bisa dikhotomi karena keduanya telah melebur bersama dalam bentuk “Me”.
Ketika berbicara tentang
permasalahan kekerasan, kita tidak dapat memisahkannya dari perilaku agresi
sebagai bangunan dasar dari tindakan tersebut. Menurut Murray (dalam Hall &
Lindzey, Psikologi kepribadian, 1993) Agresi didefinisikan sebagai suatu cara
untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang,membunuh,atau
menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang
dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain. Dengan kata
lain, agresi dapat diasumsikan sebagai ‘roh jahat’ yang ada di dalam diri tiap
manusia.
Kasus-kasus kekerasan seperti
kekerasan verbal (mencaci maki), maupun kekerasan fisik (memukul, melukai, dll)
muncul disebabkan adanya tekanan dari luar diri atau frustasi sebagai rangsangan
(stimulant) sehingga ‘roh jahat’ tersebut memiliki aplikasi yaitu melakukan
kekerasan terhadap orang lain sebagai tanggapan (respons) dari rangsangan
tersebut. Selain itu, faktor media juga merupakan yang tak kalah penting dalam
mempengaruhi masyarakat, yaitu dengan adanya tayangan-tayangan tentang
kekerasan. Dalam hal ini masyarakat mengalami apa yang dikatakan dalam ilmu
psikologi sosial yaitu tentang teori pembelajaran sosial. Sebagaimana
diungkapkan Miller dan Dollard, peniruan (imitation) di antara manusia tidak
disebabkan oleh unsur instink atau program biologis, melainkan hasil dari
proses belajar.
Dewasa ini, kekerasan bisa terjadi
dimana saja dan kapan saja, tak perduli penyebab nya sepele atau fatal, orang
bisa saja melakukan kekerasan tanpa pertimbangan akan konsekuensi yang akan
dialaminya atau orang yang menjadi korbannya. Di Indonesia ini tercatat dua
kasus yang paling sering dan genting menimbulkan kekerasan yaitu konflik lahan
dan isu sensitif mengenai agama atau kepercayaan. Dalam kasus konflik atas nama
agama, masyarakat Indonesia pada kalangan tertentu dengan mudah dapat
terprovokasi oleh pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh atau para pemuka agama yang
‘membelokan’ agama itu sendiri yang pada hakekat nya adalah cinta damai. Ini
disebabkan banyak faktor, diantaranya adalah tingkat pemahaman masyarakat yang
rendah, hingga faktor tekanan ekonomi membuat masyarakat kita mudah dibodohi
dan diprovokasi.
Doktrin-doktrin yang bersifat
provokatif hadir di acara-acara keagamaan, dan ironisnya itu dikemukakan oleh
para pemuka agama yang notabene lebih memahami agama secara hakiki dan
seharusnya mengajarkan kebaikan, baik itu terhadap sesama umat yang se-agama
maupun terhadap sesama manusia lain agama. Secara kenyataan ini merupakan jenis
kekerasan verbal yang dilakukan oleh para pemuka agama tersebut karena
melakukan tindakan provokatif dengan judgement
yang mempengaruhi orang lain untuk membenci orang atau kaum tertentu. Lidah
yang tak bertulang bisa lebih berbahaya dari sebuah pedang, bagaimana sebuah
perkataan dapat meresahkan, membahayakan, bahkan menghancurkan orang lain
dengan kelihaian memprovokasi hingga menanamkan bibit kebencian terhadap orang
atau kaum tertentu.
Lebih lanjut, masyarakat yang tidak
memiliki pemahaman yang baik mengenai agamanya dapat dengan mudah ‘digiring’
atau ‘disetir’ oleh orang-orang dengan kepentingan tertentu, sehingga dengan
mudahnya diarahkan pada situasi tertentu hingga yang paling fatal yaitu
melakukan kekerasan atau pengrusakan dan penyerangan. Selain itu, tekanan
ekonomi juga membuat masyarakat kita mengalami kegalauan sosial, di mana
kebutuhan untuk mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarga sulit terpenuhi,
sehingga yang terjadi adalah kefrustasian sosial dan memunculkan jiwa yang
agresi.
Kendati begitu, kita harus bijak menyikapi
kekerasan dengan memperhatikan faktor-faktor yang melatarbelakangi tindakan
tersebut. Tidak semua tindak kekerasan dilakukan karena faktor kebencian yang
mengakar rumput, namun bisa juga disebabkan minimnya pemahaman sehingga dengan
mudah mereka terprovokasi dan ‘ikut-ikutan’ membenci. Banyak dari mereka yang
melakukan kekerasan dikarenakan ketidaktahuan mereka, karena minimnya akses
informasi dan pemberitaan media-media massa yang ‘mengaburkan’ kebenaran isi
berita itu sendiri demi kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga masyarakat
dididik untuk langsung ‘menelan’ berita tersebut tanpa adanya filterisasi
terlebih dahulu. Jadi, ketika seseorang diprovokasi kemudian disaat yang
bersamaan muncul pemberitaan-pemberitaan yang justru menjadi pembenaran atas
kebencian tersebut, kekerasan merupakan hal paling ekspresif dan rasional yang
bisa dilakukan masyarakat awam tersebut untuk melampiaskan kebenciannya.
Lalu bagaimana kita menyikapi
kekerasan? Salah satu cara menyikapi kekerasan adalah dengan menunjukan sikap
lemah lembut. Bukan berarti menjadi lemah dan terus saja rela ditindas, tapi
lemah dalam artian mengalah untuk menang. Menyikapi tindak kekerasan dengan
kekerasan merupakan hal yang keliru, ibarat menyiram kobaran api dengan bensin,
bukannya menyelesaikan perkara tapi memicunya menjadi perkara yang lebih besar.
Oleh karena itu, sikap lemah lembut merupakan cara yang bijak untuk menyikapi
kekerasan, kita harus menjadi air untuk menyiram kobaran api tersebut hingga
padam.
Menyikapi kekerasan dengan kekerasan
bukanlah jalan keluar, berdebat dengan orang-orang yang sengaja telah menutup
hatinya dari kebenaran juga bukan cara yang efektif. Oleh karena itu, cara
terbaik adalah dengan menunjukan kelembutan terhadap mereka yang melakukan
kekerasan, karena dengan kelembutan yang kita tunjukan merupakan ‘senjata
ampuh’ mengikis kekerasan itu sendiri. Orang-orang yang kebenciannya dibangun
oleh karena fitnah-fitnah keji, pasti hatinya memiliki celah untuk dapat
melihat nilai kebenaran dari seseorang yang bersikap lemah lembut. Hatinya
pasti luluh juga jika kita menunjukan kelembutan terhadap apa yang diperbuatnya,
dan ia pasti akan tersadar bahwa dia memusuhi orang yang salah.
Sebagaimana yang dicontohkan
Rasulullah ketika menyikapi para pembenci Islam, beliau justru mendoakannya
agar kelak para pembenci itu mempunyai keturunan yang menyembah Allah. Beliau
memilih untuk tidak membenci mereka, melainkan menunjukan sikap yang baik yaitu
mendoakan mereka dengan doa yang mulia. Maka
dari itu, cukup dengan menunjukan akhlak yang baik, tanpa harus
menggembor-gemborkan bahwa kita adalah orang baik atau ada di pihak yang benar,
yang justru akan menyulut emosinya. Akhlak yang baik dan sikap lemah lembut
senantiasa membawa angin perdamaian, sehingga bukan mustahil seseorang yang
membenci kita kelak akan berbalik menghargai kita. Setelah mereka bisa
menghargai kita, baru lah kita bisa melakukan dialog terbuka dengan mereka dan
itu merupakan kesempatan bagi kita untuk menjelaskan kepada mereka apa yang
tidak mereka ketahui dan meluruskan pandangan yang selama ini belok dari
kaidah-kaidah kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar