Senja
merona dengan jingganya yang menggoda. Termenung aku tanpa asa di pelataran
bumi ini, seakan jenuh dengan segalanya, dengan hidup yang begitu-begitu saja
dan dengan percintaan tanpa kebahagiaan. Segenggam asa tiba-tiba merasuki jiwa.
‘Malaikat Semalam’ itu telah mengalihkanku dari keputusasaan.
Konser
band favoritku All Time Low sudah dekat. Ini kesempatan keduaku menyaksikan
keempat Pemuda Baltimore itu secara live, yang sebelumnya
kulewatkan tiga tahun lalu. Kali ini harus nonton! Aku sangat antusias, bahkan
tiket nonton konser sudah kubeli tiga bulan sebelumnya. Selama tiga bulan pula
kucari teman nonton konser.
Bulan
pertama berlalu, bulan kedua terlewati, aku masih belum dapat teman nonton konser
nanti. Minggu ke minggu tak terasa semakin mendekati hari konser akan
berlangsung. Tepat sehari menjelang pelaksanaan konser, aku berkicau di
twitter.
“Siapa
pun yang mau nemenin gue nonton konser All Time Low besok, gue anter pulang
sampe rumah deh.”
Beberapa
menit kemudian, muncul balasan di tab mention ku
“Ok,
you got it!”
Begitulah
balasan dari akun twitter ‘Girl of Last Night’ user name yang unik itu. Kulihat avatar twitternya, kuperhatikan
dengan seksama, siapa wanita bermata
indah dengan gigi kelinci dan senyum manis yang langsung membuatku terpesona ini?
Tak
ingin membuang peluang, segera kutanggapi balasannya tadi. “Iya beneran. Oke kita
follow-followan dulu ya, supaya bisa
kirim nomor handphone di DM.”
Beberapa
saat kemudian, kita saling membalas pesan dengan guyonan-guyonan konyol yang
membuatku tergelak. Begitu saja kita langsung akrab, entah bagaimana kalau
bertemu nanti. Itulah kesan yang mengisi pikiranku.
“Nanti
gue pake dress putih ya.” katanya
dalam pesan singkat.
Imajinasi
ini meraksasa di angkasa, membayangkannya. Dengan cekatan, jemariku mengetik
balasan.
“Oke.
Nanti gue pake kaos item yang ada tulisan “No Regret”, ya!” jawabku responsif.
Rasa
penasaran ini menyulitkanku untuk memejamkan kedua mata. Khayalanku menembus
batas dengan imajinasi tingkat atas dan pikiran yang bebas.
***
Hari
itu pun tiba. Sedikit gugup kurasa, ini adalah pengalaman pertamaku janjian
dengan seseorang yang belum aku kenali, seseorang yang masih menjadi tanda
tanya dalam benak ini, akan menemaniku menghabiskan malam ini bersama-sama.
Kuhela nafas panjang, kulepaskan bersama rasa gelisah. Aku siap.
Tepat
arah jam 12 ku, nampak seorang wanita berparas cantik menawan hati, rambutnya
hitam-lurus-panjang, kulitnya putih lembut bagaikan susu, dengan body semampai yang aduhay, memakai dress putih
yang membalutnya hingga lutut, dengan high
heels putih menunjang kakinya yang jenjang sempurna.
Kuhela
lagi nafas panjang, kukeluarkan rasa grogi ditiap hembusannya. Ku berjalan
perlahan sambil mengumpulkan nyali untuk menemuinya yang nampak begitu indah.
Dalam
hati bergemuruh, “Ayodong, sapa gue!”. Gemas rasanya menyaksikan sikap kita
berdua yang sulit memulai. Aku memutar balik arah dan meneleponnya.
“Tuuut
tuuut...” bunyi nada tunggu berbarengan dengan dering handphone yang terdengar
dari arahnya. Ku berbalik badan dan tanpa ragu kugandeng tangannya.
“Ah,
ternyata bener loe orangnya.” Kataku tanpa banyak bicara, kugandeng dia.
Ia
tersenyum canggung. “Hehehe iya... sebenernya gue juga udah tau pas tadi loe
dateng, tapi gue nunggu inisiatif loe aja.”
“Hehehe
maaf ya, gue ragu. Takutnya salah orang, kan tengsin jadinya entar.” cengirku.
“Hahaha
yaudahlah, kita langsung ke dalam aja yuk! Konsernya bentar lagi mulai tuh.” ajaknya,
bersemangat.
“Okelah,
ayo!” kataku dengan respon yang tak kalah semangat. “Eh, tunggu-tunggu, semalam
gue lupa nanya nama loe!”
“Gue
Jessica, panggil aja Jeje.” jawabnya, dengan senyum teduh.
“Oke
Jeje. Loe udah tau nama gue kan?” tanyaku, memastikan.
“Iya,
Ricky, gue tau. Ayo cepetan nanti kita nggak dapet front row!” ajaknya dengan semangat yang menggebu.
Konser
dimulai. Hentakan drum dari Ryan Dawson memulai pertunjukan malam itu, disusul
dentuman bass oleh Zacherry Merrick dan lilitan melodi gitar dari Jack Barakat.
Kemudian Alex Gaskarth muncul di stage diiringi intro
dan teriakan para penonton “All Time Low! All Time Low! All Time Low!” menggema
hebat. Gelora teriakan itu dibalas oleh sapaan yang membakar semangat dari Alex
sang vokalis “Are you ready Jakarta??? We’re gonna party tonite!”
Lagu
pembuka mereka mainkan. Lost in Stereo. Lagu ‘keramat’ yang memang selalu
menjadi pembuka di tiap konser ATL. Aku dan Jessica perlahan larut dalam
nyanyian, sambil menari-nari tanpa sadar jemari ini saling merangkul dengan
lentik jemarinya. Tak peduli cucuran keringat yang terus mengalir deras
membasahi seluruh tubuh, kita terus bernyanyi dan menari dengan gairah yang tak
terkalahkan, membuat kita lupa akan rasa lelah. We were so young and
crazy.
“Gue
suka banget All Time Low, akhirnya gue punya kesempatan ini. Tuhan Maha Asik!”
ungkap Jessica, dengan raut kebahagiaan yang jelas nampak di wajahnya.
Aku
tergelak. “Hahaha... Maha Asik? Iya banget, Je.”
“Andai
aja tiga tahun lalu...”
“Are you ready for this one? The song called…
Somewhere in Neverland!!!” teriak Alex, memotong pembicaraan Jeje.
“Yeah,
finally! Gue bisa denger lagu favorit
ini live. It’s just awesome!” kataku kepada Jessica.
Ia
hanya tersenyum dengan tatapan mata berbinar.
Ketika
dua lagu slow berjudul Therapy dan Remembering Sunday dinyanyikan, ia
menggenggam tanganku erat lalu bersandar di bahu dan kita bernyanyi bersama. Kurasakan
telapak tangannya begitu dingin, lalu kueratkan genggaman untuk
menghangatkannya. Tak terasa konser malam itu hendak berakhir. Tapi kisahku dan
Jessica baru saja dimulai.
Perasaan
lelah tapi puas adalah kesimpulan paling pas untuk menggambarkan kita saat itu.
Setelah dua jam dimanjakan alunan musik yang ATL di malam yang luar biasa.
Penonton
lain mulai membubarkan diri, aku dan Jessica masih duduk kelelahan di depan
panggung dengan lampu-lampu yang mulai dimatikan. Kita saling tatap dan berbagi
senyum. Kuajak ia untuk bangkit dari duduknya dan pulang.
“Ini
malam yang paling keren dalam hidup gue... beruntung banget Tuhan mengizinkan
gue ketemu sama loe, Rick.” ungkapnya berbisik, dengan tempo nafas yang masih
belum stabil karena kelelahan.
“Iya
Je, gue juga nggak nyangka, keisengan gue di twitter bisa mempertemukan kita.
Hehehe.” sahutku, terkikih.
“Tuhan
memang baik ya, Rick... Selalu tahu bagaimana cara membahagiakan hamba-Nya.” ungkapnya,
matanya menatap langit berbintang malam itu.
Berjalan
kita menuju parkiran, kuraih bahu terjauhnya dan ia menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Oke
Je, sesuai janji gue kemarin, gue akan anter loe pulang sekarang.” kataku,
sembari memakai helm.
“Pulang?
Tapi gue masih betah disini.” jawabnya, kini matanya menatap sendu langit malam
itu.
Mukaku
mengerut. “Tapi Je, nanti kalau keluarga loe nyariin gimana? Ini udah larut
malem lho.”
Jessica
tersenyum penuh kepastian. “Tenang, mereka sudah ikhlas kok.”
“Maksudnya,
Je?” tanyaku, heran.
Tanyaku
hanya dibalasnya dengan senyuman yang tak kuketahui artinya. Raut wajahku
berubah heran. Ah sudahlah! Ku ajak saja dia ke sebuah kafe yang letaknya tak
jauh dari tempat konser untuk melanjutkan malam.
“Yaudah,
Je, kita ngopi-ngopi dulu deh, yuk!” ajakku, mengalihkan sikap.
“Gue
sih ikut aja, asal sama loe Rick.” cengirnya.
Malam
itu kita menuju sebuah kafe di bilangan Senayan. Lampu yang sengaja tidak
begitu terang, menghangatkan suasana malam yang mulai dijamah hujan rintik dari
langit. Dua cangkir Cappuccino kupesan untuk memanjakan indra pencap kita.
Di
kafe ini, kita membicarakan banyak hal. Tentang musik, tentang All Time Low,
tentang kehidupan, dan... tentang cinta.
“Mas,
cappuccino nya dua, ya!” pintaku pada pelayan.
Terheran
pelayan itu. “Kok dua, mas?”
“Iya,
dua!” tegasku.
“Hmm...
oke. Cappuccino dua. ada lagi?”
“Cukup.
Thanks.”
Pelayan
itu berjalan sambil sesekali menengok ke arahku. Caranya menatap itu seolah ada
yang salah denganku. Ah masa bodo!
“Itu
waiters kenapa nggak yakin yah kalau gue pesan dua?” gerutuku.
“Udahlah,
Rick.”
“Tapi
heran aja, Je... Dikira gue nggak mampu bayar kali ya. Hahaha.” tergelak aku,
menahan kesalku sendiri.
“Tampang
loe nggak meyakinkan kali, Rick. Hehehe.” tawanya, renyah.
“Hahaha
sial,” cengirku kesal. “Oh iya, rumah loe dimana, Je? Nanti gue anterin ya!”
“Gak
usah, Rick, gue pulang sendiri aja.” sambarnya.
“Gila
kali gue biarin cewek pulang malem sendirian.” terkekeh aku.
“Siang
atau malam bagi gue sama aja, Rick... Kecuali malam ini, teraaang banget.” ungkapnya
jumawah.
Terheran
aku. “Lho kok bisa?”
“Karena
ada loe, Rick.” terkikih Jessica.
“Ah,
loe Je, emangnya gue lampu taman.”
“Hahaha
bukan lah!” tergelak Jessica. “Eh, Rick, loe percaya nggak sama cinta pada
pandangan pertama?”
Sejenak
ku berpikir. “Percaya ajasih, Je. Cinta itu kan gak bisa ditebak.”
Jessica
tersenyum jahil. “Loe percaya nggak, Rick, kalau gue tahu loe sedang merasakan
itu?”
Alamak!
Sok tahu betul si Jessica ini. Ah, kujawab saja tebakannya itu tanpa
kemunafikan.
“Iya,
Je.” jawabku tersipu.
“Percaya
nggak, Rick, gue juga merasakan hal yang sama?”
Jebret!
Ah apa ini? Hatiku terpanah peri cinta kah? Racun asmara itu seketika menjalar
ke sekujur tubuh melalui darah yang mengalir dan menghidupkan denyut cinta yang
sudah lama tak kurasa.
Tak
kutanya kejelasan rasa itu, yang jelas itu kurasa. Tetapi, cinta adalah hal
yang terlalu rumit untuk didefinisikan, terlalu misterius untuk dimengerti,
cukuplah rasa nyaman dan bahagia yang jadi representasi. Kugenggam kedua
tangannya, kulihat mata yang indah itu memancarkan pesona dan bibir yang
mengguratkan senyuman bahagia.
“Udah
mau jam 12 nih, gue anter loe pulang, ya!” gelagatku panik.
“Nanti
ajadeh, gue masih pengin sama loe.” pintanya, mengeratkan genggaman.
“Hmm...
yaudah deh, oke.” jawabku kebingungan.
“Pulangnya
nanti aja, kita keliling-keliling kota dulu ya malam ini. Gue kangen sama
suasana kota ini, Rick.” ungkapnya, memohon.
“Okedeeeh.”
kataku, menuruti maunya.
Hujan
mulai reda, kupacu motor ini tidak terlalu cepat, tidak juga terlalu lamban.
Cahaya lampu kota menjadi saksi, dua hati menyatu tanpa deklarasi. Atas nama
cinta yang datang begitu cepat, kita adalah alasan mengapa malam tak melulu
kelam.
Tak
hentinya kita bercanda di tengah jalanan ibu kota yang lengang itu. Sesekali ku
lontarkan lelucon dan rayuan gombal kepadanya.
“Thanks
ya, Rick... gue bahagia banget malam ini.” ungkapnya, memelukku erat di atas
motor yang sedang kukendarai.
“It’s
okay Je, gue juga merasakan hal yang sama dengan yang loe rasakan.” jawabku,
pasti.
Jessica
mempererat pelukannya.
“Eh
Je, loe tau nggak perbedaan loe sama lagu ke tiga yang tadi ATL bawain?”
Jessica
kebingungan. “Hmm… Nggak tau, emang apa?”
“Kalau
lagu ke tiga ATL tadi I Feel Like Dancin’, kalau loe, I Feel Like Lovin’.
Hahaha.” tuturku, tertawa jahil.
“Love
you too...” jawabnya dengan suara lembut,
Suara
itu menembus telingaku menuju syaraf-syaraf yang terhubung dengan gejolak
cinta. Sontak aku bergelagat aneh dan salah tingkah.
“Ah,
eng... emm... Je, kita berhenti disini ya.”
“Hm,
boleh.” jawabnya mengangguk.
Petualangan
malam itu terhenti di sebuah taman kota. Tidak terlalu ramai, hanya ada
lampu-lampu taman yang menerangi dan beberapa pasangan yang juga sedang memadu
kasih. Berjalan kita ke arah bangku taman dengan sebuah gitar yang tergeletak
seakan melambaikan tangannya dan berharap untuk dimainkan. Tanpa ragu kuraih
gitar itu lalu kumainkan lagu demi lagu bersamanya, melewati malam, menunggu
pagi.
Kita
menyanyikan lagu dari We The Kings yang berjudul We’ll Be A Dream. Kita larut
dalam sunyinya malam yang beberapa jam lagi berakhir, dengan lagu-lagu slow yang ia nyanyikan meninabobokan ku,
hingga ku tertidur memeluk gitar di bangku taman berwarna putih ini.
***
Pagi
hari datang dan aku terbangun sendiri, Jessica sudah tak ada di sampingku.
Kucari ia ke tiap penjuru taman, tapi nihil. Panik!
Kucoba
menghubunginya... “Maaf, nomor yang anda tuju belum terdaftar.” Tercengang aku
menatap handphone. Bagaimana mungkin? Terheran aku.
Kucoba
menghubunginya lagi, tapi jawaban dari operator tetap sama.
Ah
aku ingat! kemarin kita berbalas mention
di twitter, kucari saja dia di twitter. Tab
mention kubuka, namun tak ada satu pun mention
darinya. Apa dia memblokir twitter-ku? Ah tidak mungkin.
Kucoba
mengetik nama akunnya di pencarian dan kutemukan ia itu dengan user name ‘Girl of Last Night’. Belum
kubuka akunnya, kulihat beberapa twit ucapan belasungkawa dari orang-orang untuknya.
Aku terenyuh dengan jutaan tanda tanya di kepala.
“Istirahat
yang tenang yah Je kamu disana. We miss you so bad.”
“RIP
Jessica Angela, semoga kamu tenang di alam sana.”
“Selamat
jalan Jessica Angela. Doa Hustler se-Indonesia mengiringimu.”
Terbelalak
kulihat twit-twit yang ternyata sudah berlalu dua tahun itu. Dengan hati yang
masih terguncang, kutelusuri lebih lanjut. Sebuah jawaban siapa Jessica
sebenarnya kudapat, setelah kulihat salah satu twit dari Alex Gaskarth, vokalis
All Time Low.
“We
were dedicated this night to Jessica, who has gone three years ago. RIP”
Kujelajahi
google untuk mencari tahu tentang Jessica. Speechless.
Itulah yang kurasakan saat membaca sebuah artikel. Jessica adalah seorang Hustler (sebutan untuk fans All Time
Low) yang meninggal tiga tahun lalu dalam sebuah kecelakaan mobil ketika akan
menyaksikan konser All Time Low.
Jutaan
tanda tanya mengepung pikiran. Teringat ku dengan tangan yang terasa dingin
itu, dengan kata “mereka sudah ikhlas” yang terucap dari bibirnya yang gemetar
saat mengatakan itu dan dengan rasa rindunya akan kota ini, seakan dia telah
lama pergi dari sini.
Tak
kusesali yang terjadi, kalau pun ini hanya sebatas mimpi. Senyum itu masih
kurasakan hangat, tatapan dari mata indahnya itu juga masih jelas kuingat.
Diantara
kicau burung yang dikalahkan bisingnya suara kendaraan yang mulai lalu lalang,
aku hanya bisa meratapi dengan ratapan sedih dalam bahagia. Segera kubangkit
dari bangku ini, tak ada yang bisa mengingatkanku padanya selain ingatan
tentang kenangan indah yang kita lalui semalam. Seindah apa pun dirinya, aku
harus bisa merelakan, karena dunia kita memang sudah tidak sama. Cinta memang
aneh, kekuatannya mampu mempersatukan dua jiwa yang telah berbeda dunia, walau
hanya dalam semalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar