Senin, 02 Juni 2014

The Girl Of Last Night



       Senja merona dengan jingganya yang menggoda. Termenung aku tanpa asa di pelataran bumi ini, seakan jenuh dengan segalanya, dengan hidup yang begitu-begitu saja dan dengan percintaan tanpa kebahagiaan. Segenggam asa tiba-tiba merasuki jiwa. ‘Malaikat Semalam’ itu telah mengalihkanku dari keputusasaan.
       Konser band favoritku All Time Low sudah dekat. Ini kesempatan keduaku menyaksikan keempat Pemuda Baltimore itu secara live, yang sebelumnya kulewatkan tiga tahun lalu. Kali ini harus nonton! Aku sangat antusias, bahkan tiket nonton konser sudah kubeli tiga bulan sebelumnya. Selama tiga bulan pula kucari teman nonton konser.
      Bulan pertama berlalu, bulan kedua terlewati, aku masih belum dapat teman nonton konser nanti. Minggu ke minggu tak terasa semakin mendekati hari konser akan berlangsung. Tepat sehari menjelang pelaksanaan konser, aku berkicau di twitter.
       “Siapa pun yang mau nemenin gue nonton konser All Time Low besok, gue anter pulang sampe rumah deh.”
        Beberapa menit kemudian, muncul balasan di tab mention ku
        “Ok, you got it!”
      Begitulah balasan dari akun twitter ‘Girl of Last Night’ user name yang unik itu. Kulihat avatar twitternya, kuperhatikan dengan seksama, siapa wanita bermata indah dengan gigi kelinci dan senyum manis yang langsung membuatku terpesona ini?
       Tak ingin membuang peluang, segera kutanggapi balasannya tadi. “Iya beneran. Oke kita follow-followan dulu ya, supaya bisa kirim nomor handphone di DM.”
      Beberapa saat kemudian, kita saling membalas pesan dengan guyonan-guyonan konyol yang membuatku tergelak. Begitu saja kita langsung akrab, entah bagaimana kalau bertemu nanti. Itulah kesan yang mengisi pikiranku.              
       “Nanti gue pake dress putih ya.” katanya dalam pesan singkat.
    Imajinasi ini meraksasa di angkasa, membayangkannya. Dengan cekatan, jemariku mengetik balasan.
       “Oke. Nanti gue pake kaos item yang ada tulisan “No Regret”, ya!” jawabku responsif.
    Rasa penasaran ini menyulitkanku untuk memejamkan kedua mata. Khayalanku menembus batas dengan imajinasi tingkat atas dan pikiran yang bebas.

***

       Hari itu pun tiba. Sedikit gugup kurasa, ini adalah pengalaman pertamaku janjian dengan seseorang yang belum aku kenali, seseorang yang masih menjadi tanda tanya dalam benak ini, akan menemaniku menghabiskan malam ini bersama-sama. Kuhela nafas panjang, kulepaskan bersama rasa gelisah. Aku siap.
      Tepat arah jam 12 ku, nampak seorang wanita berparas cantik menawan hati, rambutnya hitam-lurus-panjang, kulitnya putih lembut bagaikan susu, dengan body semampai yang aduhay, memakai dress putih yang membalutnya hingga lutut, dengan high heels putih menunjang kakinya yang jenjang sempurna.
         Kuhela lagi nafas panjang, kukeluarkan rasa grogi ditiap hembusannya. Ku berjalan perlahan sambil mengumpulkan nyali untuk menemuinya yang nampak begitu indah.
         Dalam hati bergemuruh, “Ayodong, sapa gue!”. Gemas rasanya menyaksikan sikap kita berdua yang sulit memulai. Aku memutar balik arah dan meneleponnya.
      “Tuuut tuuut...” bunyi nada tunggu berbarengan dengan dering handphone yang terdengar dari arahnya. Ku berbalik badan dan tanpa ragu kugandeng tangannya.
           “Ah, ternyata bener loe orangnya.” Kataku tanpa banyak bicara, kugandeng dia.
         Ia tersenyum canggung. “Hehehe iya... sebenernya gue juga udah tau pas tadi loe dateng, tapi gue nunggu inisiatif loe aja.”
       “Hehehe maaf ya, gue ragu. Takutnya salah orang, kan tengsin jadinya entar.” cengirku.
         “Hahaha yaudahlah, kita langsung ke dalam aja yuk! Konsernya bentar lagi mulai tuh.” ajaknya, bersemangat.
           “Okelah, ayo!” kataku dengan respon yang tak kalah semangat. “Eh, tunggu-tunggu, semalam gue lupa nanya nama loe!”
         “Gue Jessica, panggil aja Jeje.” jawabnya, dengan senyum teduh.
         “Oke Jeje. Loe udah tau nama gue kan?” tanyaku, memastikan.
         “Iya, Ricky, gue tau. Ayo cepetan nanti kita nggak dapet front row!” ajaknya dengan semangat yang menggebu.
       Konser dimulai. Hentakan drum dari Ryan Dawson memulai pertunjukan malam itu, disusul dentuman bass oleh Zacherry Merrick dan lilitan melodi gitar dari Jack Barakat. Kemudian Alex  Gaskarth muncul di stage diiringi intro dan teriakan para penonton “All Time Low! All Time Low! All Time Low!” menggema hebat. Gelora teriakan itu dibalas oleh sapaan yang membakar semangat dari Alex sang vokalis “Are you ready Jakarta??? We’re gonna party tonite!” 
        Lagu pembuka mereka mainkan. Lost in Stereo. Lagu ‘keramat’ yang memang selalu menjadi pembuka di tiap konser ATL. Aku dan Jessica perlahan larut dalam nyanyian, sambil menari-nari tanpa sadar jemari ini saling merangkul dengan lentik jemarinya. Tak peduli cucuran keringat yang terus mengalir deras membasahi seluruh tubuh, kita terus bernyanyi dan menari dengan gairah yang tak terkalahkan, membuat kita lupa akan rasa lelah. We were so young and crazy.
       “Gue suka banget All Time Low, akhirnya gue punya kesempatan ini. Tuhan Maha Asik!” ungkap Jessica, dengan raut kebahagiaan yang jelas nampak di wajahnya.
          Aku tergelak. “Hahaha... Maha Asik? Iya banget, Je.”
          “Andai aja tiga tahun lalu...”
         “Are you ready for this one? The song called… Somewhere in Neverland!!!” teriak Alex, memotong pembicaraan Jeje.
      “Yeah, finally! Gue bisa denger lagu favorit ini live. It’s just awesome!” kataku kepada Jessica.
          Ia hanya tersenyum dengan tatapan mata berbinar.
      Ketika dua lagu slow berjudul Therapy dan Remembering Sunday dinyanyikan, ia menggenggam tanganku erat lalu bersandar di bahu dan kita bernyanyi bersama. Kurasakan telapak tangannya begitu dingin, lalu kueratkan genggaman untuk menghangatkannya. Tak terasa konser malam itu hendak berakhir. Tapi kisahku dan Jessica baru saja dimulai.
         Perasaan lelah tapi puas adalah kesimpulan paling pas untuk menggambarkan kita saat itu. Setelah dua jam dimanjakan alunan musik yang ATL di malam yang luar biasa.
      Penonton lain mulai membubarkan diri, aku dan Jessica masih duduk kelelahan di depan panggung dengan lampu-lampu yang mulai dimatikan. Kita saling tatap dan berbagi senyum. Kuajak ia untuk bangkit dari duduknya dan pulang.
        “Ini malam yang paling keren dalam hidup gue... beruntung banget Tuhan mengizinkan gue ketemu sama loe, Rick.” ungkapnya berbisik, dengan tempo nafas yang masih belum stabil karena kelelahan.
         “Iya Je, gue juga nggak nyangka, keisengan gue di twitter bisa mempertemukan kita. Hehehe.” sahutku, terkikih.
         “Tuhan memang baik ya, Rick... Selalu tahu bagaimana cara membahagiakan hamba-Nya.” ungkapnya, matanya menatap langit berbintang malam itu.
       Berjalan kita menuju parkiran, kuraih bahu terjauhnya dan ia menyandarkan kepalanya di bahuku. 
      “Oke Je, sesuai janji gue kemarin, gue akan anter loe pulang sekarang.” kataku, sembari memakai helm.   
          “Pulang? Tapi gue masih betah disini.” jawabnya, kini matanya menatap sendu langit malam itu.
        Mukaku mengerut. “Tapi Je, nanti kalau keluarga loe nyariin gimana? Ini udah larut malem lho.”
          Jessica tersenyum penuh kepastian. “Tenang, mereka sudah ikhlas kok.”
          “Maksudnya, Je?” tanyaku, heran.
         Tanyaku hanya dibalasnya dengan senyuman yang tak kuketahui artinya. Raut wajahku berubah heran. Ah sudahlah! Ku ajak saja dia ke sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari tempat konser untuk melanjutkan malam.
         “Yaudah, Je, kita ngopi-ngopi dulu deh, yuk!” ajakku, mengalihkan sikap.
         “Gue sih ikut aja, asal sama loe Rick.” cengirnya.
       Malam itu kita menuju sebuah kafe di bilangan Senayan. Lampu yang sengaja tidak begitu terang, menghangatkan suasana malam yang mulai dijamah hujan rintik dari langit. Dua cangkir Cappuccino kupesan untuk memanjakan indra pencap kita.
       Di kafe ini, kita membicarakan banyak hal. Tentang musik, tentang All Time Low, tentang kehidupan, dan... tentang cinta.
          “Mas, cappuccino nya dua, ya!” pintaku pada pelayan.
          Terheran pelayan itu. “Kok dua, mas?”
          “Iya, dua!” tegasku.
          “Hmm... oke. Cappuccino dua. ada lagi?”
          “Cukup. Thanks.”
        Pelayan itu berjalan sambil sesekali menengok ke arahku. Caranya menatap itu seolah ada yang salah denganku. Ah masa bodo!
          “Itu waiters kenapa nggak yakin yah kalau gue pesan dua?” gerutuku.
          “Udahlah, Rick.”
         “Tapi heran aja, Je... Dikira gue nggak mampu bayar kali ya. Hahaha.” tergelak aku, menahan kesalku sendiri.
          “Tampang loe nggak meyakinkan kali, Rick. Hehehe.” tawanya, renyah.
         “Hahaha sial,” cengirku kesal. “Oh iya, rumah loe dimana, Je? Nanti gue anterin ya!”
          “Gak usah, Rick, gue pulang sendiri aja.” sambarnya.
          “Gila kali gue biarin cewek pulang malem sendirian.” terkekeh aku.
         “Siang atau malam bagi gue sama aja, Rick... Kecuali malam ini, teraaang banget.” ungkapnya jumawah.
         Terheran aku. “Lho kok bisa?”
         “Karena ada loe, Rick.” terkikih Jessica.
         “Ah, loe Je, emangnya gue lampu taman.”
        “Hahaha bukan lah!” tergelak Jessica. “Eh, Rick, loe percaya nggak sama cinta pada pandangan pertama?”
         Sejenak ku berpikir. “Percaya ajasih, Je. Cinta itu kan gak bisa ditebak.”
    Jessica tersenyum jahil. “Loe percaya nggak, Rick, kalau gue tahu loe sedang merasakan itu?”
    Alamak! Sok tahu betul si Jessica ini. Ah, kujawab saja tebakannya itu tanpa kemunafikan.
        “Iya, Je.” jawabku tersipu.
        “Percaya nggak, Rick, gue juga merasakan hal yang sama?”
       Jebret! Ah apa ini? Hatiku terpanah peri cinta kah? Racun asmara itu seketika menjalar ke sekujur tubuh melalui darah yang mengalir dan menghidupkan denyut cinta yang sudah lama tak kurasa.
     Tak kutanya kejelasan rasa itu, yang jelas itu kurasa. Tetapi, cinta adalah hal yang terlalu rumit untuk didefinisikan, terlalu misterius untuk dimengerti, cukuplah rasa nyaman dan bahagia yang jadi representasi. Kugenggam kedua tangannya, kulihat mata yang indah itu memancarkan pesona dan bibir yang mengguratkan senyuman bahagia.
         “Udah mau jam 12 nih, gue anter loe pulang, ya!” gelagatku panik.
         “Nanti ajadeh, gue masih pengin sama loe.” pintanya, mengeratkan genggaman.
         “Hmm... yaudah deh, oke.” jawabku kebingungan.
       “Pulangnya nanti aja, kita keliling-keliling kota dulu ya malam ini. Gue kangen sama suasana kota ini, Rick.” ungkapnya, memohon.
         “Okedeeeh.” kataku, menuruti maunya.
      Hujan mulai reda, kupacu motor ini tidak terlalu cepat, tidak juga terlalu lamban. Cahaya lampu kota menjadi saksi, dua hati menyatu tanpa deklarasi. Atas nama cinta yang datang begitu cepat, kita adalah alasan mengapa malam tak melulu kelam.
       Tak hentinya kita bercanda di tengah jalanan ibu kota yang lengang itu. Sesekali ku lontarkan lelucon dan rayuan gombal kepadanya.
       “Thanks ya, Rick... gue bahagia banget malam ini.” ungkapnya, memelukku erat di atas motor yang sedang kukendarai.
         “It’s okay Je, gue juga merasakan hal yang sama dengan yang loe rasakan.” jawabku, pasti.
         Jessica mempererat pelukannya.
         “Eh Je, loe tau nggak perbedaan loe sama lagu ke tiga yang tadi ATL bawain?”
         Jessica kebingungan. “Hmm… Nggak tau, emang apa?”
       “Kalau lagu ke tiga ATL tadi I Feel Like Dancin’, kalau loe, I Feel Like Lovin’. Hahaha.” tuturku, tertawa jahil.
           “Love you too...” jawabnya dengan suara lembut,
         Suara itu menembus telingaku menuju syaraf-syaraf yang terhubung dengan gejolak cinta. Sontak aku bergelagat aneh dan salah tingkah.
          “Ah, eng... emm... Je, kita berhenti disini ya.”
          “Hm, boleh.” jawabnya mengangguk.
         Petualangan malam itu terhenti di sebuah taman kota. Tidak terlalu ramai, hanya ada lampu-lampu taman yang menerangi dan beberapa pasangan yang juga sedang memadu kasih. Berjalan kita ke arah bangku taman dengan sebuah gitar yang tergeletak seakan melambaikan tangannya dan berharap untuk dimainkan. Tanpa ragu kuraih gitar itu lalu kumainkan lagu demi lagu bersamanya, melewati malam, menunggu pagi.
         Kita menyanyikan lagu dari We The Kings yang berjudul We’ll Be A Dream. Kita larut dalam sunyinya malam yang beberapa jam lagi berakhir, dengan lagu-lagu slow yang ia nyanyikan meninabobokan ku, hingga ku tertidur memeluk gitar di bangku taman berwarna putih ini.

***

       Pagi hari datang dan aku terbangun sendiri, Jessica sudah tak ada di sampingku. Kucari ia ke tiap penjuru taman, tapi nihil. Panik!
       Kucoba menghubunginya... “Maaf, nomor yang anda tuju belum terdaftar.” Tercengang aku menatap handphone. Bagaimana mungkin? Terheran aku.
       Kucoba menghubunginya lagi, tapi jawaban dari operator tetap sama.
       Ah aku ingat! kemarin kita berbalas mention di twitter, kucari saja dia di twitter. Tab mention kubuka, namun tak ada satu pun mention darinya. Apa dia memblokir twitter-ku? Ah tidak mungkin.
        Kucoba mengetik nama akunnya di pencarian dan kutemukan ia itu dengan user name ‘Girl of Last Night’. Belum kubuka akunnya, kulihat beberapa twit ucapan belasungkawa dari orang-orang untuknya. Aku terenyuh dengan jutaan tanda tanya di kepala.
        “Istirahat yang tenang yah Je kamu disana. We miss you so bad.”
        “RIP Jessica Angela, semoga kamu tenang di alam sana.”
        “Selamat jalan Jessica Angela. Doa Hustler se-Indonesia mengiringimu.”
      Terbelalak kulihat twit-twit yang ternyata sudah berlalu dua tahun itu. Dengan hati yang masih terguncang, kutelusuri lebih lanjut. Sebuah jawaban siapa Jessica sebenarnya kudapat, setelah kulihat salah satu twit dari Alex Gaskarth, vokalis All Time Low.
        “We were dedicated this night to Jessica, who has gone three years ago. RIP”
     Kujelajahi google untuk mencari tahu tentang Jessica. Speechless. Itulah yang kurasakan saat membaca sebuah artikel. Jessica adalah seorang Hustler (sebutan untuk fans All Time Low) yang meninggal tiga tahun lalu dalam sebuah kecelakaan mobil ketika akan menyaksikan konser All Time Low.
      Jutaan tanda tanya mengepung pikiran. Teringat ku dengan tangan yang terasa dingin itu, dengan kata “mereka sudah ikhlas” yang terucap dari bibirnya yang gemetar saat mengatakan itu dan dengan rasa rindunya akan kota ini, seakan dia telah lama pergi dari sini.
    Tak kusesali yang terjadi, kalau pun ini hanya sebatas mimpi. Senyum itu masih kurasakan hangat, tatapan dari mata indahnya itu juga masih jelas kuingat.

       Diantara kicau burung yang dikalahkan bisingnya suara kendaraan yang mulai lalu lalang, aku hanya bisa meratapi dengan ratapan sedih dalam bahagia. Segera kubangkit dari bangku ini, tak ada yang bisa mengingatkanku padanya selain ingatan tentang kenangan indah yang kita lalui semalam. Seindah apa pun dirinya, aku harus bisa merelakan, karena dunia kita memang sudah tidak sama. Cinta memang aneh, kekuatannya mampu mempersatukan dua jiwa yang telah berbeda dunia, walau hanya dalam semalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar