Rabu, 13 Agustus 2014

Ironi di Tengah Bencana Banjir (Banjir Jakarta 2013)

Beberapa hari yang lalu, saya ikut turun ke lokasi bencana banjir bersama beberapa relawan, kami sampai di lokasi sekitar pukul sembilan malam, setelah sebelumnya kami mengangkut logistik yang menumpuk di salah satu posko banjir yang berada di kawasan Kampung Melayu, untuk didistribusikan ke kawasan banjir yang ada di Pluit.
            Sesampainya di lokasi, terlihat lumpur-lumpur yang terbawa air di bahu-bahu jalan, dan genangan air yang masih  terdapat di jalan raya. Warga yang sebagian besar menjadi korban bencana banjir di daerah Penjaringan, Pluit, Jakarta Utara ini, menempati pengungsian yang tersebar diberbagai titik. Namun, masih banyak dari mereka yang memilih untuk tetap bertahan di rumah, karena rumah mereka memiliki dua lantai, sehingga bisa dimanfaatkan untuk tinggal daripada memilih untuk tinggal dipengusian.
            Sekitar pukul  sebelas malam, saya pun diajak untuk memasuki daerah yang menjadi target untuk penyerahan logistik. Kami jalan perlahan bersama salah seorang warga yang juga merupakan korban banjir di daerah tersebut.  Awalnya, jalan yang kami tempuh dengan berjalan kaki itu tergenang hanya sebatas mata kaki, tetapi ketika semakin memasuki daerah di mana air menggenangi sampai setinggi paha. Melihat genangan air yang keruh dan dipenuhi sampah, saya sempat berpikir pesimistis, bagaimana bisa ini akan surut, selain karena padatnya pemukiman, daerah resapan air juga sangat minim.
            Ketika kami sampai di lokasi inti, warga menyambut dengan keramahan. Setelah mendengar keluh kesah mereka tentang bencana banjir serta penanggulangannya, saya agak miris, karena terjadi beberapa penyimpangan dalam pendistribusian bantuan atau logistik. Mulai dari ‘hilangnya’ jatah, prosedur yang berbelit untuk mendapatkan bantuan, hingga ketidakmerataan pembagian logistik. Sebagian besar bantuan yang dikirim ke posko yang berada di daerah tersebut, sebelum diterima warga, harus melalui RT atau RW. Mungkin tujuan baik supaya tidak terjadi kericuhan, karena jika warga mengambil sendiri bantuan tersebut, dikhawatirkan chaos. Namun, hal yang tidak semestinya terjadi adalah kesalahpahaman yang terjadi antara warga dengan RT maupun RW tersebut, di mana salah seorang warga menuturkan kalau mereka seperti dipersulit untuk mendapatkannya hingga untuk mendapatkan bantuan tersebut mereka harus menyertakan lampiran tertentu, sehingga terkesan berbelit-belit. Selain itu, keberadaan TNI yang ditugaskan membantu para korban bencana juga masih sangat dirasakan kurang, bahkan mereka hanya menjadi bahan cibiran warga karena warga merasa kesal, kurang diperhatikan, karena mereka hanya berjaga di daerah-daerah tertentu.
            Karena alasan tersebutlah, bantuan logistik yang kami bawa sengaja tidak didistribusikan melalui RT ataupun RW, melainkan langsung memberikannya ke warga yang cenderung ‘terisolir’ dari bantuan yang dibawakan TNI ataupun RT dan RW. Selain lebih efektif dan efisien, juga langsung mengenai sasaran. Terlebih lagi, warga juga menuturkan bahwa banyak dari mereka yang tidak kebagian jatah bantuan, karena adanya orang-orang tertentu yang padahal secara ekonomi mampu, namun ‘berpura-pura miskin’ demi mendapatkan bantuan. Tentu ini menjadi ironis tersendiri di tengah bencana yang seharusnya menyadarkan bahwa bencana tersebut adalah bencana bersama, seharusnya mereka lebih memiliki solidaritas sesama korban, bukannya memanfaatkan keadaan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.

            Ini juga menjadi kritik tersendiri untuk tulisan saya sebelumnya yang mengatakan bahwa dengan bencana banjir ini, sekat sosial seakan dijebol. Tetapi yang terjadi sebenarnya justru munculnya sentimen dan sikap saling curiga, dikarenakan adanya ketidakmerataan dan ketidaktransparansian tersebut. sebuah ironi memang, bencana yang terjadi seharusnya dijadikan bahan untuk refleksi setiap orang bahwa bencana tersebut merupakan sebuah teguran alam terhadap prilaku manusia. Dan seharusnya, ditengah kejadian bencana ini, kita lebih bisa bahu-membahu saling membantu sebagaimana kewajiban manusia sebagai makhluk sosial, bukannya malah memanfaatkan keadaan untuk keuntungan semata atau bahkan menyalahgunakan bantuan yang ditujukan kepada yang seharusnya membutuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar