Rabu, 13 Agustus 2014

Banjir Menerjang Sekat Sosial (Banjir Jakarta 2013)

Awal tahun 2013 menjadi sebuah peringatan tersendiri bagi bangsa ini. Bagaimana tidak? Januari baru menghabiskan setengah bulannya, akan tetapi bencana banjir yang begitu dahsyat meluluhlantahkan sebagian besar wilayah bumi pertiwi. Bahkan, Jakarta sebagai ibu kota, adalah daerah yang paling parah terkena dampaknya.
            Indonesia memang sedang memasuki musim penghujan, sehingga curah hujan di berbagai daerah sangat tinggi dan merata,  meluapnya sungai-sungai,  tanggul-tanggul yang jebol, serta anomali cuaca juga turut memperburuk keadaan. Kita tentunya tidak bijak jika hanya mempermasalahkan dan menyalahkan alam, justru seharusnya kita harus berpikir dan mengevaluasi diri atas apa yang terjadi, tidak hanya melakukan debat kusir dan saling melepas tanggung jawab dikarenakan adanya kewenangan tertentu, tapi kesadaran untuk menolong sesama lah yang seharusnya dijadikan landasan bertindak.
            Begitu luar biasanya banjir ini sehingga melumpuhkan berbagai aktifitas kehidupan, terutama di Ibu Kota, pusat-pusat kegiatan ekonomi dan bisnis juga tak luput dari sasaran banjir. Ini dikarenakan jalan yang merupakan akses utama kegitan tersebut tergenang air, dan mengakibatkan arus lalu lintas terganggu, sehingga perkantoran sepi dari aktifitas.
            Apabila kita renungkan, bencana banjir ini tentu bukan hanya disebabkan faktor alam, tapi karena adanya kontribusi dari manusia yang bersikap semena-mena terhadap alam, dengan membuang sampah sembarangan ke sungai, pengalihan fungsi lahan yang brutal, serta tidak memperhatikan kelestarian alam dalam jangka panjang, sehingga alam seperti ‘mengamuk” dan melakukan pemberontakan. Ini merupakan imbas bagi manusia karena ulahnya terhadap alam.
            Jika kita melihat dampak negatif dari bencana banjir ini memang tidak akan ada habisnya. Kerusakan sarana dan prasarana penunjang kehidupan, terganggunya lalu lintas, serta lumpuhnya aktifitas ekonomi dan bisnis adalah dampak yang sangat dirasakan oleh para korban. Akan tetapi, coba kita lihat, adanya bencana banjir yang tak pandang bulu ini justru seolah-olah membuka sekat-sekat sosial yang selama ini mengkhotomi masyarakat Ibu Kota. Setidaknya, jika diperhatikan, bencana banjir ini menerjang tanpa memandang apakah itu pemukiman kumuh maupun mewah, bahkan istana kepresidenan pun ‘dipaksa’ untuk sama-sama merasakan  efek dari banjir ini. Secara sosial, bencana banjir ini membuat sekat-sekat sosial itu terbuka, baik itu si miskin maupun si kaya, selain sama-sama menjadi korban, mereka juga larut dalam kegiatan yang bertujuan membantu satu sama lain, mereka juga lebih membaur dengan bersama-sama di tempat pengungsian, dengan jatah makan dan fasilitas yang sama. Dalam kondisi seperti ini, semua sekat yang seakan membatasi, terhancurkan oleh terjangan banjir ini. Selain itu, kesigapan para relawan baik itu tim SAR maupun warga yang sengaja datang dengan niat ingin membantu, memperlihatkan bahwa solidaritas kemanusiaan bangsa ini sebenarnya masih sangat besar, terlepas dari perilaku keseharian yang cenderung individualis, ternyata optimisme bangsa ini terhadap solidaritas sosial masih begitu signifikan.
            Sepertinya, jika kita berpikir positif tentang bencana banjir ini, mungkin ada benarnya kalau banjir ini memang diperuntukkan menerjang dan menjebol tanggul-tanggul sosial pemisah antara kaum miskin kota dengan para borjuis urban, khususnya yang ada di Ibu Kota. Karena selama ini begitu curamnya jurang pemisah antara keduanya ini, dengan banjir ini merupakan sebuah teguran untuk lebih peduli satu sama lain, dan menghilangkan pandangan-pandangan sinis antarsesama.  Bagaimana banjir ini menunjukkan bahwa keduanya adalah semuanya sama ketika menjadi korban, karena pada hakekatnya adalah sama yaitu sebagai manusia, penghuni sementara di bumi. Selain itu, bencana banjir ini juga seolah menunjukkan kepada manusia bahwa alam bisa seketika marah dan menjadi malapetaka bagi manusia, yang bersikap semena-mena terhadapnya.

            Ini merupakan teguran agar manusia lebih peduli lagi terhadap bumi yang semakin tua ini. Semoga setelah ini semua, ada perbaikan dari setiap individu untuk dapat hidup lebih selaras dengan alam, dan yang terpenting adalah sekat-sekat sosial yang seperti terbuka ini, tidak kembali menutup dan rasa solidaritas tetap terjaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar