Awal
tahun 2013 menjadi sebuah peringatan tersendiri bagi bangsa ini. Bagaimana
tidak? Januari baru menghabiskan setengah bulannya, akan tetapi bencana banjir yang
begitu dahsyat meluluhlantahkan sebagian besar wilayah bumi pertiwi. Bahkan,
Jakarta sebagai ibu kota, adalah daerah yang paling parah terkena dampaknya.
Indonesia memang sedang memasuki
musim penghujan, sehingga curah hujan di berbagai daerah sangat tinggi dan
merata, meluapnya sungai-sungai, tanggul-tanggul yang jebol, serta anomali
cuaca juga turut memperburuk keadaan. Kita tentunya tidak bijak jika hanya
mempermasalahkan dan menyalahkan alam, justru seharusnya kita harus berpikir
dan mengevaluasi diri atas apa yang terjadi, tidak hanya melakukan debat kusir
dan saling melepas tanggung jawab dikarenakan adanya kewenangan tertentu, tapi
kesadaran untuk menolong sesama lah yang seharusnya dijadikan landasan
bertindak.
Begitu luar biasanya banjir ini
sehingga melumpuhkan berbagai aktifitas kehidupan, terutama di Ibu Kota,
pusat-pusat kegiatan ekonomi dan bisnis juga tak luput dari sasaran banjir. Ini
dikarenakan jalan yang merupakan akses utama kegitan tersebut tergenang air,
dan mengakibatkan arus lalu lintas terganggu, sehingga perkantoran sepi dari
aktifitas.
Apabila kita renungkan, bencana
banjir ini tentu bukan hanya disebabkan faktor alam, tapi karena adanya
kontribusi dari manusia yang bersikap semena-mena terhadap alam, dengan
membuang sampah sembarangan ke sungai, pengalihan fungsi lahan yang brutal, serta
tidak memperhatikan kelestarian alam dalam jangka panjang, sehingga alam
seperti ‘mengamuk” dan melakukan pemberontakan. Ini merupakan imbas bagi
manusia karena ulahnya terhadap alam.
Jika kita melihat dampak negatif
dari bencana banjir ini memang tidak akan ada habisnya. Kerusakan sarana dan
prasarana penunjang kehidupan, terganggunya lalu lintas, serta lumpuhnya
aktifitas ekonomi dan bisnis adalah dampak yang sangat dirasakan oleh para
korban. Akan tetapi, coba kita lihat, adanya bencana banjir yang tak pandang
bulu ini justru seolah-olah membuka sekat-sekat sosial yang selama ini
mengkhotomi masyarakat Ibu Kota. Setidaknya, jika diperhatikan, bencana banjir
ini menerjang tanpa memandang apakah itu pemukiman kumuh maupun mewah, bahkan
istana kepresidenan pun ‘dipaksa’ untuk sama-sama merasakan efek dari banjir ini. Secara sosial, bencana
banjir ini membuat sekat-sekat sosial itu terbuka, baik itu si miskin maupun si
kaya, selain sama-sama menjadi korban, mereka juga larut dalam kegiatan yang
bertujuan membantu satu sama lain, mereka juga lebih membaur dengan
bersama-sama di tempat pengungsian, dengan jatah makan dan fasilitas yang sama.
Dalam kondisi seperti ini, semua sekat yang seakan membatasi, terhancurkan oleh
terjangan banjir ini. Selain itu, kesigapan para relawan baik itu tim SAR
maupun warga yang sengaja datang dengan niat ingin membantu, memperlihatkan
bahwa solidaritas kemanusiaan bangsa ini sebenarnya masih sangat besar, terlepas
dari perilaku keseharian yang cenderung individualis, ternyata optimisme bangsa
ini terhadap solidaritas sosial masih begitu signifikan.
Sepertinya, jika kita berpikir
positif tentang bencana banjir ini, mungkin ada benarnya kalau banjir ini
memang diperuntukkan menerjang dan menjebol tanggul-tanggul sosial pemisah
antara kaum miskin kota dengan para borjuis urban, khususnya yang ada di Ibu
Kota. Karena selama ini begitu curamnya jurang pemisah antara keduanya ini,
dengan banjir ini merupakan sebuah teguran untuk lebih peduli satu sama lain,
dan menghilangkan pandangan-pandangan sinis antarsesama. Bagaimana banjir ini menunjukkan bahwa
keduanya adalah semuanya sama ketika menjadi korban, karena pada hakekatnya
adalah sama yaitu sebagai manusia, penghuni sementara di bumi. Selain itu,
bencana banjir ini juga seolah menunjukkan kepada manusia bahwa alam bisa
seketika marah dan menjadi malapetaka bagi manusia, yang bersikap semena-mena
terhadapnya.
Ini merupakan teguran agar manusia
lebih peduli lagi terhadap bumi yang semakin tua ini. Semoga setelah ini semua,
ada perbaikan dari setiap individu untuk dapat hidup lebih selaras dengan alam,
dan yang terpenting adalah sekat-sekat sosial yang seperti terbuka ini, tidak
kembali menutup dan rasa solidaritas tetap terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar