Belum
sempat Fabian mengganti pakaian sekolah, ia bergegas menghidupkan komputer.
“Oke, ini saatnya bereksperimen!” ucapnya. “Agak absurd sih eksperimen kali ini. Biasanya kan eksperimen gue selalu
menghasilkan sesuatu yang menguntungkan, seperti taruhan bola yang gue menangi
beberapa hari lalu. Hahaha,” lanjutnya.
Fabian
membuka laman history, dan mengklik
bekas penjelajahannya kemarin tentang Astral Projection. Ia mulai membaca ulang semuanya.
“...Waktu
terbaik untuk melakukan astral projection adalah pagi hari, atau satu jam dari
waktu biasa kita bangun tidur...”
Ia
menandai apa-apa yang harus dilakukan dalam astral projection nanti.
“Oke,
berarti gue harus kebut ini kerjaan, supaya bisa cepat tidur dan bangun sebelum
shubuh,” Fabian beranjak dari kursi dan lekas mengganti pakaian.
Ayahnya
mengetuk pintu kamar Fabian “Udah makan, belum?”
“Belum,
Yah,” jawabnya.
“Makan
dulu gih! Makanannya ada di meja tuh,” titah ayahnya.
“Iya, Yah...” sahutnya lagi.
Fabian
bergegas keluar dari kamar dan menuju ke meja makan.
“Habisin
aja. Ayah udah makan tadi,” kata Ayahnya, “Oh iya, Ayah mau pergi dulu ya.”
“Mau
kemana, Yah?” tanya Fabian.
“Ke
makam Bundamu,” jawab lelaki itu, lalu pergi begitu saja.
Fabian
memandangi ayahnya yang berjalan penuh semangat, seperti seseorang yang hendak
menjumpai kekasihnya. Emosi ayahnya memang sangat labil. Terkadang ia bisa
menjadi orang yang sangat kasar, tapi juga bisa tiba-tiba menjadi baik dan
perhatian.
Selesai
makan ia kembali ke kamar untuk menuntaskan pekerjaannya. “Oke, here we go again!” ucapnya, penuh
semangat.
Beberapa
jam kemudian Fabian berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Tak terasa malam sudah
menjemput gelapnya “Waktunya tidur! Semoga eksperimen kali ini berhasil. Yeaa,
walaupun sedikit nggak rasional.” tuturnya, lalu memejamkan mata.
***
Alarm
dengan nada tanda bahaya kebakaran itu berbunyi tepat di samping telinganya. Fabian
lekas terbangun dan mematikan suara yang berasal dari handphone-nya itu.
Setelah semalam mempelajari bagaimana untuk melakukan astral projection
tersebut, ia pun siap mempraktikannya.
“Haha,
gue nggak percaya, gue melakukan hal aneh ini.” cengir lelaki charming itu.
Waktu
menunjukan pukul empat shubuh. Fabian memulai dengan mengenakan headset dan memutar nada Binaural Beats sambil merelaksasikan
diri, hingga ia rasa tubuhnya seakan mengalami Sleep Paralysis. Ia terus berusaha fokus supaya tetap rileks namun
tidak tertidur. Fabian benar-benar sudah siap untuk melalui proses tersebut.
Dini
hari yang begitu hening, seketika waktu seperti terhenti untuk beberapa saat. Tiba-tiba
ia merasa seperti tersedot. Ia lantas sedikit kaget dan panik. Fabian gagal,
karena kepanikan itu malah membangunkan tubuh fisiknya.
“Ah, sial! Calm down, Bian. Come
on!” imbuhnya, pada diri sendiri.
Ia
mencoba dan mencoba lagi, hingga berhasil di percobaannya yang ketiga. Setelah
tahap ‘tersedot’ itu, tubuh astral Fabian keluar dari raganya yang nampak
terbaring. Ia berusaha menjaga konsentrasi supaya tubuh astralnya stabil.
“Wow!
Gue berhasil!” ia menatap raganya sendiri terbaring di tempat tidur.
Fabian
memulai perjalanan astralnya dengan mengunjungi seseorang yang ia sukai
diam-diam sejak lama. Helena.
Tubuh
astralnya memasuki sebuah kamar bernuansa soft
and smoothy, dengan cat putih, berlatarkan lukisan pemandangan alam,
dihiasi ornamen-ornamen dan origami yang menggantung. Lalu dilihatnya Helena
yang terlelap tidur. Setengah badannya tertutup selimut berwarna biru langit.
Helena nampak mengenakan kaos berwarna putih saat itu.
“Hai...”
ucap Fabian, namun tak ada suara yang keluar.
Ia
kemudian berusaha menyentuh Helena dengan halus, namun tubuh astralnya terasa
seperti udara, menghembus ringan, seakan indera peraba yang dimilikinya mati
rasa. Tak ada rasa bersentuhan saat menyentuh Helena.
Helena
nampak sedikit bergerak, seperti terusik oleh sesuatu yang bukan sentuhan fisik.
Walau hanya sedikit, tapi ia merasa senang bisa menggapai Helena. Fabian
tersenyum bahagia karena itu.
Ketika
Fabian sedang menikmati perjalanan astralnya, sekelibat bayangan
hitam-tinggi-besar seolah menatapnya. Ia panik lantaran sosok itu terasa sangat
mengancam. Dengan begitu cepat tubuh astralnya lantas kembali ke raga yang
tadinya terbaring tenang itu. Matanya yang terpejam lantas terperangah. Ia
terbangun dan sadar, dengan keringat yang membasahi punggung dan dahinya.
“Hahaha,
aku berhasil!” tawanya, riang. Setelah euphoria kecil itu, ia sejenak teringat
akan sosok tadi, “Tapi, makhluk apa itu tadi, ya? Kenapa dia ngelihatin gue
seperti itu? Ada yang salah dengan kedatangan gue tadi?” tanyanya dalam hati,
mencecar diri sendiri. Ingatan yang remang-remang akan sosok itu membuatnya enggan memikirkan, “Ah, sudahlah.”
***
Di
jam istirahat, Fabian dan Evan sedang mendiskusikan sesuatu dengan serius di
kantin. Kali ini mereka tidak menempati kursi yang biasa Helena dan Bella
tempati.
“Van,
loe masih ingat nggak, tentang Astral Projection?” tanya Fabian.
Sejenak
ia berpikir, “Oohh, omong kosong yang pernah dipresentasikan si Cupu waktu itu,
ya?” ujar Evan, meremehkan.
“Iya,
itu,” Fabian berbicara dengan nada suara yang berangsur rendah. “Semalam gue
coba.”
Evan
tergelak, “Ah loe, mau aja kemakan omongan si Creepy’s Freakz itu! Dia orang gila! Hahaha,” kekeh Evan.
“Tapi
gue berhasil melakukan itu...” sambar Fabian.
Evan
tertegun untuk sesaat, “Hahahaha, mulai gila nih bocah.” tawanya menggelitik.
“Serius,
Van!” jawab Fabian, sangat yakin. “Dan loe tau, siapa yang gue datangi?”
Demi
melayani antusias Fabian, Evan sedia menanggapi obrolan yang tak disukainya
itu. “Siapa, Bro?” tanya Evan, tanpa ekspresi penasaran.
Fabian
berbisik, “Helena.”
“Wah,
parah loe! Ngintipin perawan tidur,” tuding Evan. “Ah, tapi gue masih nggak
percaya,” tudingnya, ringan.
Selama
ini Evan mengenal Fabian adalah orang yang tidak pernah main-main dengan
ucapannya.
“Gue
pun setuju sama loe. Ini gila! Bahkan gue sendiri masih nggak percaya dengan
sesuatu yang berhasil gue buktiin itu.” ungkap Fabian, “Semalem gue lihat dia
tidur pakai kaos putih, terus setengah badannya tertutup selimut warnanya biru
langit.”
“Ah,
cuman mimpi kali tuh,” kekeh Evan.
“Coba
deh, Van, loe tanya Helena. Kalau apa yang gue deskripsikan tadi benar, maka
gue harus percaya. Dan, kalau gue salah, berarti semalem gue mungkin cuman mimpi.”
Tak
jauh dari tempat mereka duduk, Evan melihat Helena dan Bella yang juga sedang
asik bercengkrama. Ia lantas berjalan menuju dua wanita itu.
“Woy,
Van! Mau kemana loe?” tanya Fabian.
“Mau
membuktikan kebenaran!” jawab Evan, lalu berjalan.
“Eh,
Van, gue cuman bercanda!” seru Fabian, takut Evan berbuat bodoh.
“Udaaah,
loe tunggu aja di situ!” kekeh Evan, terus tak menghiraukan.
Obrolan
yang nampak seru antara Helena dan Bella seketika terhenti saat Evan
menghampiri mereka berdua.
“Sorry
nih ganggu, gue nggak lama kok,” ujar Evan, yang lalu mendapat respon tatapan
serius dari keduanya. “Gue cuman mau nanya sesuatu sama loe, Hel?” tambah Evan,
sesekali ia mengalihkan pandangan ke belakang, menatap Fabian yang terlihat tak
nyaman.
Helena
lantas bertanya, “Tanya apa, Van?”
“Semalem,
loe tidur pakai kaos putih dan selimut warna biru langit, ya?” tanya Evan,
nampak penasaran menanti jawaban.
Sejenak
Helena berusaha mengingat, “I-iya...” ia nampak kebingungan, “Kok loe tau sih,
Van?”
“Wah,
loe ngintip teman gue tidur ya!” sambar Bella, menuduh.
“Eng-nggak
kok, sumpah! Gue cuman... emmm,” tandas Evan, yang nampak heran dan kaget
dengan jawaban Helena. “Gue cuman mau tanya itu. Thanks ya!” Evan lekas kembali
menuju Fabian, dengan ekspresi seolah tak percaya.
“Dasar
cowok aneh!” caci Bella terhadap Evan.
Helena
hanya terdiam dan mengingat semalam ia seperti didatangi oleh seorang tertidur,
tapi ia yakin itu bukan Evan.
“Emang
benar, Hel, apa yang Evan bilang tadi?” tanya Bella, memastikan.
“Iya,
Bel. Yeaa meskipun nggak begitu detil, tapi apa kata Evan itu emang benar.”
jawab Helena, terheran, “Kok bisa tau, ya?”
“Mungkin
itu cuman tebakan yang kebetulan benar,” tandas Bella.
“Mungkin.”
Helena mengangkat bahu.
Evan
kembali menghampiri Fabian masih dengan ekspresi itu. “Gokil! Helena bilang
yang loe lihat itu benar. Iya pakai kaos putih dan selimut warna biru langit
pas tidur semalem. Speechless gue!”
Fabian
juga nampak terkejut, karena apa yang dilihatnya semalam itu bukan lah mimpi
atau pun delusi, melainkan kenyataan namun sulit diterima logika.
“Ah,
tapi, mungkin loe udah janjian sama dia buat bohongin gue! Bisa aja kan loe
berdua sekongkol!” tuding Evan, masih tidak percaya. “Atau loe beneran
ngintipin dia tidur!”
“Gue
bilang, terserah loe mau percaya atau nggak. Yang jelas, apa mungkin gue segitu
niatnya mau bohongin loe, sampai sekongkol sama Helena, cewek yang nggak pernah
berani ajak ngobrol sejak awal masuk SMA ini!?” kekeh Fabian. “Dan, ngintip?
Ayolah, Van, gue nggak secabul elo. Ya nggak mungkin lah!”
“Iya
juga, sih,” Evan terhenyap. “Ah, tapi mungkin aja, itu kebetulan!”
“Entahlah,
Van,” Fabian mengangkat bahunya, “Eh, gue mau lanjutin nih!?”
Evan
mengangguk iya, “Apa lagi!?”
“Waktu
melakukan itu gue bergerak seperti udara, ringan banget. Bahkan, saat gue coba
menyentuh Helena, kayak nembus begitu aja. Terus dia gerak, kayak terusik
gitu.”
“Nah,
kan! Loe gerepein dia juga, kan!” tuding Evan
“Yee!!
maksud gue bukan begitu, Cabul!” tutur Fabian bersikeras, “Gue lakukan itu
cuman mau nyoba kontak fisik aja. Lanjut nggak, nih?”
Evan
tergelak, “Hahaha, oke lanjut!”
“Tapi
baru beberapa saat gue menikmati itu, gue merasa diperhatikan oleh sosok
hitam-tinggi-besar,” wajah Fabian nampak resah, “Anjir! Gue panik banget.”
“Nah
sekarang kayaknya loe sedang menambahkan bumbu kebohongan lainnya, Bro!” tuding
Evan lagi.
“Black
Robed!” sambar Dimas, tiba-tiba bersuara di belakang Fabian dan Evan.
Evan
yang terkejut lantas melayangkan umpatan kepada Dimas. “Kampret! Wah, loe
ngagetin aja, Cupu! Dasar Makhluk Sialan!”
“Black
Robed?” Fabian terheran.
“Iya.
Itu sejenis astral parasit yang berbahaya,” jawab Dimas.
“Bahaya
gimana maksudnya?” tanya Fabian.
“Halah!
Nggak usah didengar, dia paling kebanyakan nonton film.” caci Evan lagi.
“Diam
dulu, Van. Gue harus tau tentang makhluk yang gue temui semalem.” ucap Fabian,
memotong cacian Evan.
Dimas
kemudian menjelaskan. “Black Robed adalah makhluk jahat yang diciptakan Black Magic
atau Voodoo. Makhluk itu bisa menampakan dirinya di alam mimpi dan di ‘Dunia
Diantara’,”
“Dunia
Diantara, maksudnya?” Fabian memotong.
“Dunia
di mana saat raga kita tak sadar, tetapi pikiran beserta jiwa kita sadar. Itu
adalah astral projection yang seperti loe lakukan itu.” jawab Dimas.
“Oohh,”
Fabian mengangguk paham. “Terus Dimas?”
“Dia
biasanya akan terus menghantui seseorang yang pernah dilihat dan melihat wujud
dia. Semakin orang yang dihantuinya itu merasa takut, maka semakin kuat Black Robed
itu. Bahkan, pada level tertentu bisa menampakan diri di dunia nyata, yang
membuat orang yang dihantuinya seakan mengalami delusi, kerasukan, dan bahkan
seperti orang mengalami gangguan jiwa karena teror Black Robed itu.” jelas
Dimas, dengan tatapan yang seperti mengawasi keadaan sekitar.
“Omong
kosong macam apalagi ini?” keluh Evan, tersenyum sebal.
***
Waktu
menunjukan tengah malam, Fabian masih berkutat dengan pekerjaannya. Ia masih
disibukan dengan data-data yang harus diinputnya. Segelas kopi hangat yang
mulai dingin, menemani malamnya yang menyita waktu istirahat itu.
“Ayo
mata, tetap melek dong!” kekehnya, dengan tegukan untuk ke sekian kalinya.
Beberapa menit berlalu, tiba-tiba perutnya seolah bergemuruh, “Yaelah,
kebiasaan banget lapar jam segini.”
Mendengar
perutnya keroncongan tengah malam, Fabian berniat mencari makanan supaya rasa
lapar itu tak terus-terusan mengganggunya bekerja.
Baru
seperdelapan pintu kamarnya ia buka, ia tertegun melihat ayahnya yang tengah
menangis sambil memandangi foto seorang wanita cantik, berparas Indo-Eropa,
berambut khas Blonde, dengan senyum
manis yang terpampang. Itu adalah
Monalisa, ibunya.
Melihat
itu, Fabian mengurungkan niatnya untuk keluar dari kamar. “Ya Tuhan, berikanlah
Ayah keikhlasan untuk merelakan Bunda.” ucapnya, memanjatkan doa di dalam
hatinya.
“Kenapa
kamu tinggalkan aku, Sayang? Kenapa kamu pergi secepat ini?” kata ayahnya pada
wanita di foto itu.
Meski
pun sudah lima tahun berlalu, tapi nampaknya Pak Abraham masih belum bisa
menerima kenyataan istrinya telah tiada. Itu adalah pemandangan yang benar-benar
sangat menyedihkan bagi Fabian. Ia pun memutuskan untuk menutup kembali pintu
kamar, dan terduduk di meja kerjanya.
Beberapa
menit kemudian, Fabian menyelesaikan pekerjaannya, dan bergegas menuju tempat
tidur. Pikirannya terus dihantui rasa penasaran akan kematian tak wajar ibunya
lima tahun lalu itu. Ia memejamkan mata dengan pikiran yang masih
menerka-nerka.
***
Di
sebuah taman yang nampak bak firdaus itu, sapa seorang wanita berparas cantik
nan memesona. “Bian!”
“Helena?”
jawab Fabian, tersenyum gembira.
Helena
yang nampak anggun dengan pakaian berwarna putih dengan corak biru, rambut
tergerai, dan tatapan sepasang bola mata indah yang meluluhkan hati itu lantas
tersenyum.
“Bian...”
ucapnya sambil perlahan terus menjauh dari jangkauan Fabian, yang mulai berlari
mengejar.
“Hel,
tunggu, Hel!” Fabian terus mengejar dengan gigih.
Tiba-tiba sosok itu muncul begitu dekat di
hadapannya. Fabian tertegun hebat menatap sosok itu. Mimpi indah bertemu Helena
itu seketika berubah jadi mimpi buruk, karena makhluk yang tak diharapkan itu
kembali muncul. Ia berusaha menggerakan tubuhnya yang terasa begitu berat, seperti tertindih batu besar. “Astagaaa!” teriak Fabian, lalu terbangun dari tidur.
Setelah
kemarin datang saat ia ada dalam 'Dunia Diantara', kali ini sosok itu datang di
dalam mimpi. Dan lagi-lagi, sosok itu membuat Fabian ketakutan. Keringat
bercucuran dari pori-pori kulit. Terasa dingin dan mencekam. Ia lalu beranjak
dan menatap cermin. “Apa semua hal nggak masuk akal ini nyata?”
Fabian
mulai memikirkan tentang apa yang dilakukannya, dan semua hal yang terkait
astral projection. Meskipun rasionalitasnya berusaha terus menolak untuk
mempercayai, akan tetapi kejadian-kejadian yang terasa sangat nyata itu mulai
membuatnya tak bisa menampikan fenomena mistis yang dialaminya itu.
***
Hari-hari
berikutnya Fabian mengalami kejadian-kejadian aneh, terutama saat ia tertidur.
Tubuh astralnya melakukan perjalanan secara otomatis, saat tidak sedang
melakukan astral projection. Merasa ada yang tidak beres, ia memutuskan untuk
menemui Dimas di kelas IPA.
Dimas
nampak asik membaca tulisan bertema horor di laptopnya, sementara murid-murid
lain meninggalkan kelas.
“Hei,
Dimas!” sapa Fabian. “Gue boleh duduk?”
Dimas
menoleh, “Eh, Bian. Duduk aja.”
“Thanks,
Dim.” ia lalu duduk di kursi kosong di depan Dimas.
Dimas lantas teralihkan, “Kok loe pucat gitu,
sih?”.
“Iya
nih. Udah tiga hari terakhir gue ngalamin kejadian-kejadian aneh, sejak astral
projection itu,” keluh Fabian, memijat-mijat lehernya.
“Oh,
ya?” Dimas terkaget.
“Akhir-akhir
ini tidur gue nggak nyaman. Gue nggak tahu, tiap kali gue tidur, tubuh astral
gue malah terlepas, padahal gue nggak lagi astral projection itu.” jelas Fabian.
Dimas
langsung menutup laptopnya. Tatapannya terfokus pada lelaki di hadapannya itu.
“Auto Astral Projection...” ucapnya.
“Apa
itu?” tanya Fabian, menekuk wajahnya.
“Auto
Astral Projection. Keadaan di mana tubuh astral melepas dirinya dari raga
secara otomatis.” Dimas melanjutkan, “Kelelahan loe itu bukan semata-mata karena
tidur yang nggak berkualitas, tapi juga karena energi loe terserap oleh tubuh
astral yang melakukan perjalanan otomatis itu.”
Fabian
menyimak penjelasan gamblang Dimas itu dengan serius.
“Terus,
waktu AAP itu, loe gimana?” tanya Dimas.
“Random
banget. Bahkan gue nggak tahu tempat itu, dan kenapa gue kesitu.” jawab Fabian,
keheranan.
“Hati-hati,
Bian! Kalau terus-terusan begitu, nanti loe bisa drop!” Dimas memper-ingatkan.
“Soalnya, waktu AAP itu konsentrasi loe belum siap betul melepaskan tubuh
astral dari raga. Lain halnya ketika melakukan astral projection yang biasa,
pikiran loe memang sudah siap untuk itu.”
“Yeaa
gue juga bingung, gimana cara supaya AAP itu berhenti?” kekeh Fabian.
Dimas
berpikir untuk beberapa saat, “Oke, nanti gue cari tau cara berhentinya deh.”
“Oke,
Dim. Thanks banget, ya.” ucap Fabian.
“Sip!”
Dimas mengacungkan kedua jempol tangannya, “Oh iya, untuk sementara, supaya loe
setidaknya bisa tidur, coba pas tidur biarkan keadaan lampu kamar itu tetap
hidup. Biasanya astral projection gagal di tempat terang.” tambahnya.
“Oke.
Kalau gitu, gue duluan ya!” Fabian pun lekas pergi, “Nanti gue coba saran loe.”
***
Fabian
berjalan menuju parkiran untuk mengambil sepedanya. Ia nampak tak begitu fit
untuk bisa melakukan perjalanan pulang seperti biasanya. Ia pun mendorong
sepeda itu dengan lamban.
“Bian,
kamu nggak apa-apa?” tanya suara seorang wanita dari belakang.
Fabian
menoleh, “He-Hel-Helena...” ia malah salah tingkah.
“Kamu
baik-baik aja? Muka kamu pucat gitu?” tanya Helena lagi. Ia merasakan ada yang
tidak beres dengan Fabian.
“Aku
baik-baik aja, Hel,” jawab Fabian, dengan senyuman.
Tubuh
Fabian yang nampak lunglai itu berjalan gontai sambil mendorong sepeda. Ia
mulai merasakan pusing yang sangat hebat. Tatapannya seakan kabur. Beberapa
saat kemudian tubuhnya ambruk. Fabian pingsan.
“Astaga,
Bian!” Helena panik. “Teman-teman, tolong! Ada yang pingsan!”
Orang-orang
segera menerumini Fabian. Kemudian atas inisiatif seorang teman bernama Bobby, Fabian
digotong kembali ke sekolah untuk mendapatkan perawatan di ruang UKS.
***
Setengah
jam kemudian Fabian tersadar.
“Helena?”
ia menyesuaikan pandangannya dengan cahaya lampu di ruang tersebut.
Helena
tersenyum, “Hei, Bian. Tadi kamu pingsan, pas di jalan pulang. Syukur deh, kamu
sekarang udah sadar.”
“Aduh
malu-maluin banget, masa pingsan di depan cewek.” gerutu Fabian.
“Yeaa
namanya juga orang lagi sakit. Lagipula, emangnya kenapa kalau cowok pingsan
depan cewek? Perasaan nggak aneh-aneh amat.” ungkap Helena.
“Hehehe,
iya juga sih,” cengir Fabian. “Oh, iya, terima kasih yah untuk pertolongan pertamanya.”
“Hahaha,
biasa aja kali. Lagian, yang gotong kamu kesini tadi tuh anak-anak cowok. Aku
sih cuman modal teriak aja. Hehehe,” cengir Helena.
Fabian
bermonolog dalam hati.
Ternyata Helena anaknya asik juga ya. Nggak
sedingin yang gue kira selama ini. Bodoh banget gue, tiga tahun sekolah bareng,
baru punya kesempatan ngobrol sama dia kayak gini sekarang. Itupun bukan dari
proses yang asik. Segala pake pingsan depan dia. Haduh... maluuuu, malu.
“Hmm,
Bian, kamu udah agak sehat, kan? Aku pulang duluan ya!?” Helena ber-pamitan.
“Oh,
iya, iya. Silahkan, Hel.” jawab Fabian. “Aduh, aku jadi nggak enak nih,
gara-gara aku, kamu jadi telat pulangnya.”
“Santai
aja, Bian.” Helena tersenyum.
“Yaudah,
kamu hati-hati ya di jalan.” ujar Fabian, tersenyum lagi. “Sekali lagi, aku
terima kasih banget, kamu udah jagain aku.”
Helena
hanya tersenyum. Ia berjalan keluar ruangan UKS, sesekali ia menoleh lagi ke
arah Fabian untuk memastikan keadaan.
***
Agak
larut Fabian sampai di rumah. Selain kejadian pingsan tadi, ia juga harus
menemui atasannya di kantor untuk menyerahkan berkas tertulis. Dengan energi
yang tersisa, akhirnya Fabian sampai juga di rumah.
Pak
Abraham yang melihat tampang anaknya nampak begitu kusut, lantas bertanya,
“Bian, kamu kenapa?”
Fabian
tersenyum dan mengacungkan jempol yang seakan berarti “Aku baik-baik saja,” Ia
lalu masuk ke kamar, dan merebahkan tubuhnya sejenak.
“Huft,
berat banget rasanya ini badan buat digerakin,” keluhnya, menggerak-gerakan
anggota tubuh. “Kayaknya untuk malam ini, gue harus istirahat penuh.” ia
beranjak dari tempat tidur, lalu menayalakan lampu. “Gue masih nggak percaya,
kalau gue nurut nasihat si Cupu. Whatever! Semoga kali ini tidur gue nyaman.”
Fabian
membanting tubuhnya ke kasur yang tidak begitu empuk itu. Ia mulai memejamkan
mata, dengan kondisi ruangan yang terang, sambil membayangkan betapa indahnya
wanita kesukaannya itu.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar