Kamis, 26 Maret 2015

BLACK ROBED



            Belum sempat Fabian mengganti pakaian sekolah, ia bergegas menghidupkan komputer. “Oke, ini saatnya bereksperimen!” ucapnya. “Agak absurd sih eksperimen kali ini. Biasanya kan eksperimen gue selalu menghasilkan sesuatu yang menguntungkan, seperti taruhan bola yang gue menangi beberapa hari lalu. Hahaha,” lanjutnya.
            Fabian membuka laman history, dan mengklik bekas penjelajahannya kemarin tentang Astral Projection. Ia mulai membaca ulang semuanya.
            “...Waktu terbaik untuk melakukan astral projection adalah pagi hari, atau satu jam dari waktu biasa kita bangun tidur...”
            Ia menandai apa-apa yang harus dilakukan dalam astral projection nanti.
            “Oke, berarti gue harus kebut ini kerjaan, supaya bisa cepat tidur dan bangun sebelum shubuh,” Fabian beranjak dari kursi dan lekas mengganti pakaian.
            Ayahnya mengetuk pintu kamar Fabian “Udah makan, belum?”
            “Belum, Yah,” jawabnya.
            “Makan dulu gih! Makanannya ada di meja tuh,” titah ayahnya.
             “Iya, Yah...” sahutnya lagi.
            Fabian bergegas keluar dari kamar dan menuju ke meja makan.
            “Habisin aja. Ayah udah makan tadi,” kata Ayahnya, “Oh iya, Ayah mau pergi dulu ya.”
            “Mau kemana, Yah?” tanya Fabian.
            “Ke makam Bundamu,” jawab lelaki itu, lalu pergi begitu saja.
            Fabian memandangi ayahnya yang berjalan penuh semangat, seperti seseorang yang hendak menjumpai kekasihnya. Emosi ayahnya memang sangat labil. Terkadang ia bisa menjadi orang yang sangat kasar, tapi juga bisa tiba-tiba menjadi baik dan perhatian.
            Selesai makan ia kembali ke kamar untuk menuntaskan pekerjaannya. “Oke, here we go again!” ucapnya, penuh semangat.
            Beberapa jam kemudian Fabian berhasil menyelesaikan pekerjaannya. Tak terasa malam sudah menjemput gelapnya “Waktunya tidur! Semoga eksperimen kali ini berhasil. Yeaa, walaupun sedikit nggak rasional.” tuturnya, lalu memejamkan mata.

***

            Alarm dengan nada tanda bahaya kebakaran itu berbunyi tepat di samping telinganya. Fabian lekas terbangun dan mematikan suara yang berasal dari handphone-nya itu. Setelah semalam mempelajari bagaimana untuk melakukan astral projection tersebut, ia pun siap mempraktikannya.
            “Haha, gue nggak percaya, gue melakukan hal aneh ini.” cengir lelaki charming itu.
            Waktu menunjukan pukul empat shubuh. Fabian memulai dengan mengenakan headset dan memutar nada Binaural Beats sambil merelaksasikan diri, hingga ia rasa tubuhnya seakan mengalami Sleep Paralysis. Ia terus berusaha fokus supaya tetap rileks namun tidak tertidur. Fabian benar-benar sudah siap untuk melalui proses tersebut.
            Dini hari yang begitu hening, seketika waktu seperti terhenti untuk beberapa saat. Tiba-tiba ia merasa seperti tersedot. Ia lantas sedikit kaget dan panik. Fabian gagal, karena kepanikan itu malah membangunkan tubuh fisiknya.
“Ah, sial! Calm down, Bian. Come on!” imbuhnya, pada diri sendiri.
            Ia mencoba dan mencoba lagi, hingga berhasil di percobaannya yang ketiga. Setelah tahap ‘tersedot’ itu, tubuh astral Fabian keluar dari raganya yang nampak terbaring. Ia berusaha menjaga konsentrasi supaya tubuh astralnya stabil.
            “Wow! Gue berhasil!” ia menatap raganya sendiri terbaring di tempat tidur.
            Fabian memulai perjalanan astralnya dengan mengunjungi seseorang yang ia sukai diam-diam sejak lama. Helena.
           Tubuh astralnya memasuki sebuah kamar bernuansa soft and smoothy, dengan cat putih, berlatarkan lukisan pemandangan alam, dihiasi ornamen-ornamen dan origami yang menggantung. Lalu dilihatnya Helena yang terlelap tidur. Setengah badannya tertutup selimut berwarna biru langit. Helena nampak mengenakan kaos berwarna putih saat itu.
            “Hai...” ucap Fabian, namun tak ada suara yang keluar.
            Ia kemudian berusaha menyentuh Helena dengan halus, namun tubuh astralnya terasa seperti udara, menghembus ringan, seakan indera peraba yang dimilikinya mati rasa. Tak ada rasa bersentuhan saat menyentuh Helena.
           Helena nampak sedikit bergerak, seperti terusik oleh sesuatu yang bukan sentuhan fisik. Walau hanya sedikit, tapi ia merasa senang bisa menggapai Helena. Fabian tersenyum bahagia karena itu.
            Ketika Fabian sedang menikmati perjalanan astralnya, sekelibat bayangan hitam-tinggi-besar seolah menatapnya. Ia panik lantaran sosok itu terasa sangat mengancam. Dengan begitu cepat tubuh astralnya lantas kembali ke raga yang tadinya terbaring tenang itu. Matanya yang terpejam lantas terperangah. Ia terbangun dan sadar, dengan keringat yang membasahi punggung dan dahinya.
            “Hahaha, aku berhasil!” tawanya, riang. Setelah euphoria kecil itu, ia sejenak teringat akan sosok tadi, “Tapi, makhluk apa itu tadi, ya? Kenapa dia ngelihatin gue seperti itu? Ada yang salah dengan kedatangan gue tadi?” tanyanya dalam hati, mencecar diri sendiri. Ingatan yang remang-remang akan sosok itu membuatnya enggan memikirkan, “Ah, sudahlah.”

***

            Di jam istirahat, Fabian dan Evan sedang mendiskusikan sesuatu dengan serius di kantin. Kali ini mereka tidak menempati kursi yang biasa Helena dan Bella tempati.
            “Van, loe masih ingat nggak, tentang Astral Projection?” tanya Fabian.
            Sejenak ia berpikir, “Oohh, omong kosong yang pernah dipresentasikan si Cupu waktu itu, ya?” ujar Evan, meremehkan.
            “Iya, itu,” Fabian berbicara dengan nada suara yang berangsur rendah. “Semalam gue coba.”
            Evan tergelak, “Ah loe, mau aja kemakan omongan si Creepy’s Freakz itu! Dia orang gila! Hahaha,” kekeh Evan.
            “Tapi gue berhasil melakukan itu...” sambar Fabian.
            Evan tertegun untuk sesaat, “Hahahaha, mulai gila nih bocah.” tawanya menggelitik.
            “Serius, Van!” jawab Fabian, sangat yakin. “Dan loe tau, siapa yang gue datangi?”
          Demi melayani antusias Fabian, Evan sedia menanggapi obrolan yang tak disukainya itu. “Siapa, Bro?” tanya Evan, tanpa ekspresi penasaran.
            Fabian berbisik, “Helena.”
       “Wah, parah loe! Ngintipin perawan tidur,” tuding Evan. “Ah, tapi gue masih nggak percaya,” tudingnya, ringan.
            Selama ini Evan mengenal Fabian adalah orang yang tidak pernah main-main dengan ucapannya.
            “Gue pun setuju sama loe. Ini gila! Bahkan gue sendiri masih nggak percaya dengan sesuatu yang berhasil gue buktiin itu.” ungkap Fabian, “Semalem gue lihat dia tidur pakai kaos putih, terus setengah badannya tertutup selimut warnanya biru langit.”
            “Ah, cuman mimpi kali tuh,” kekeh Evan.
            “Coba deh, Van, loe tanya Helena. Kalau apa yang gue deskripsikan tadi benar, maka gue harus percaya. Dan, kalau gue salah, berarti semalem gue mungkin cuman mimpi.”
         Tak jauh dari tempat mereka duduk, Evan melihat Helena dan Bella yang juga sedang asik bercengkrama. Ia lantas berjalan menuju dua wanita itu.
            “Woy, Van! Mau kemana loe?” tanya Fabian.
            “Mau membuktikan kebenaran!” jawab Evan, lalu berjalan.
            “Eh, Van, gue cuman bercanda!” seru Fabian, takut Evan berbuat bodoh.
            “Udaaah, loe tunggu aja di situ!” kekeh Evan, terus tak menghiraukan.
            Obrolan yang nampak seru antara Helena dan Bella seketika terhenti saat Evan menghampiri mereka berdua.
            “Sorry nih ganggu, gue nggak lama kok,” ujar Evan, yang lalu mendapat respon tatapan serius dari keduanya. “Gue cuman mau nanya sesuatu sama loe, Hel?” tambah Evan, sesekali ia mengalihkan pandangan ke belakang, menatap Fabian yang terlihat tak nyaman.
            Helena lantas bertanya, “Tanya apa, Van?”
           “Semalem, loe tidur pakai kaos putih dan selimut warna biru langit, ya?” tanya Evan, nampak penasaran menanti jawaban.
            Sejenak Helena berusaha mengingat, “I-iya...” ia nampak kebingungan, “Kok loe tau sih, Van?”
            “Wah, loe ngintip teman gue tidur ya!” sambar Bella, menuduh.
            “Eng-nggak kok, sumpah! Gue cuman... emmm,” tandas Evan, yang nampak heran dan kaget dengan jawaban Helena. “Gue cuman mau tanya itu. Thanks ya!” Evan lekas kembali menuju Fabian, dengan ekspresi seolah tak percaya.
            “Dasar cowok aneh!” caci Bella terhadap Evan.
            Helena hanya terdiam dan mengingat semalam ia seperti didatangi oleh seorang tertidur, tapi ia yakin itu bukan Evan.
            “Emang benar, Hel, apa yang Evan bilang tadi?” tanya Bella, memastikan.
            “Iya, Bel. Yeaa meskipun nggak begitu detil, tapi apa kata Evan itu emang benar.” jawab Helena, terheran, “Kok bisa tau, ya?”
            “Mungkin itu cuman tebakan yang kebetulan benar,” tandas Bella.
            “Mungkin.” Helena mengangkat bahu.
            Evan kembali menghampiri Fabian masih dengan ekspresi itu. “Gokil! Helena bilang yang loe lihat itu benar. Iya pakai kaos putih dan selimut warna biru langit pas tidur semalem. Speechless gue!”
            Fabian juga nampak terkejut, karena apa yang dilihatnya semalam itu bukan lah mimpi atau pun delusi, melainkan kenyataan namun sulit diterima logika.
            “Ah, tapi, mungkin loe udah janjian sama dia buat bohongin gue! Bisa aja kan loe berdua sekongkol!” tuding Evan, masih tidak percaya. “Atau loe beneran ngintipin dia tidur!”
            “Gue bilang, terserah loe mau percaya atau nggak. Yang jelas, apa mungkin gue segitu niatnya mau bohongin loe, sampai sekongkol sama Helena, cewek yang nggak pernah berani ajak ngobrol sejak awal masuk SMA ini!?” kekeh Fabian. “Dan, ngintip? Ayolah, Van, gue nggak secabul elo. Ya nggak mungkin lah!”
            “Iya juga, sih,” Evan terhenyap. “Ah, tapi mungkin aja, itu kebetulan!”
            “Entahlah, Van,” Fabian mengangkat bahunya, “Eh, gue mau lanjutin nih!?”
            Evan mengangguk iya, “Apa lagi!?”
            “Waktu melakukan itu gue bergerak seperti udara, ringan banget. Bahkan, saat gue coba menyentuh Helena, kayak nembus begitu aja. Terus dia gerak, kayak terusik gitu.”
            “Nah, kan! Loe gerepein dia juga, kan!” tuding Evan
            “Yee!! maksud gue bukan begitu, Cabul!” tutur Fabian bersikeras, “Gue lakukan itu cuman mau nyoba kontak fisik aja. Lanjut nggak, nih?”
            Evan tergelak, “Hahaha, oke lanjut!” 
            “Tapi baru beberapa saat gue menikmati itu, gue merasa diperhatikan oleh sosok hitam-tinggi-besar,” wajah Fabian nampak resah, “Anjir! Gue panik banget.”
            “Nah sekarang kayaknya loe sedang menambahkan bumbu kebohongan lainnya, Bro!” tuding Evan lagi.
            “Black Robed!” sambar Dimas, tiba-tiba bersuara di belakang Fabian dan Evan.
            Evan yang terkejut lantas melayangkan umpatan kepada Dimas. “Kampret! Wah, loe ngagetin aja, Cupu! Dasar Makhluk Sialan!”
            “Black Robed?” Fabian terheran.
            “Iya. Itu sejenis astral parasit yang berbahaya,” jawab Dimas.
            “Bahaya gimana maksudnya?” tanya Fabian.
            “Halah! Nggak usah didengar, dia paling kebanyakan nonton film.” caci Evan lagi.
            “Diam dulu, Van. Gue harus tau tentang makhluk yang gue temui semalem.” ucap Fabian, memotong cacian Evan.
            Dimas kemudian menjelaskan. “Black Robed adalah makhluk jahat yang diciptakan Black Magic atau Voodoo. Makhluk itu bisa menampakan dirinya di alam mimpi dan di ‘Dunia Diantara’,”
            “Dunia Diantara, maksudnya?” Fabian memotong.
            “Dunia di mana saat raga kita tak sadar, tetapi pikiran beserta jiwa kita sadar. Itu adalah astral projection yang seperti loe lakukan itu.” jawab Dimas.
            “Oohh,” Fabian mengangguk paham. “Terus Dimas?”
            “Dia biasanya akan terus menghantui seseorang yang pernah dilihat dan melihat wujud dia. Semakin orang yang dihantuinya itu merasa takut, maka semakin kuat Black Robed itu. Bahkan, pada level tertentu bisa menampakan diri di dunia nyata, yang membuat orang yang dihantuinya seakan mengalami delusi, kerasukan, dan bahkan seperti orang mengalami gangguan jiwa karena teror Black Robed itu.” jelas Dimas, dengan tatapan yang seperti mengawasi keadaan sekitar.
            “Omong kosong macam apalagi ini?” keluh Evan, tersenyum sebal.
           
***

            Waktu menunjukan tengah malam, Fabian masih berkutat dengan pekerjaannya. Ia masih disibukan dengan data-data yang harus diinputnya. Segelas kopi hangat yang mulai dingin, menemani malamnya yang menyita waktu istirahat itu.
            “Ayo mata, tetap melek dong!” kekehnya, dengan tegukan untuk ke sekian kalinya. Beberapa menit berlalu, tiba-tiba perutnya seolah bergemuruh, “Yaelah, kebiasaan banget lapar jam segini.”
            Mendengar perutnya keroncongan tengah malam, Fabian berniat mencari makanan supaya rasa lapar itu tak terus-terusan mengganggunya bekerja.
            Baru seperdelapan pintu kamarnya ia buka, ia tertegun melihat ayahnya yang tengah menangis sambil memandangi foto seorang wanita cantik, berparas Indo-Eropa, berambut khas Blonde, dengan senyum manis yang terpampang.  Itu adalah Monalisa, ibunya.
            Melihat itu, Fabian mengurungkan niatnya untuk keluar dari kamar. “Ya Tuhan, berikanlah Ayah keikhlasan untuk merelakan Bunda.” ucapnya, memanjatkan doa di dalam hatinya.
            “Kenapa kamu tinggalkan aku, Sayang? Kenapa kamu pergi secepat ini?” kata ayahnya pada wanita di foto itu.
            Meski pun sudah lima tahun berlalu, tapi nampaknya Pak Abraham masih belum bisa menerima kenyataan istrinya telah tiada. Itu adalah pemandangan yang benar-benar sangat menyedihkan bagi Fabian. Ia pun memutuskan untuk menutup kembali pintu kamar, dan terduduk di meja kerjanya.
            Beberapa menit kemudian, Fabian menyelesaikan pekerjaannya, dan bergegas menuju tempat tidur. Pikirannya terus dihantui rasa penasaran akan kematian tak wajar ibunya lima tahun lalu itu. Ia memejamkan mata dengan pikiran yang masih menerka-nerka.
           
***

            Di sebuah taman yang nampak bak firdaus itu, sapa seorang wanita berparas cantik nan memesona. “Bian!”
            “Helena?” jawab Fabian, tersenyum gembira.
            Helena yang nampak anggun dengan pakaian berwarna putih dengan corak biru, rambut tergerai, dan tatapan sepasang bola mata indah yang meluluhkan hati itu lantas tersenyum.
            “Bian...” ucapnya sambil perlahan terus menjauh dari jangkauan Fabian, yang mulai berlari mengejar.
            “Hel, tunggu, Hel!” Fabian terus mengejar dengan gigih.
             Tiba-tiba sosok itu muncul begitu dekat di hadapannya. Fabian tertegun hebat menatap sosok itu. Mimpi indah bertemu Helena itu seketika berubah jadi mimpi buruk, karena makhluk yang tak diharapkan itu kembali muncul. 
            Ia berusaha menggerakan tubuhnya yang terasa begitu berat, seperti tertindih batu besar. “Astagaaa!” teriak Fabian, lalu terbangun dari tidur.
            Setelah kemarin datang saat ia ada dalam 'Dunia Diantara', kali ini sosok itu datang di dalam mimpi. Dan lagi-lagi, sosok itu membuat Fabian ketakutan. Keringat bercucuran dari pori-pori kulit. Terasa dingin dan mencekam. Ia lalu beranjak dan menatap cermin. “Apa semua hal nggak masuk akal ini nyata?”
            Fabian mulai memikirkan tentang apa yang dilakukannya, dan semua hal yang terkait astral projection. Meskipun rasionalitasnya berusaha terus menolak untuk mempercayai, akan tetapi kejadian-kejadian yang terasa sangat nyata itu mulai membuatnya tak bisa menampikan fenomena mistis yang dialaminya itu.

***

            Hari-hari berikutnya Fabian mengalami kejadian-kejadian aneh, terutama saat ia tertidur. Tubuh astralnya melakukan perjalanan secara otomatis, saat tidak sedang melakukan astral projection. Merasa ada yang tidak beres, ia memutuskan untuk menemui Dimas di kelas IPA.
            Dimas nampak asik membaca tulisan bertema horor di laptopnya, sementara murid-murid lain meninggalkan kelas.
            “Hei, Dimas!” sapa Fabian. “Gue boleh duduk?”
            Dimas menoleh, “Eh, Bian. Duduk aja.”
            “Thanks, Dim.” ia lalu duduk di kursi kosong di depan Dimas.
             Dimas lantas teralihkan, “Kok loe pucat gitu, sih?”.
            “Iya nih. Udah tiga hari terakhir gue ngalamin kejadian-kejadian aneh, sejak astral projection itu,” keluh Fabian, memijat-mijat lehernya.
            “Oh, ya?” Dimas terkaget.
            “Akhir-akhir ini tidur gue nggak nyaman. Gue nggak tahu, tiap kali gue tidur, tubuh astral gue malah terlepas, padahal gue nggak lagi astral projection itu.” jelas Fabian.
            Dimas langsung menutup laptopnya. Tatapannya terfokus pada lelaki di hadapannya itu. “Auto Astral Projection...” ucapnya.
            “Apa itu?” tanya Fabian, menekuk wajahnya.
            “Auto Astral Projection. Keadaan di mana tubuh astral melepas dirinya dari raga secara otomatis.” Dimas melanjutkan, “Kelelahan loe itu bukan semata-mata karena tidur yang nggak berkualitas, tapi juga karena energi loe terserap oleh tubuh astral yang melakukan perjalanan otomatis itu.”
            Fabian menyimak penjelasan gamblang Dimas itu dengan serius.
            “Terus, waktu AAP itu, loe gimana?” tanya Dimas.
            “Random banget. Bahkan gue nggak tahu tempat itu, dan kenapa gue kesitu.” jawab Fabian, keheranan.
            “Hati-hati, Bian! Kalau terus-terusan begitu, nanti loe bisa drop!” Dimas memper-ingatkan. “Soalnya, waktu AAP itu konsentrasi loe belum siap betul melepaskan tubuh astral dari raga. Lain halnya ketika melakukan astral projection yang biasa, pikiran loe memang sudah siap untuk itu.”
            “Yeaa gue juga bingung, gimana cara supaya AAP itu berhenti?” kekeh Fabian.
            Dimas berpikir untuk beberapa saat, “Oke, nanti gue cari tau cara berhentinya deh.”
            “Oke, Dim. Thanks banget, ya.” ucap Fabian.
            “Sip!” Dimas mengacungkan kedua jempol tangannya, “Oh iya, untuk sementara, supaya loe setidaknya bisa tidur, coba pas tidur biarkan keadaan lampu kamar itu tetap hidup. Biasanya astral projection gagal di tempat terang.” tambahnya.
            “Oke. Kalau gitu, gue duluan ya!” Fabian pun lekas pergi, “Nanti gue coba saran loe.”

***

            Fabian berjalan menuju parkiran untuk mengambil sepedanya. Ia nampak tak begitu fit untuk bisa melakukan perjalanan pulang seperti biasanya. Ia pun mendorong sepeda itu dengan lamban.
            “Bian, kamu nggak apa-apa?” tanya suara seorang wanita dari belakang.
            Fabian menoleh, “He-Hel-Helena...” ia malah salah tingkah.
            “Kamu baik-baik aja? Muka kamu pucat gitu?” tanya Helena lagi. Ia merasakan ada yang tidak beres dengan Fabian.
            “Aku baik-baik aja, Hel,” jawab Fabian, dengan senyuman.
            Tubuh Fabian yang nampak lunglai itu berjalan gontai sambil mendorong sepeda. Ia mulai merasakan pusing yang sangat hebat. Tatapannya seakan kabur. Beberapa saat kemudian tubuhnya ambruk. Fabian pingsan.
            “Astaga, Bian!” Helena panik. “Teman-teman, tolong! Ada yang pingsan!”
            Orang-orang segera menerumini Fabian. Kemudian atas inisiatif seorang teman bernama Bobby, Fabian digotong kembali ke sekolah untuk mendapatkan perawatan di ruang UKS.
           
***

            Setengah jam kemudian Fabian tersadar.
            “Helena?” ia menyesuaikan pandangannya dengan cahaya lampu di ruang tersebut.
            Helena tersenyum, “Hei, Bian. Tadi kamu pingsan, pas di jalan pulang. Syukur deh, kamu sekarang udah sadar.”
            “Aduh malu-maluin banget, masa pingsan di depan cewek.” gerutu Fabian.
            “Yeaa namanya juga orang lagi sakit. Lagipula, emangnya kenapa kalau cowok pingsan depan cewek? Perasaan nggak aneh-aneh amat.” ungkap Helena.
            “Hehehe, iya juga sih,” cengir Fabian. “Oh, iya, terima kasih yah untuk pertolongan pertamanya.”
            “Hahaha, biasa aja kali. Lagian, yang gotong kamu kesini tadi tuh anak-anak cowok. Aku sih cuman modal teriak aja. Hehehe,” cengir Helena.
            Fabian bermonolog dalam hati.
            Ternyata Helena anaknya asik juga ya. Nggak sedingin yang gue kira selama ini. Bodoh banget gue, tiga tahun sekolah bareng, baru punya kesempatan ngobrol sama dia kayak gini sekarang. Itupun bukan dari proses yang asik. Segala pake pingsan depan dia. Haduh... maluuuu, malu.
            “Hmm, Bian, kamu udah agak sehat, kan? Aku pulang duluan ya!?” Helena ber-pamitan.
            “Oh, iya, iya. Silahkan, Hel.” jawab Fabian. “Aduh, aku jadi nggak enak nih, gara-gara aku, kamu jadi telat pulangnya.”
            “Santai aja, Bian.” Helena tersenyum.
            “Yaudah, kamu hati-hati ya di jalan.” ujar Fabian, tersenyum lagi. “Sekali lagi, aku terima kasih banget, kamu udah jagain aku.”
            Helena hanya tersenyum. Ia berjalan keluar ruangan UKS, sesekali ia menoleh lagi ke arah Fabian untuk memastikan keadaan.

***
           
            Agak larut Fabian sampai di rumah. Selain kejadian pingsan tadi, ia juga harus menemui atasannya di kantor untuk menyerahkan berkas tertulis. Dengan energi yang tersisa, akhirnya Fabian sampai juga di rumah.
            Pak Abraham yang melihat tampang anaknya nampak begitu kusut, lantas bertanya, “Bian, kamu kenapa?”
            Fabian tersenyum dan mengacungkan jempol yang seakan berarti “Aku baik-baik saja,” Ia lalu masuk ke kamar, dan merebahkan tubuhnya sejenak.
            “Huft, berat banget rasanya ini badan buat digerakin,” keluhnya, menggerak-gerakan anggota tubuh. “Kayaknya untuk malam ini, gue harus istirahat penuh.” ia beranjak dari tempat tidur, lalu menayalakan lampu. “Gue masih nggak percaya, kalau gue nurut nasihat si Cupu. Whatever! Semoga kali ini tidur gue nyaman.”
            Fabian membanting tubuhnya ke kasur yang tidak begitu empuk itu. Ia mulai memejamkan mata, dengan kondisi ruangan yang terang, sambil membayangkan betapa indahnya wanita kesukaannya itu.

*****






Tidak ada komentar:

Posting Komentar